Imam ath-Tabari adalah seorang tokoh Islam yang sangat mengagumkan, kemampuannya mencapai peringkat tertinggi dalam berbagai disiplin ilmu, baik di bidang tafsir, sejarah, fikih, maupun hadis. Ia juga dijuluki bapak tafsir karena karya tafsirnya yang spektakuler dan menjadi rujukan utama dari disiplin ilmu tafsir.
Siapa yang mempelajari studi ilmu tafsir, tidak mungkin berpaling dari karya Imam ath-Thabari yang berjudul Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an atau dikenal dengan Tafsir Thabari. Bagaimana biografi dan perjalanannya sehingga menjadi tokoh yang luar biasa? Semoga tulisan ini bisa menjawab dan menginspirasi kita semua untuk semangat dalam perjalanan pencarian ilmu.
Biografi Imam Ath-Thabari
Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kasir bin Galib ath-Tabari. Ada yang memanggilnya Abu Ja’far, ath-Thabari, atau Ibnu Jarir. Ath-Thabari dilahirkan dikota Amul, ibu kota Thabraristan, Persia (Iran), pada tahun 224 H/839 M.
Ath-Thabari hidup, tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang memberikan cukup perhatian terhadap masalah pendidikan; terutama dibidang keagamaan, berbarengan dengan situasi Islam yang sedang mengalami kejayaan dan kemajuan di bidang pemikirannya.
Ayah ath-Thabari, Jarir Ibn Yazid adalah seorang ulama, dan dialah yang turut membentuk ath-Thabari menjadi seorang yang menggeluti bidang agama. Ayahnya pula lah yang memperkenalkan dunia ilmiah kepada ath-Thabari dengan membawanya belajar pada guru-guru di daerahnya sendiri, mulai dari belajar al-Qur’an hingga ilmu-ilmu agama lainnya.
Dengan ketekunan dalam belajar, ath-Thabari hafal al-Qur’an pada usia 7 tahun.Pada usia 8 tahun, ia sering dipercaya masyarakat untuk menjadi imam sholat dan pada umur 9 tahun ia mulai gemar menulis hadits Nabi.
Suatu ketika sang ayah bermimpi melihat ath-Thabari berada di hadapan Nabi SAW, dengan membawa wadah yang berisi batu, lalu ath-Thabari melemparkan batu tersebut di hadapan Nabi SAW. Sang ayah kemudian menceritakan perihal mimpi tersebut kepada penafsir mimpi. Mimpi itu diartikan bahwa ath-Thabari kelak akan menjaga syariat Islam dan menjadi penasehat agama Islam. Oleh karena itu, sang ayah sangat memperhatikan pendidikan ath-Thabari.
Kondisi sosial yang demikian, secara psikologis turut berperan dalam membentuk kepribadian ath-Thabari dalam menumbuhkan kecintaannya terhadap ilmu. Iklim kondusif seperti itulah secara ilmiah telah mendorongnya untuk mencintai ilmu semenjak kecil.
Perjalanan Intelektual
Sejak umur 12 tahun al-Thabari sudah memulai perjalanannnya untuk menimba ilmu ke beberapa penjuru daerah. Ray (salah satu kota di Tehran, Iran), menjadi destinasi pertamanya untuk menimba salah satu ilmu yang ingin ia perdalami yaitu hadist. Tak tanggung-tanggung ia mempelajari ilmu kepada pakar (ahli) nya langsung. Di kota Ray ia bertemu seorang Guru yang bernama Muhammad bin Humaid ar-Razi, yang tidak hanya mengajarkan hadist saja tetapi Sirah Nabawi pun beliau ajarkan kepada ath-Thabari.
Kemudian pada tahun 241 H ath-Thabari melanjutkan perjalanannya ke Baghdad untuk mempelajari ilmu fikih kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Namun sayang ketika ath-Thabari masih dalam perjalanan menuju Baghdad, Imam Ahmad bin Hanbal terlebih dulu wafat sehingga akhirnya ath-Thabari belum sempat belajar kepadanya.
Pada tahun 242 H, ath-Thabari melanjutkan perjalanan intelektualnya ke Bashrah. Di kota ini, beliau belajar hadist kepada Muhammad bin al-Ma’alli dan Muhammad bin Basyar. Kemudian beliau pergi ke Kufah dan berguru kepada Hanna’ bin al-Sary dan Abu Kuraib Muhammad bin al-‘Ala al-Hamdani.
Kemudian beliau baru mulai melanjutkan perjalanannya lagi ketika tahun 245 H yaitu pergi ke Syam atau yang saat ini dikenal sebagai Syiria. Disana beliau mempelajari ilmu Qira’at kepada al-‘Abbas bin al-Walid al-Bairuni dengan qira’at syamiyyin (Qira’at yang diriwayatkan oleh orang-orang Syam).
Terakhir ia pergi ke Mesir untuk mempelajari ilmu fikih kepada al-Muzani (w.286 H) (sahabat Imam Syafi’i) dan ditambah belajar fikih Maliki kepada Muhammad bin ‘Abd Allah bin al-Hakam dan Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah.
Setelah melakukan perjalanan panjang, kemudian beliau kembali ke Thabaristan untuk bermukim sejenak; hingga akhirnya beliau pergi Baghdad dan menetap disana hingga akhir hayatnya pada tahun 310 H. Beliau kemudian dimakamkan di dalam rumahnya dan tetap tidak dipindahkan hingga sekarang.
Hidupnya untuk Ilmu
Doktor Muhammad Az-Zuhaili berkata; “Berdasar berita yang dapat dipercaya, sesungguhnya semua waktu Abu Ja’far ath-Thabari telah dikhususkan untuk ilmu dan mencarinya.” Dia bersusah payah menempuh perjalanan jauh untuk mencari ilmu sampai masa mudanya dihabiskan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dia tidak tinggal menetap kecuali setelah usianya mencapai antara 35-40 tahun.
Dalam masa ini, Imam ath-Thabari hanya memiliki sedikit harta karena semua hartanya dihabiskan untuk menempuh perjalanan jauh dalam musafir; menimba ilmu, menyalin, dan membeli kitab. Untuk bekal semua perjalanannya, pada awalnya Imam ath-Thabari bertumpu pada harta milik ayahnya.
Tatkala Imam ath-Thabari sudah kenyang menjalani hidup dalam dunia perjalanan mencari ilmu, akhirnya dia pun tinggal menetap. Tatkala hidupnya terputus dari kegiatan musafir untuk menimba ilmu; maka sisa usianya difokuskan untuk menulis, berkarya dan mengajar ilmu yang dimilikinya kepada orang lain.
Ilmu telah menyibukkannya dan memberikan kenikmatan dan kelezatan tersendiri yang tidak akan pernah dirasakan kecuali bagi yang telah menjalaninya. Ketika seseorang telah tenggelam dalam lautan ilmu di masa mudanya, maka menikah sering terabaikan.
Ketika usia telah mencapai 35-40 tahun dan tersibukkan dalam majlis ilmu, maka keinginan menikah menjadi semakin hilang. Beliau manfaatkan waktunya untuk mempelajari kitab kitab yang berjilid-jilid dan berlembar-lembar serta untuk berkarya.
Karya-Karya Imam ath-Thabari
Imam ath-Thabari menjadi salah satu tokoh yang besar kontribusinya dalam keilmuan Islam. Jiwanya masih hidup sampai hari ini didalam karya-karya besarnya. Benarlah kata Pramoedya Ananta Toer, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Lewat karya tulisnya, jiwa ath-Thabari masih bisa kita temui dan namanya tertulis dengan tinta emas sejarah sebagai orang yang berpengaruh.
Karya beliau yang monumental adalah kitab sejarah Tarikh al-Umam wa al-Muluk atau dikenal dengan Tarikh ath-Thabari dan kitab tafsir Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ay al-Qur’an atau dikenal dengan Tafsir ath-Thabari. Selain itu, karya Imam ath-Thabari lainnya ialah Adab al-Qadhah, Adab al-Manasik, Adab an-Nufus, Ahkam Syara’i al-Islam, dan masih banyak lagi.
***
Perjalanan sang maestro tafsir memberikan gambaran betapa pentingnya ilmu. Kefokusan dalam pencarian ilmunya memberikan kontribusi luar biasa bahkan sampai hari ini. Benarlah mimpi sang ayah kepada anaknya itu, Imam ath-Thabari menjadi manusia yang bermanfaat terutama dalam menjaga syariat Islam lewat karya-karyanya.
Semangat pencarian ilmu yang kita bisa lihat dari perjalanannya itu, semoga menular kepada para pencari ilmu, terutama saya dan tentunya kita semua. Wallahu ‘alam bisowab.
Leave a Reply