Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Ikatan Kemanusiaan Merawat Kedamaian Negara

pluralisme
sumber: unsplash.com

Islam sebagai agama kemanusiaan, memiliki hubungan dengan pluralisme, karena ia berangkat dari semangat humanitas dan universitalitas Islam. Maksudnya, Islam adalah agama kemanusiaan (fitrah), yang sejalan dengan gagasan manusia pada umunya. Kemudian misi nabi Muhammad saw adalah untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam, jadi bukan semata-mata untuk menguntungkan komunitas Islam saja.

Agama Islam mengajarkan pentingnya hidup bersahabat, saling kenal dan menghargai antar satu dengan yang lain. Sikap menghormati merupakan bagian dari naluri dasar semua orang, karena semua orang secara subtansial sama. Meskipun manusia berbeda dalam aspek sosial, budaya, ras dan agama, tapi sejatinya berasal dari satu yakni ciptaan Tuhan.

Begitu pentingnya sikap menghargai sesama manusia, sehingga Tuhan mengabdikan dalam al-Qur’an surah al-Hujurat ayat:13, guna mengenal satu sama lain. Kata “ta’aruf” didalam ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan dalam kepelbagian untuk saling mengenal, mengerti satu sama lain, bahkan berbuat adil kepada semua pihak dengan tidak mendiskriminasinya. Mengerti tentang orang lain tidak terbatas kepada persoalan lahiriah, tapi termasuk persoalan bathiniah yaitu eksistensi dan esensi seseorang.

Frans Magnis Suseno mengemukakan bahwa untuk mencapai kedamaian atau kedamaian dalam hidup, khususnya di Indonesia maka agama sedapat mungkin dihubungkan dengan yang suci, baik hati, berbelas kasih, bebas pamrih, berdamai. Tetapi, dalam kenyataan, tindak kekerasan, terorisme dan konflik bersenjata, agama-agama dalam salah satu bentuk terlibat. Terutama jika diobservasi terkadang penganut agama lebih cenderung ke arah primordialisme, baik etnik maupun agama.

Paradigma umat manusia universal sebenarnya sudah didasarkan dalam agama-agama besar, namun semula tidak dapat menjadi operatif. Paradigma manusia universal selama abad-abad terakhir di perjuangkan bukan oleh agama-agama, melainkan pelbagai ideologi sekuleristik. Pada akhir abad ke-20 ideologi-ideologi kelihatan sudah kehabisan nafasnya. Karena itu, sekarang agama mau menerima dan memperjuangkan paradigma manusia unversal.

Baca Juga  Berpenampilan Pakaian Stylish Tetapi Sesuai Syariat Islam

Oleh karena itu, Jurgen Habermas sejak awal mengemukakan bahwa cita-cita kemanusiaan universal secara potensial sudah termuat dalam agama-agama besar. Bahkan dapat dikatakan, bahwa agama-agama itulah yang membuka wawasan martabat manusia sebagai manusia, dan bukan hanya sebagai warga suku, kelompok, atau kelas sosial tertentu. Agama-agama besar berbicara tentang manusia sebagai manusia apabila mereka berbicara tentang yang ilahi. Cita-cita manusia universal diperjuangkan oleh ideologi-ideologi kedamaian sekuleristik besar seperti liberalisme, sosialisme, dan komunisme.

Nurcholish Madjid memandang bahwa manusia sebagai khalifah Tuhan harus menjadi agen yang sebenarnya, yakni memakmurkan alam semesta. Selain itu, manusia sebagai hamba Allah dalam pengertian spiritualitas harus mengetahui sifat- sifat Tuhan yag imanens di permukaan bumi ini harus melakukan penyucian jiwa. Karena dengan membersihkan jiwa, maka seseorang akan mendapatkan ketenangan, sebab ketenangan jiwa sangat menentukan kemudiannya.

Selanjutnya Nurcholish mengatakan, secara teologis setiap agama memiliki konsep pencitraan Tuhan terhadap penganutnya. Konsep tersebut mengantarkan setiap penganut agama menuju jalan kedamaian. Karena itu, masing-masing agama memiliki jalan sendiri untuk mencapai jalan kedamaian.

Guna meraih kedamaian Allah, tidak cukup dengan menyelamatkan diri secara individual, tapi tetap memperhatikan harmonisasi secara sosial. Upaya membentuk kedamian secara sosial, harus menciptakan suatu aturan atau sistem berpikir yang nasionalis dan pluralis. Kaitannya dengan kedamaian yang bersifat horisontal kebangsaan. Nurcholish Madjid mengembangkan pemikiran mengenai pluralisme dalam bingkai civil society, demokrasi, dan peradaban. Menurutnya, jika suatu bangsa mau membangun peradaban, pluralisme adalah inti dari nilai keadaban itu, termasuk didalamnya, penegakkan hukum yang adil dan pelaksanaan hak asasi manuia.

Oleh karena itu, pluralitas manusia adalah kenyataan yang dikehendaki Tuhan. Pernyataan al-Qur’an mengenai manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal dan saling menghormati, (Qs.Al-Hujurat, Surat 49 Ayat:13) menunjukkan pengakuan terhadap pluralitas yang memandang kemajemukan secara positif dan menerimanya sebagai suatu kenyataan yang dihargai.

Baca Juga  Tafsir Nama Allah: Perbedaan dalam Islam dan Kristen

Selanjutnya menurut Nurcholish, pluralitas atau kemajemukan masyarakat pada hakekatnya, tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan bahwa masyarakat itu bersifat majemuk. Tapi lebih mendasar harus disertai dengan sikap tulus menerima kenyataan masyarakat kemajemukan itu, sebagai yang bernilai positif dan merupakan rahmat Tuhan kepada manusia.

Sikap tulus menerima kenyataan tentang kemajuan masyarakat dalam suatu bangsa, merupakan bagian dari iman seseorang, terutama seorang muslim. Karena muslim yang layak pada perintah Allah adalah yang memahami Islam secara total dan menjalankannya secara totalitas. Bukan muslim dalam konteks-parsial, maksudnya bergaya hanya pada faktor ritual simbol-simbol saja. Pemahaman dan kesediaan secara arti menerima kenyataan yang merupakan wujud perbuatan Tuhan itu, merupakan faktor yang dapat memperkaya pertumbuhan kultural melalui interaksi dinamis dan pertukaran silang budaya yang beraneka ragam. Oleh karena itu, pluralisme dalam kontkes ini merupakan suatu pengikat untuk memotivasi pemerkayaan budaya bangsa.

Pluralisme disini, tidak hanya sekedar dipahami hanya dengan lisan atau sekedar teitis, yang pada dasarnya hanya memberikan kesan fragmentasi. Ia tidak boleh dipahami sebagai kebaikan negatif yang hanya dilihat demi nilai pragmatisnya atau sekedar untuk menyingkirkan fanatisme. Tetapi harus diahami sebagai “pertalian sejati keberanekaragaman dalam ikatan-ikatan keadaban”, (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Dengan demikian, faham pluralitas dalam semua agama merupakan suatu keharusan bagi kedamaian umat sebagai pemakmur alam (khalifatullah).

Pluralisme menghendaki adanya kedamaian umat manusia dalam menjalani aktivitas keduniaan dalam bentuk kemasyarakatan dan kebangsaan. Begitupula dengan masalah toleransi, karena toleransi ini adalah prosedural, persoalan-persoalan tata cara pergaulan antar kelompok yang berbeda-beda yang harus dipahami secara prinsip. Oleh karena kewajiban ajaran sebagaimana persoalan pluralisme, prinsip toleransi kata Nurcholisch adalah salah satu asas masyarakat madani (civil society) yang dicita-citakan.

Baca Juga  Merasa Galau dan Sedih? Coba Resapi Surah Adh-Dhuha!

Editor: Ananul

Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang.