Kedatangan Habib Rizieq di Indonesia menarik untuk diamati. Terutama pada dampak yang diberikannya. Kedatangannya membuat ribuan massa berbondong-bondong datang ke Bandara Soekarno-Hatta. Pada keadaan yang demikian, Covid-19 seakan telah sirna. Padahal ancaman virus ini jelas berada di depan mata. Banyak korban yang telah berjatuhan, dari orang biasa sampai ke dokter.
Hal inilah kiranya yang membuat Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Muhammadiyah geram. Atas kejadian itu, selain menyorot pemerintah yang tidak tegas dalam penertiban massa, Mu’ti juga menyorot sosok Rizieq sebagai orang yang disambut. Sebagai seorang tokoh agama, harusnya ia dapat memberikan contoh kepada umat. Ia tidak boleh terlibat dalam tindakan yang memperpanjang penyebaran Covid-19.
Sebagai tokoh agama ia harusnya mengerti bahwa Covid-19 sangat berbahaya dan mengancam jiwa manusia. Karenanya, lewat pemahaman itu, Rizieq sebaiknya mengajurkan pada simpatisannya untuk tidak perlu datang dan membuat kegiatan yang berkerumun.
Anehnya, alih-alih melarang umat berkerumun, Rizieq malah membiarkannya. Dan bahkan menikmatinya. Rizieq tidak memikirkan, bagaimana sekiranya jika usai dari acara penjemputan itu ada banyak orang yang terpapar Covid-19? Bukankah itu berbahaya? Kalau misalnya terjadi, siapa yang akan disalahkan? Tidak mungkin pemerintah. Jelas orang-orang yang berada di tempat, khususnya aktor-aktornya.
Pantaskah Habib Rizieq Menjadi Imam Besar Umat Islam?
Salah satu di antara tujuan kehadiran agama (maqasid shariah) adalah hifdzu an-nafs (melindungi jiwa). Setiap orang yang mengaku tokoh agama harus memahami itu dan berusaha menerapkannya dalam laku dan tindakan sehari-hari. Karenanya, tidak elok kiranya jika ada tokoh agama yang membuat kegiatan yang membahayakan orang banyak.
Dari hal yang demikian, saya jadi mempertanyakan jika ada segelintir orang yang terlalu bergairah dan tergesah-gesah mendaulat Habib Rizieq jadi Imam Besar Umat Islam? Bagaimana bisa jadi Imam Besar Umat Islam orang yang tidak mendahulukan kemaslahatan bersama atas kepentingan pribadi? Membingungkan.
Fenomena pengangkatan Habib Rizieq menjadi Imam Besar Umat Islam sempat mendapat kritik dari Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum Muhammadiyah. Ia menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang berlebihan dan tidak masuk akal. Karena di Indonesia bukan hanya ada massa FPI, tapi juga ada NU dan Muhammadiyah.
Bagi orang NU dan Muhammadiyah, Habib Rizieq jelas bukanlah Imam Besar-nya. Imam Besar orang Muhammmadiyah adalah Ketua Umum-nya yang sekarang, yakni Prof. Dr. Haedar Nashir. Sedangkan bagi orang NU, Imam Besar-nya adalah KH. Said Aqil Siradj.
Jangankan skala Indonesia, dalam ruang lingkup DKI Jakarta saja Habib Rizieq susah untuk jadi Imam Besar. Silakan kalkulasikan orang-orang yang turun saat aksi 212 kemarin. Yang datang di aksi itu hanya sebagian dari penduduk DKI Jakarta. Diperkirakan kemarin massa yang datang di aksi hanya sekitar 1 juta. Sedangkan jumlah warga DKI sebanyak 10 juta. Itu berarti ada 9 juta orang yang tidak turun.
Yang cukup mencengangkan, di tengah gegap gempita penyambutan kedatangan Habib Rizieq, ada beberapa seruan yang saya anggap berlebihan bertebaran di media sosial. Di mana ada di antara mereka yang membuat seruan, “Rapatkan barisan. Mari sambut kedatangan Imam Besar Umat Islam, Habibana Muhammad Rizieq Shihab.”
Imam Besar Umat Islam adalah Nabi Muhammad
Ia menyebut Habib Rizieq sebagai Imam Besar Umat Islam. Apakah ini tidak berlebihan? Ruang lingkup umat Islam itu besar sekali. Bukan hanya Indonesia, tapi mencakup seluruh negara muslim seperti Saudi Arabia, Mesir, Iran, Irak, Turki dll. Apakah benar Habib Rizieq menjadi Imam Besar atas semua negara muslim di atas? Jelas tidak.
Umat Islam di Indonesia agaknya dalam hal ini sangat berlebihan. Mereka tampak tidak mengerti maksud dan makna dari imam. Imam adalah mereka yang berdiri di depan dan menjadi contoh atas banyak orang. Dalam konteks umat Islam, maka yang dimaksud dengan Imam Besar Umat Islam adalah mereka yang menjadi contoh atas umat Islam. Ia adalah sosok yang perintah, intruksi dan ajarannya menjadi pegangan atas seluruh umat Islam.
Pertanyaannya sekarang, adakah sosok yang demikian? Sosok yang perintah, intruksi, dan ajarannya menjadi pegangan seluruh umat Islam di dunia? Jawabannya tidak ada. Taruh lah ada beberapa orang yang namanya sering didaulat sebagai Imam Besar Umat Islam, seperti Erdogan, Ayatullah Khomeini, Habib Rizieq, Syekh Ahmad Tayyeb dan sebagainya. Tapi perintah, intruksi dan pendapatnya hanya berlaku dalam skala nasional, yakni di negara mereka masing-masing tinggal.
Intruksi Erdogan hanya berlaku di Turki, intruksi Ayatullah Khomeini hanya berlaku di Iran, begitu seterusnya. Bahkan dalam konteks Habib Rizieq, intruksinya hanya berlaku pada umat FPI (Front Pembela Islam). Muhammadiyah dan NU sering kali bersebrangan pandangan dengan Habib Rizieq.
Saat ini tidak ada sosok yang benar-benar bisa dijadikan Imam Besar Umat Islam. Satu-satunya sosok yang dapat menjadi Imam Besar Umat Islam adalah nabi kita yang agung, yakni Nabi Muhammad Saw. Tidak yang lain. Karena hanya beliau lah sosok yang perintah, intruksi dan pikirannya menjadi pegangan dan pedoman bagi seluruh umat Islam di seluruh dunia. Maka, berhentilah mengangkat imam-imam baru. Karena imam kita hanyalah Nabi Muhammad. Bukan Erdogan, Ayatullah Khomeini, apalagi Habib Rizieq.
Leave a Reply