Tariq Suwaidan, seorang sarjana Islam asal Kuwait, dalam satu tulisannya mengatakan bahwa salah satu di antara rahasia terkenalnya ulama atau cendekiawan muslim terdahulu adalah cara pandangnya yang berbeda dalam melihat sebuah masalah. Dan penulis melihat hal ini pada sosok Imam Abu Hanifah. Dari banyaknya ulama fikih di zamannya, dialah yang paling berbeda. Nuansa pemikirannya fikihnya begitu rasional. Saking rasionalnya, pendapat-pendapatnya terkait fikih sering dianggap aneh dan kontroversial.
Profil Imam Abu Hanifah
Menurut riwayat yang paling masyhur, nama lengkap dari Imam Abu Hanifah adalah al-Nu’man ibn Tsabit ibn al-Zutha al-Farisi. Dari akhiran namanya itu, kita tentu akan dapat menebak bahwa beliau adalah orang atau keturunan Persia. Imam Abu Hanifah dilahirkan pada 80 Hijriah di Kufah, Irak dan wafat pada tahun 150 Hijriah.
Imam Abu Hanifah tumbuh dan besar di Kufah. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di sana. Ia tinggal di tengah keluarga yang agamis, harmonis, sejahtera dan kaya. Pada pertama kali, masa kecil Abu Hanifah oleh orang tuanya diarahkan untuk menghafal al-Quran. Sehingga sampai dengan di usia yang masih terbilang dini, ia sudah menjadi hafiz al-Quran lengkap 30 juz.
Kondisi Sosio-Kultural Irak
Irak, negara yang menjadi tempat lahir dan tinggalnya Imam Abu Hanifah, adalah pusat peradaban Islam yang di dalamnya terdapat beragam aliran keagamaan. Irak juga menjadi pusat kebudayaan dan peradaban kuno. Pada masa pra-Islam, bangsa Suryani telah tersebar banyak di daerah-daerah di Irak. Mereka mendirikan sejumlah lembaga pendidikan khusus (madrasah) yang menjadi tempat pertemuan filsafat Yunani dan ilmu hikmah Persia.
Irak dihuni oleh orang-orang dari berbagai suku dan etnik. Makanya tak aneh bila di sana sering terjadi pertentangan pendapat dalam masalah politik dan dasar-dasar keyakinan. Kelompok seperti Syi’ah, Muktazilah dan Khawarij semua ada di sana. Sewaktu Abu Hanifah masih muda, banyak tabi’in dan mujtahid yang bermukim di Irak. Mereka bertemu, berkumpul, dan berdiskusi. Di antaranya ialah Abdullah bin Mas’ud yang diutus oleh Umar bin Khattab untuk mengajarkan ilmu agama kepada penduduk Irak. Selain di sana juga ada nama lainnya, sahabat sekaligus menantu Nabi, yakni Ali bin Abi Thalib. (Tariq Suwaidan: 2013)
Sanad keilmuan Islam di Irak tersambung kepada dua sahabat Nabi itu: Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib. Kedua sosok tersebut, baik Ibnu Mas’ud atau Ali, dalam literatur klasik sering disebut sebagai orang-orang yang cerdas, punya analisis yang tajam dan bijaksana. Dan kesemua semua karakter tersebut ternyata menurun dan ada pada diri Abu Hanifah.
Kultur sosial atau intelektual Irak memberikan pengaruh yang besar pada pembentukan kerangka berpikir Abu Hanifah. Irak yang menjadi saksi peradaban besar Persia dan forum-forum dialektika keilmuan digelar, serta tempat beradanya beragam kelompok, membuat Abu Hanifah tumbuh sebagai ulama yang rasional, punya analisa yang tajam, dan selalu melihat persoalan dari beragam perspektif.
Dari Pedagang ke Pemikir
Masa remaja Imam Abu Hanifah berbeda dengan masa remaja Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Jika ketiganya sejak dini telah menyibukkan diri dalam menuntut ilmu agama, maka di waktu itu Abu Hanifah masih sibuk bergadang. Hal ini disebabkan kondisi orang tuanya yang juga seorang pedagang. Kesehariannya disubukkan dalam urusan dagang. Pulang-pergi pasar. Terjadinya perubahan yang drastis pada diri Abu Hanifah nanti setelah menginjak masa muda. Orientasi Abu Hanifah yang sebelumnya ke dunia bisnis, beralih menuju dunia intelektual dan pemikiran.
Orang yang paling berjasa dalam mengubah orientasi tersebut, sebagaimana dikisahkan oleh Abu Hanifah sendiri, adalah al-Sya’bi, seorang ahli fikih dan ahli hadis. Ia melihat kecerdasan dan kepandaian pada diri Abu hanifah. Karenanya al-Sya’bi menyuruhnya untuk mengubah orientasinya kepada ilmu pengetahuan. Hal itu disampaikannnya ketika melihat Abu Hanifah yang hendak pergi ke pasar.
Al-Sya’bi bertanya, “Ke mana engkau akan pergi?”. Abu Hanifah menjawab, “Ke Pasar”. Al-Sya’bi berkata, “Aku tidak melihat engkau akan hendak pergi ke pasar. Aku mengira kau akan pergi ke majelis ilmu.” Abu Hanifah menanggapi, “Aku jarang sekali ke majelis ulama.” Ia pun berkata, ”Jangan lakukan itu. Engkau harus menggeluti ilmu dan menghadiri majelis-majelis ulama. Aku melihatmu memiliki bakat menjadi seorang alim.”
Kata-kata itu sangat meresap di hati Abu Hanifah. Sejak saat itu ia mulai sering pergi ke majelis-majelis ilmu dan jarang pergi ke pasar. (Biografi Imam Abu Hanifah, hal. 31)
Berfikih Secara Rasional
Sebelum menjadi ahli fikih, Abu Hanifah adalah orang yang gemar bergelut di perdebatan-perdebatan kalam. Dari sana nalar dan logikanya terlatih dalam berargumen. Ia menjadi seorang pendebat ulung. Namun kemudian, Abu Hanifah tiba pada satu kesadaran bahwa perdebatan kalam yang ia geluti selama ini sia-sia dan kurang memberikan manfaat kepada umat. Akhirnya, dengan pertimbangan yang matang, Abu Hanifah memutuskan untuk hijrah ke fikih. Sebab ia merasa dengan menjadi pakar di sana ia akan dapat memberikan manfaat yang besar terhadap umat.
Masa lalu Abu Hanifah sebagai seorang ahli kalam, memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap metode penalaran fikihnya. Dalam merumuskan persoalan-persoalan fikih, ia cenderung rasional. Makanya kemudian ia dikenal sebagai penggagas fikih mazhab rasional. Salah satu yang menjadi tanda betapa rasionalnya fikih Imam Abu Hanifah adalah metode istinbath hukum yang dinamai “istihsan”. Metode ini dicetuskan dan sering digunakan olehnya.
Istihsan adalah meninggalkan suatu hukum yang telah ditetapkan oleh syariat dan kemudian menetapkan hukum lain karena ada dalil yang lebih cocok dan lebih kuat. Yang menjadi tolak ukur istihsan adalah kadar maslahat (kemasalahatan) dan mafsadat (kerusakan) sesuatu. Sebab inti daripada agama Islam adalah menghasilkan dan memproduksi kemaslahatan. Sebagai contoh dalam masalah ini adalah diperbolehkannya memeriksa aurat orang lain dengan tujuan untuk mengobati penyakit (Iqbal: 2015).
Namun begitu, jangan disangka bahwa Imam Abu Hanifah adalah ulama yang sepenuhnya menggantungkan segala sesuatu pada nalarnya. Ia tetap berpegang terhadap sumber-sumber ajaran Islam seperti al-Quran dan hadis. Hal ini bisa kita lihat pada perkataannya yang populer, “Saya memberikan hukum berdasarkan al-Qur’an. Apabila tidak saya jumpai dalam al-Qur’an, maka saya gunakan hadis Rasulullah. Jika tidak ada dalam keduanya (al-Qur’an dan hadis), saya dasarkan pada pendapat para sahabat. Saya berpegang pada pendapat salah satu sahabat yang lebih kuat, dan jika tidak ada pendapat sahabat, maka saya akan berijtihad.”
Leave a Reply