Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Imamah dalam Pandangan Muhsin al-Kasyani dan al-Syaukani

Muhsin al-Kasyani
Gambar: Detik.com

Sejak dulu hingga saat ini, imamah atau kepemimpinan masih menjadi topik yang relevan dan terus diperbincangkan oleh banyak orang. Hal ini karena menjadi pemimpin tidak semudah yang kita bayangkan. Ada banyak kewajiban dan tanggung jawab yang harus diselesaikan demi kesejahteraan bersama. Adapun konsep imamah menurut setiap orang atau golongan tentu tidaklah sama. Sebagai contoh golongan Syi’ah yang memiliki konsep imamah yang cukup unik dan berbeda dari yang lain. 

Konsep Imamah Menurut Aliran Syi’ah

Syi’ah merupakan suatu aliran teologi Islam yang sangat identik dengan doktrin imamah. Para pengikutnya sepakat bahwa kepemimpinan yang sah ialah kepemimpinan di tangan para imam dari golongan ahlulbait yang memiliki sifat maksum. Yakni suci dalam tindakannya serta terhindar dari perbuatan dosa kecil maupun besar. Di antara yang termasuk dari golongan ahlulbait ini yaitu Nabi Muhammad, Fathimah, Ali, Hasan dan Husein, serta keturunannya. 

Dari sini bisa dikatakan bahwa aliran Syi’ah hanya mengakui dan menganggap sah seorang pemimpin yang berasal dari golongan ahlulbait. Jadi, ketika ada seseorang yang bukan dari golongan ahlulbait menjadi pemimpin, maka orang tersebut dianggap tidak sah dan tidak diakui sebagai pemimpin oleh para penganut aliran ini. Seperti khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak seluruh penganut aliran Syi’ah memiliki pandangan yang ekstrem dalam menanggapi persoalan imamah. Salah satunya tokoh yang akan kita bahas ini.

Pandangan Mulla Muhsin al-Kasyani

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, imamah atau kepemimpinan yang sah menurut aliran Syi’ah ialah berada di tangan golongan ahlulbait yang dianggap lebih pantas sebab memiliki maksum. Namun, aliran Syi’ah ini terbagi menjadi tiga kelompok: Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah, Syi’ah Ismailiyyah, dan Syi’ah Zaidiyyah. Ketiga kelompok tersebut memiliki pandangan yang berbeda dalam memahami konsep imamah, seperti dua tokoh yang hendak kita bahas kali ini.

Baca Juga  Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 39: Penghuni Neraka yang Kekal

Pertama, Mulla Muhsin al-Kasyani. Ia seorang ulama Syi’ah yang lahir pada abad ke-11 H di kota suci Qom, pusat keluarga ahlulbait. Oleh karenanya, tidak heran jika ia termasuk golongan Syi’ah Imamiyyah yang sangat fanatik dan mengunggulkan golongan ahlulbait sebagai imam yang maksum. Al-Kasyani ini tergolong Syi’ah Imamiyyah Itsna ‘Asyariyyah yang mempercayai kemaksuman dua belas imam. Mulai dari Ali bin Abi Thalib hingga Muhammad al-Mahdi yang mereka anggap sebagai imam sepanjang zaman. Menurut golongan ini, imam ke-5 pengganti Ali Zainal Abidin ialah Abu Ja’far Muhammad.

Adapun kefanatikan dari al-Kasyani ini bisa kita lihat melalui penafsirannya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dalam Tafsir al-Shafi. Dalam kitab tersebut al-Kasyani cenderung menafsirkan makna batin dari ayat-ayat Al-Qur’an dengan sangat ekstrem guna melegitimasi ideologinya. Selain itu, dalam penafsirannya, al-Kasyani juga cenderung menggunakan riwayat-riwayat Syi’ah yang mengunggulkan kepemimpinan golongan ahlulbait.

Pandangan Muhammad al-Syaukani

Kedua, Muhammad al-Syaukani. Ia seorang ulama Syi’ah yang lahir satu abad setelah al-Kasyani, yakni abad ke-12 H di kota Syaukan. Sama dengan ayahnya, al-Syaukani termasuk golongan Syi’ah Zaidiyyah yang dinisbahkan pada Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin sebagai imam ke-5 pengganti Ali Zainal Abidin. Al-Syaukani sendiri tergolong Syi’ah Zaidiyyah mutaqaddimin yang menolak kemaksuman imam. Sebab hal penting bagi seorang imam menurut mereka ialah alim, zuhud, pemberani, dermawan, dan lain sebagainya. Juga termasuk keturunan ahlulbait menurut golongan mereka. 

Adanya perbedaan pandangan dari Syi’ah Zaidiyyah mutaqaddimin mengenai konsep imamah ini membuat para pengikutnya, tak kecuali al-Syaukani masih mengakui kepemimpinan khalifah selain Ali bin Abi Thalib. Seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan lainnya. Adapun pandangan dari al-Syaukani yang tergolong Syi’ah Zaidiyyah mutaqaddimin ini bisa dikatakan lebih mendekat pada aliran Sunni yang terbuka dalam pemikirannya. Meski terdapat kesamaan pandangan dengan aliran Muktazilah mengenai pelaku dosa besar dan lainnya.

Baca Juga  Etika Memasuki Kamar Orang Tua Menurut Al-Qur'an

Letak Perbedaan Penafsiran

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, bisa kita lihat adanya perbedaan yang menonjol dari pandangan Mulla Muhsin al-Kasyani yang tergolong Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah dan pandangan Muhammad al-Syaukani yang tergolong Syi’ah Zaidiyyah. Al-Kasyani yang sangat fanatik dalam hal imamah ini hanya mengakui imam dari golongan ahlulbait yang dipercaya memiliki sifat maksum.

Sementara al-Syaukani menolak kemaksuman imam dan memiliki pemikiran yang lebih terbuka dalam hal imamah. Untuk mengetahui lebih jelas perbedaan pandangan dari kedua tokoh ini bisa kita lihat pada penafsirannya dalam masing-masing karya tafsirnya. Al-Kasyani dalam kitab Tafsir al-Shafi dan al-Syaukani dalam kitab Fath al-Qadir. Sebagai contoh dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 2 berikut:

ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ

“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”

Dalam Tafsir al-Shafi, al-Kasyani menafsirkan ayat tersebut dengan mengutip riwayat al-‘Ayyasyi sebagai penguat. Lafaz dzalika merujuk pada Ali dan al-kitab diibaratkan sebagai Ali. Adapun ayat tersebut dimaknai dengan dia (Ali) tidak ada keraguan padanya (kemuliaan perangainya dan keutamaannya sebagai imam yang telah disebutkan dalam nas Al-Qur’an).

Sementara dalam Fath al-Qadir, al-Syaukani menafsirkan lafaz dzalika dengan merujuk pada lafaz al-kitab yang berarti Alkitab (Al-Qur’an) yang sudah ditulis oleh Allah sejak zaman azali sebagai petunjuk, seruan, dan peringatan bagi mereka yang teah mantap dengan ketakwaannya. 

Dari sini bisa kita ketahui perbedaan yang sangat menonjol dari pandangan al-Kasyani dan al-Syaukani. Penafsiran al-Kasyani terlihat kurang masuk akal dan terkesan melenceng dari makna lahir dari ayat tersebut, seolah-olah bertujuan untuk melegitimasi ideologinya, yakni Syi’ah Imamiyyah. Hal ini bertolak belakang dengan penafsiran al-Syaukani yang lebih masuk akal dan lebih terbuka pemikirannya.

Bias Penafsiran Muhsin al-Kasyani

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, bisa kita lihat adanya perbedaan yang menonjol dari pandangan Mulla Muhsin al-Kasyani yang tergolong Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah dan pandangan Muhammad al-Syaukani yang tergolong Syi’ah Zaidiyyah. Al-Kasyani yang sangat fanatik dalam hal imamah ini hanya mengakui imam dari golongan ahlulbait yang dipercaya memiliki sifat maksum.

Baca Juga  Empat Klasifikasi Anak dalam al-Quran

Sementara al-Syaukani menolak kemaksuman imam dan memiliki pemikiran yang lebih terbuka dalam hal imamah. Untuk mengetahui lebih jelas perbedaan pandangan dari kedua tokoh ini bisa kita lihat pada penafsirannya dalam masing-masing karya tafsirnya, al-Kasyani dalam kitab Tafsir al-Shafi dan al-Syaukani dalam kitab Fath al-Qadir. Sebagai contoh dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 2 berikut:

ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ

“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”

Dalam Tafsir al-Shafi, al-Kasyani menafsirkan ayat tersebut dengan mengutip riwayat al-‘Ayyasyi sebagai penguat, yang mana lafaz dzalika merujuk pada Ali dan al-kitab diibaratkan sebagai Ali. Adapun ayat tersebut dimaknai dengan dia (Ali) tidak ada keraguan padanya (kemuliaan perangainya dan keutamaannya sebagai imam yang telah disebutkan dalam nas Al-Qur’an). Sementara dalam Fath al-Qadir, al-Syaukani menafsirkan lafaz dzalika dengan merujuk pada lafaz al-kitab yang berarti Alkitab (Al-Qur’an) yang sudah ditulis oleh Allah sejak zaman azali sebagai petunjuk, seruan, dan peringatan bagi mereka yang teah mantap dengan ketakwaannya. 

Dari sini bisa kita ketahui perbedaan yang sangat menonjol dari pandangan al-Kasyani dan al-Syaukani melalui penafsiran mereka dalam Tafsir al-Shafi dan Fath al-Qadir. Penafsiran al-Kasyani di atas terlihat kurang masuk akal dan terkesan melenceng dari makna lahir dari ayat tersebut, seolah-olah bertujuan untuk melegitimasi ideologinya, yakni Syi’ah Imamiyyah, yang mana hal ini bertolak belakang dengan penafsiran al-Syaukani yang lebih masuk akal dan lebih terbuka pemikirannya.

Penyunting: Bukhari

Ainun Nabilah
Mahasiswa S-1 Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Sunan Ampel Surabaya