Ibn Taimiyyah (1263–1328) adalah seorang reformis Ḥanbalī, pengkritik filsafat dan tasawuf dan teologi spekulatif, serta pembela gagasan kembali ke sumber otentik Islam: Al-Qur’an dan Sunnah yang terkenal. Namun, tidak banyak yang mengetahui salah satu warisan mendalam dari Ibn Taimiyyah pada bidang tafsir, yang ia tuangkan dalam karya kecil namun monumental: Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr. Meski selama berabad-abad risalah ini nyaris tenggelam dalam manuskrip-manuskrip yang tak bernama, di era modern ia justru bangkit menjadi rujukan normatif tafsir berbasis tradisi.(Mirza, 2023; Suleiman, 2017)
Risālah ini menjelaskan bagaimana Ibn Taimiyyah menyusun teori tafsir yang sangat berbeda dari model spekulatif-filosofis, dan bagaimana sejarah penerbitan, editorial, dan politik keilmuan membentuk ulang cara kita memahami kontribusi Ibn Taimiyyah terhadap tafsir Al-Qur’an. Esai ini akan menjelaskan singkat teori Ibn Taimiyyah tentang tafsir dan bagaimana risalahnya yang sempat hilang itu bangkit sebagai salah satu standar baru dalam ilmu tafsir modern.
Tafsir sebagai Warisan Profetik: Struktur Epistemologi Ibn Taimiyyah
Dalam Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr, Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa metode paling sahih untuk menafsirkan Al-Qur’an adalah menafsirkannya dengan dirinya sendiri (Tafsīr al-Qur’ān bi al-Qur’ān), kemudian dengan Sunnah Nabi (ḥadīṡ), lalu dengan pendapat sahabat. Bagi Ibn Taimiyyah, otoritas tafsir tidak bersumber dari logika atau filsafat, tetapi dari rantai transmisi pengetahuan yang sahih (tawātur), yang menurutnya telah menjelaskan semua isi Al-Qur’an sejak zaman Nabi.(Ibn Taimiyyah, 1972; Laher, 2024)
Hal ini menandai dua prinsip dasar epistemologi tafsir Ibn Taimiyyah: naql mu‘tabar (transmisi sahih) dan istidlāl muḥaqqaq (penalaran kritis yang valid). Tafsir bukanlah tempat kreativitas individual, melainkan medan reproduksi makna otentik sebagaimana diajarkan oleh Nabi dan diserap oleh sahabat. Pandangan ini memutuskan hubungan dengan kecenderungan teosofis-esoteris atau spekulatif yang berkembang sejak masa al-Ghazālī, al-Rāzī, hingga tafsir sufi atau filosofis seperti tafsir al-Zamakhsyarī.(Mirza, 2023; Saleh, n.d.)
Muqaddimah: Risalah yang ‘Terlupakan’
Meski Muqaddimah dikenal luas saat ini, risalah ini tidak pernah disebutkan dalam daftar karyanya pada masa pramodern. Para muridnya, termasuk Ibn Qayyim al-Jauziyyah, memang mengutip prinsip-prinsip tafsirnya, namun tidak menyebutkan judul Muqaddimah. Bahkan Ibn Kaṡīr -murid Ibn Taimiyyah yang paling terkenal dalam bidang tafsir- menyalin dua bab terakhir dari risalah ini dalam pendahuluan tafsirnya tanpa menyebut nama Ibn Taimiyyah sebagai penulisnya.(Mirza, 2023)
Muqaddimah baru dikenal sebagai teks utuh dan diberi nama demikian pada awal abad ke-20, ketika Muḥammad Jamīl al-Syaṭṭī -seorang mufti Hanbali dari Damaskus-menemukannya dalam kumpulan naskah. Dengan bantuan Ṭāhir al-Jazā’irī, ia menerbitkannya pada 1936 dengan judul Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr. Padahal judul asli risalah ini tampaknya adalah Qā‘idah ‘Aẓīmah fī Fahm al-Qur’ān (sebuah prinsip agung tentang cara memahami Al-Qur’an).(Mirza, 2023; Suleiman, 2017)
Paradigma Hermeneutik Ibn Taimiyyah
Ibn Taimiyyah menilai bahwa beberapa mufassir klasik telah menyimpang dari jalan Nabi. Ia menolak penggunaan ilmu kalām, spekulasi filsafat, dan takwil simbolik dalam menafsirkan Al-Qur’an. Bagi dia, semua ini tidak berdasar dalam Sunnah. Tafsir seperti ini termasuk tafsīr bi al-ra’yi yang ia anggap sebagai bentuk penyelewengan. Dalam bab lima dari Muqaddimah, ia merumuskan hierarki metode tafsir: (1) Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, (2) Al-Qur’an dengan Sunnah, (3) tafsir sahabat, (4) tafsir tabi‘in, dan (5) bahasa Arab. Hirarki ini kemudian menjadi dasar teori tafsir berbasis riwayat yang dipopulerkan oleh Ibn Kaṡīr dan al-Suyūṭī.
Konsep penting lainnya dalam tafsir Ibn Taimiyyah adalah perbedaan antara ikhtilāf tanawwu‘ (variasi makna sahih) dan ikhtilāf taḍādd (kontradiksi bermasalah). Perbedaan para sahabat menurutnya biasanya bersifat tanawwu‘, yakni perbedaan yang memperkaya, bukan merusak. Misalnya, penafsiran “ṣirāṭ al-mustaqīm” sebagai Islam, Al-Qur’an, atau ketaatan kepada Rasul, semuanya valid karena sejatinya satu arah.(Mirza, 2023; Saleh, n.d.)
Revolusi Sunyi: Dari Teks tersembunyi ke Standar Baru Tafsir
Kebangkitan risalah ini adalah kisah sejarah tentang bagaimana sebuah naskah marginal menjadi standar baru. Setelah al-Syaṭṭī menerbitkannya, Muḥibb al-Dīn al-Khaṭīb -editor al-Maṭba‘ah al-Salafiyyah- menerbitkan ulang dengan gaya lebih apologetik, lalu Adnān Zarzūr menyuntingnya kembali secara akademis dan menjadikannya teks referensi studi tafsir modern.
Edisi Zarzūr (1972)(Ibn Taimiyyah, 1972) menjadi versi otoritatif yang kemudian diadopsi oleh universitas-universitas Islam, termasuk di Timur Tengah dan Asia Tenggara. Dalam edisinya, Zarzūr mengakui bahwa judul Muqaddimah tidak ditemukan dalam manuskrip asli, tetapi nama itu terlalu mapan untuk diubah. Menariknya, penyebaran risalah ini bukan dipelopori oleh ulama Saudi atau gerakan Wahhābī, tetapi oleh ulama Suriah dan Mesir yang ingin memperkuat pendekatan berbasis hadis dan tradisi terhadap Al-Qur’an.(Mirza, 2023)
Warisan Tafsir Ibn Taimiyyah di Era Modern
Kebangkitan Muqaddimah pada abad ke-20 tidak bisa dilepaskan dari proyek reformasi Islam. Bagi al-Syaṭṭī dan Ṭāhir al-Jazā’irī, risalah Ibn Taimiyyah menyediakan dasar untuk mengkritik tafsir spekulatif dan mendukung penafsiran Al-Qur’an yang lebih ‘otentik’. Risalah ini membantu mendefinisikan ulang apa itu tafsir yang sahih: bukan yang canggih secara filsafat, tetapi yang tunduk pada Sunnah dan pemahaman sahabat.
Aliran Salafi kemudian mengadopsi tafsir Ibn Taimiyyah sebagai pendekatan normatif. Ibn Kaṡīr, yang karyanya berdiri di atas fondasi Muqaddimah, menjadi tafsir yang banyak orang gunakan di dunia Islam modern. Bahkan dalam universitas Islam formal seperti LIPIA (Jakarta), Universitas Imam (Riyadh), atau Universitas Islam Madinah, pendekatan tafsir yang berdasar dari Muqaddimah menjadi silabus pokok.(Mirza, 2023)
Namun, ini juga menimbulkan kritik. Sebagian sarjana melihat pendekatan Ibn Taimiyyah sebagai simplifikasi berlebihan dan menutup ruang penafsiran kreatif. Beberapa ada yang menganggap bahwa pendekatan Ibn Taimiyyah membekukan Al-Qur’an dalam kerangka abad ke-7, dan menutup kemungkinan kontekstualisasi baru terhadap realitas kontemporer. Meski demikian, pengaruhnya tetap kuat, justru karena ia menyajikan kerangka tafsir yang jelas, hirarkis, dan “aman” secara teologis.
Penutup
Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr bukan hanya teks tentang metode menafsirkan Al-Qur’an. Ia adalah refleksi atas krisis otoritas tafsir. Ibn Taimiyyah menulisnya pada masa-masa sulit dalam hidupnya; saat ia dipenjara dan melihat bagaimana umat terpecah oleh tafsir-tafsir yang ia anggap menyimpang dari Sunnah. Lewat risalah ini, ia ingin menetapkan kembali siapa yang berhak menafsirkan Al-Qur’an: bukan filosof, bukan sufi esoterik, bukan mutakallim, tetapi para pewaris Nabi dalam pemahaman dan praktik.
Namun ironinya, karya ini baru dikenal sebagai Muqaddimah berabad-abad kemudian, dan barulah menjadi “klasik” setelah disusun, diedit, dan dipopulerkan oleh para editor (muḥaqqiq) dan pembaharu modern. Sejarah Muqaddimah bukan hanya tentang isi, tetapi juga tentang siapa yang mengangkatnya dari arsip manuskrip.
Dalam dunia Islam yang kini penuh tafsir dengan berbagai orientasi. Seperti feminis, progresif, filologis, atau politik, warisan Ibn Taimiyyah tetap menjadi pilar penting. Ia mengingatkan kita bahwa tafsir bukan sekadar analisis teks, tetapi juga perjuangan tentang siapa yang berhak bicara atas nama wahyu.
Referensi:
Ibn Taimiyyah, A. ibn ’Abd al Ḥalīm. (1972). Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr (‘Adnān Zarzūr (ed.)). Mu’assasah al-Rayyān.
Laher, S. (2024). Tawātur in Islamic Thought: Transmission, Certitude and Orthodoxy. Edinburgh University Press.
Mirza, Y. Y. (2023). ‘A Precious Treatise’: How Modern Arab Editors Helped Create Ibn Taymiyya’s Muqaddima fī uṣūl al-tafsīr. Journal of Qur’anic Studies, 25(1), 79–107. https://doi.org/10.3366/jqs.2023.0530
Saleh, W. A. (n.d.). Ibn Taymiyya and the Rise of Radical Hermeneutics: An Analysis of An Introduction to the Foundations of Qur’ānic Exegesis. In Times (pp. 123–162).
Suleiman, F. (2017). Ibn Taymīyas Theorie Der Koranexegese. In A. Poya (Ed.), Koranexegese Als »Mix and Match« Zur Diverität Aktueller Diskurse in Der Tafsīr-Wissenschaft (pp. 15–43). transcript Verlag.
Editor: Trisna Yudistira
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.