Tentu kita sama mengenal akan sosok Badiuzzaman Said Nursi. Sebagaimana penulis paparkan pada pekan lalu, perihal pemikirannya tentang kesinambungan ilmu agama dan sains modern dalam al-Qur’anul Karim surah Yasin ayat 41-42; namun dalam rangkai jahitan tulisan kali ini, agaknya kita perlu membahas sisi dimensi lain dari sosok Badiuzzaman Said Nursi.
Di buku Al-Maktubat-nya, disebut dalam buku tersebut sebuah pertanyaan ‘’Mengapa pengabdian terhadap Al-Qur’anul Karim dan iman menghalangimu dari hingar bingar dunia politik’’?
Lantas Badiuzzaman Said Nursi pun menjawab: berbagai hakikat iman dan Al-Qur’an sangat amat berharga dan mahal laksana intan permata; jikalau aku sibuk dengan politik, tentu saja akan terlintas dalam benak orang awam yang lengah, bahwasanya orang ini ingin menjadikan kita bergabung membersamai dalam sayap-sayap politik tertentu, dan bukankah tutur Badiuzzaman Said Nursi, orang yang mengajak melalaui propagandis-propagandis politik, tidak lain hanyalah ingin memperoleh pengikut. (Nursi B. S., 2020, p. 106)
Mengenai anasir-anasir Badiuzzaman Said Nursi sendiri, menurut hemat penulis cukup terpatri melalui ungkapannya yang cukup masyhur, sebagai berikut:
أَعُوْذُ بِااللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَالسِّيَاسَةِ
‘’Aku berlindung kepada Allah SWT dari setan dan politik. (Nursi B. S., 2020, p. 80)
Atas dasar inilah, asbabun nuzul ide tulisan ini lahir. Lalu bagaimanakah dimensi Imam Al-Ghazali perihal relasi agama dan politik? Penulis mulai dari istilah; ‘’mengagamakan politik dan mempolitikkan agama’’
Relasi Agama dan Negara
Dalam perihal problema kepemimpinan, Imam al-Ghazali berpendapat bahwa pembentukan sebuah lembaga-lembaga kepemimpinan merupakan wajib syar’i. Yang berasaskan melalui ijma’ ummat dan hukumnya adalah fardu kifayah.
Sebab, menurut Imam al-Ghazali, yaitu manusia cenderung hidup bermasyarakat agar supaya mereka mampu pekerjasama serta tolong-menolong dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka, namun dalam kerjasama dan tolong menolong itu, sering terjadi pertentangan dan persaingan, maka dari itu untuk mengatasi problema tersebut diperlukan sebuah pemerintahan. (Komarudin, 2002, p. 144)
Untuk itu Imam al-Ghazali mengatakan: bahwasanya hubungan agama dan kekuasaan sangatlah penting karena memiliki ketergantungan satu sama lain. Agama adalah dasar (pondasi) dan penguasa merupakan penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar (pondasi) akan runtuh dan suatu dasar (pondasi) tanpa penjaga akan hilang. (Komarudin, 2002, p. 144)
Kemudian Imam al-Ghazali juga merinci beberapa hal mengenai etika (akhlak) dalam menjalankan roda kekuasaan, diantaranya sebagai berikut :
Pertama, menjaga kehormatan agama, menurut pandangan Imam al-Ghazali, agama dan penguasa saling melengkapi satu sama lain, bak saudara kembar yang terlahir dari seorang ibu yang sama. Oleh karenanya, seorang penguasa mesti dan harus memperhatikan serta menjauhi hawa nafsu, bid’ah, hal-hal yang berbau kemungkaran, syubhat, dan segala macam bentuk yang dapat merusak agama.
Kedua, memperhatikan kesejahteraan rakyat, seorang penguasa harus mengetahui bahwasanya kesejahteraan manusia tergantung pada kebaikan dan sepak terjang penguasa. Penguasa mesti menjaga dan memperhatikan segala aspek kepentingan rakyat, baik mereka yang minoritas ataupun mayoritas, baik rakyat biasa ataupun kelas atas menengah, karena dalam Islam tidak pandang bulu perihal keadilan, tidak dilihat dari suku, agama, dan ras apapun. (Komarudin, 2002, p. 150)
***
Ketiga, menghargai kebaikan dan menindak keburukan; seorang penguasa harus menghargai dan menghormati orang-orang sholeh dan memberikan penghargaan atas perbuatan terpuji, seorang penguasa juga harus mencegah perbuatan buruk, menindak pelaku kejahatan atau dalam Islam dikenal hisbah; karena apabila kemungkaran dibiarkan oleh penguasa, maka akan terjadi kerusakan (al-fasad) diseluruh pelosok negeri.
Watak dan perangai rakyat merupakan buah dari hasil watak dan perangai para pemimpinnya. Sebab, keburukan yang dilakukan oleh orang awam hanyalah meniru dan mengikuti perbuatan mereka. (Komarudin, 2002, p. 151)
Keempat, melaksanakan sepuluh prinsip keadilan, diantaranya sebagai berikut: pertama tanggung jawab; kedua, menerima pesan nasehat para ulama; ketiga, berlaku baik pada bawahan; keempat, rendah hati dan penyantun; kelima, tidak mementingkan diri sendiri; keenam, loyalitas tinggi; ketujuh, hidup sederhana; kedelapan, lemah lembut; kesembilan, cinta rakyat; kesepuluh, tulus dan ikhlas. (Komarudin, 2002, p. 154)
***
Apabila pemimpin-pemimpin negara dan para ulama itu baik, maka baiklah alam. Dan apabila pemimpin-pemimpin negara dan para ulama rusak, maka rusaklah alam (masyarakat) dan negara.
KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah)
Wallahua’lam.
Editor: Ananul Nahari
Leave a Reply