Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Ibrah Ayat Diambil dari Umumnya Lafaz, Bukan Khususnya Sebab

Lafaz
Sumber: artikula.id

Sebagai seorang yang dulu cukup aktif dalam dunia dakwah, saya merasa masih sangat pemula bila dibandingkan dengan da’i-da’i senior atau ustaz-ustaz kondang lainnya. Baik dari cara penyampaian maupun isi materi yang disampaikan. Bahkan bila harus disertifikasi seperti isu-isu beberapa tahun yang lalu, mungkin saya tidak akan dinyatakan lulus.

Dalam ‘ulum al-Quran, terdapat pembahasan mengenai kaidah-kaidah tafsir. Kaidah tafsir di sini dapat diartikan sebagai ketentuan umum atau rumusan yang digunakan dalam menentukan makna atau tafsir Alquran. Di antara kaidah-kaidah yang ada, salah satunya adalah kaidah al-‘ibratu bi ‘umûmi al-lafdzi lâ bi khusûsi as-sababi. Artinya apabila terdapat suatu ayat yang memiliki sebab tertentu pada saat ayat itu turun, sedangkan ayat tersebut lafaznya umum, maka yang diambil adalah keumuman lafaznya.

Di dalam Alquran tentu tidak semua ayat memiliki asbâbun nuzul. Ayat yang memiliki lafaz umum dengan kekhususan sebab juga mungkin hanya beberapa saja.

Kaidah di atas oleh banyak da’i sangat sering digunakan ketika menyampaikan kajiannya. Hal ini wajar saja karena penggunaan kaidah ini memang sangat cocok digunakan dalam penyampaian materi kajian.

Pada kajian-kajian yang bersifat umum dan mengharuskan mencantumkan ayat, para da’i terkadang menggunakan kaidah ini untuk memaknai dan menafsirkan Alquran. Tentunya masih dalam koridor yang pas dan sesuai dengan makna asal atau yang telah disepakati oleh para mufassir.

Penggunaan kaidah ini biasanya masih sesuai dengan makna asli dan tafsirnya dan tidak bermaksud mengada-ada atau merusak maknanya. Karena tujuannya adalah dakwah. Sebagai contohnya, berikut saya tampilkan ayat-ayat yang familiar dengan kita, dan sering digunakan oleh para da’i dalam kajiannya.

Beberapa Contoh Penggunaan

Pertama, QS. Al-Baqarah 197:

Baca Juga  Kata Istawa dalam Q.S Thaha Ayat 5 Perspektif Semiotika De Saussure

وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ

Artinya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.

Dari ayat tersebut, potongan ayat yang sering digunakan adalah kalimat: watazawwadû fainna khaira zâdittaqwa. Tatkala ada kajian yang bertema takwa, tak jarang ayat di atas menjadi dalil yang digunakan oleh da’i untuk mengajak jamaahnya senantiasa bertakwa kepada Allah. Karena takwa adalah sebaik-baik bekal di dunia maupun di akhirat.

Kedua, QS. At-Talaq 2-3:

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ

Artinya :Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka.

Lafaz yang paling sering digunakan pada ayat ini adalah lafaz: wa man yattaqillâha yaj’al lahû makhraja, wa yarzuqhu min haytsu lâ yahtasib. Di mana poin utama dari ayat ini adalah barangsiapa yang senantiasa bertakwa kepada Allah, maka ia akan diberikan jalan keluar dari permasalahannya dan diberikan kepadanya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.

Sekiranya dua ayat ini adalah contoh dari ayat-ayat yang sering digunakan oleh para da’i dalam penyampaian materi kajiannya. Tentu konteksnya adalah ajakan dan dakwah agar jamaah bertakwa kepada Allah. Ajakan agar berbekal dengan perbekalan takwa, dan ajakan untuk bertakwa karena akan mendapatkan kemudahan dan rezeki.

Dalam hal ini, penggunaan kaidah al-‘ibratu bi umûmi al-lafdzi lâ bi khusûsi as-sabab adalah mengambil makna umum dari kekhususan konteks ayat. Surat Al-Baqarah ayat 197 sebenarnya adalah ayat yang temanya tentang haji. Pada ujung ayatnya, terdapat anjuran untuk berbekal dengan ketakwaan. Karena takwa adalah sebaik-baik bekal. Para da’i biasanya memaknai ayat ini secara umum, yakni perbekalan takwa untuk urusan dunia dan akhirat. Hal ini tentu sah-sah saja karena masih dalam koridor yang sesuai.

Baca Juga  Memahami Kata “Yang Serupa Tapi Tidak Sama” Dalam Al-Qur’an

Keabsahan Penafsiran

Bekal takwa berupa amal shalih untuk menghadap kepada Allah ketika di akhirat kelak sebagai makna tafsirnya tentu tidak dilupakan oleh para da’i. Sehingga dalam praktiknya, seorang da’i tidak meninggalkan makna tafsir yang sebenarnya meskipun ia sebelumnya hanya menggunakan makna umum lafaz tersebut.

Sedangkan pada ayat 2-3 surat At-Talaq, konteks ayat ini adalah permasalahan talak dan problematika rumah tangga. Perintah takwa di sini juga sebenarnya berbicara tentang apabila ada cekcok antara suami istri dan mengerucut kepada perceraian, hendaknya suami istri tersebut bertakwa kepada Allah. Karena Allah akan memberikan jalan keluar bagi permasalahan mereka. Kemudian memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.

Namun takwa di sini sering diumumkan menjadi takwa dalam segala kondisi. Tentu hal ini sah karena masih berada dalam koridor yang benar. Kemudian makna rezeki juga menjadi umum, karena rezeki tidak terbatas pada uang saja, karena siapa saja wajib bertakwa kepada Allah dalam segala situasi dan kondisi.

Salah satu keistimewaan Alquran adalah ia bisa dimaknai dan dipahami oleh siapapun yang membacanya, namun tidak semua pemaknaan dianggap benar. Alquran telah ditafsirkan oleh para mufasir dengan kapasitas keilmuan mereka.

Para da’i sebagai orang yang bertugas menyampaikan isi Alquran boleh dan sah-sah saja bila menerjemahkan dan memaknai suatu ayat dengan kaidah ini, asalkan masih dalam koridor yang pas. Tidak memaknainya dengan pemaknaan yang asal-asalan.

Akan tetapi alangkah bijaknya bila dalam menyampaikan makna suatu ayat, para da’i menyertakan pendapat para mufassir dan menyertakan dalam kitab apa ayat itu dijelaskan agar tidak terjadi kesalahan yang fatal dalam berdakwah. Lebih-lebih ketika menggunakan dalil berupa ayat Alqur’an. Wallâhu a’lamu bi al-shawab.

Baca Juga  Istifham Inkari dalam QS. Al-Qiyamah: 36

Editor: Muhamad Bukhari Muslim