Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Huzaemah T. Yanggo: Ulama Perempuan Asal Sulawesi Tengah

Huzaemah

Sebelum mengikuti seleksi masuk UIN Jakarta, papa saya sempat memberi tahu saya kalau di sana ada seorang guru besar yang juga berasal dari Sulawesi Tengah. Saya disarankan untuk ketemu dan silaturahmi dengan beliau, sekaligus menyampaikan keinginan saya untuk masuk ke UIN Jakarta. Namun hingga saat ini, permintaan tersebut belum juga terwujud karena satu dan lain hal.

Sewaktu di rumah, papa juga beberapa kali bercerita tentang sosok Prof. Huzaemah. Salah satu di antara yang sering diceritakannya adalah mengenai kepulangan beliau usai menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Al-Azhar, Mesir. Papa mengatakan bahwa kepulangannya saat itu begitu meriah dan menjadi hal yang begitu dinanti.

Bagaimana tidak, kepulangannya disambut bak seorang presiden. Dibuatkan perayaan dan disambut sedemikian rupa, khususnya oleh jama’ah Al-Khairat (organisasi Islam asal Sulawesi Tengah) dan masyarakat kota Palu pada umumnya. Penyambutan itu, terang papa, karena Huzaemah adalah perempuan pertama di Sulawesi Tengah yang telah menggondol gelar doktor.

Biografi Intelektual

Nama lengkapnya Huzaemah Tahido Yanggo. Ia merupakan perempuan kelahiran Donggala, 30 Desember 1946. Ia memulai pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidaiyah Al-Khairaat. Begitupan dengan pendidikan tsanawiyah, aliyah, dan kuliahnya, semuanya diselesaikan di Al-Khairaat. Nanti ketika mengambil gelar magister, ia pindah ke kampus berbeda, yakni Universitas Al-Azhar, Mesir. Gelar doktornya juga ia raih di kampus ini dan lulus dengan predikat cum laude.   

Sebagai doktor jebolan Universitas Al-Azhar, Mesir, Huzaemah menjadi gilang gemintang kejora di antara sedikit intelektual perempuan di Indonesia. Huzaemah tercatat pernah memegang beberapa jabatan strategis, baik di organisasi sosial ataupun kampus. Di antaranya ialah: Ketua Pengurus Besar Persatuan Wanita Islam al-Khairat di Palu, sejak 1996, Ketua Pusat Pembelajaran Wanita IAIN Jakarta pada tahun 1994 hingga 1998, dan A’wan pengurus Besar Nahdlatul Ulama 2015-2020.

Baca Juga  Rifa'ah al-Tahtawi: Urgensi Pendidikan Bagi Perempuan

Selain itu Huzaemah juga pernah menjadi Direktur Program Pascasarjana Institut Ilmu al-Quran (IIQ) dan sekaligus Rektor Institut Ilmu Alquran 2014-2018, anggota Komisi Fatwa MUI sejak tahun 1987, menjadi anggota Dewan Syariah Nasional MUI sejak 1997 dan sejak 2000.

Di kemudian hari, setelah lulus dari Al-Azhar, ia tampil sebagai tokoh yang bersinar dan dikenal sebagai muslimah pakar fikih perbandingan mazhab. Setelah kembali dari Mesir, ia cukup sering terlibat dalam mewarnai diskursus dan perdebatan hukum Islam di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan perempuan. Huzaemah, sebagaimana jelas Fariz, adalah sosok yang berdiri di antara dua kaki. Ia modern sekaligus tradisional. Satu kakinya berdiri di atas tradisi dan satu kaki lainnya berdiri untuk merespon perkembangan zaman.

Bersilang Pendapat dengan Musdah Mulia

Apa yang membuat Fariz menilai Huzaemah demikian? Hal itu tidak lain didasarkan pada pemikirannya tentang perempuan. Huzaemah, dalam kaitannya dengan perempuan, tegas menerangkan bahwa peran domestik tetap harus dijaga. Hal ini seperti terekam dalam buku yang ditulis oleh Jajat Burhanuddin dan Oman Fathurrahman (ed) dengan judul Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan (2004):

“Jadi, Islam mentolerir adanya wanita sebagai tenaga baru dalam mencari nafkah dengan adanya perkembangan zaman yang memengaruhi tatanan kehidupan. Dalam hal itu, wanita harus membantu suaminya untuk menjaga kelestarian dan kewajiban keluarga serta kesejahteraan anak-anak di kemudian hari. Wanita boleh memasuki berbagai profesi, asal tugasnya diselaraskan dengan sifat dan kodrat mereka, dan ia tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban sebagai Ibu rumah tangga, serta tetap mempertahankan hukum-hukum yang ditentukan agama,” jelas Huzaemah.

Pemikirannya tentang perempuan ini bahkan pernah mengantarkannya bersilang pendapat dengan Musdah Mulia dan kawan-kawan. Ia menolak usulan Tim Pengarustamaan Gender (PUG) yang dikomandani Musdah Mulia, khususnya tentang hukum perkawinan di Indonesia. Saat itu PUG memberikan usulan-usulan yang cukup kontroversial. Di antaranya: diperbolehkannya kawin kontrak, tidak diwajibkan adanya wali nikah, bolehnya nikah beda agama, larangan poligami, ihwal pewarisan, tentang hak cerai dan juga hak rujuk istri, iddah, dan juga nusyuz.(Tirto.id)

Baca Juga  Perjuangan Qur'ani RA Kardinah dalam Emansipasi Perempuan

Menyikapi hal itu, Huzaemah dengan tegas mengatakan bahwa apa yang diusulkan oleh Musdah Mulia dan kawan-kawan PGU lainnya hakikatnya tidak relevan dan telah keluar dari koridor yang diajarkan oleh al-Quran dan hadis. Namun jangan dikira, dengan pendapatnya yang demikian, Huzaemah adalah sosok yang konservatif. Tidak. Ia juga memiliki pandangan yang progresif terkait perempuan. Ia berkata demikian karena sosoknya yang begitu teguh memegang tradisi yang dianggap qath’i dan tak lekang oleh zaman. Lantas, apakah pandangan progresif Huzaemah tersebut?

Pandagan Progresif Huzemah tentang Perempuan

Pandangan progresif Huzaemah tentang perempuan dapat dilihat dalam bukunya Fikih Perempuan dan Keluarga. Di dalamnya terlihat dengan jelas bagaimana Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta tersebut menolak angggapan yang menyatakan kalau derajat laki-laki lebih tinggi atas perempuan.

Dalam membantah anggapan itu, ia terlebih dahulu menampilkan argumen-argumen yang mereka pakai untuk menyatakan kalau derajat kemanusiaan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Di antara teks-teks al-Quran yang menjadi pegangan dan landasan mereka ialah Q.S. an-Nisa ayat 34 yang menyatakan kalau laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, Q.S. al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan kalau kesaksian dua orang perempuan seimbang dengan kesaksian satu orang laki-laki dan Q.S. an-Nisa ayat 1 yang menurut mereka menyebutkan kalau perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. (Huzaemah: 2012)

Selanjutnya, dengan mengutip pandangan ulama-ulama kontemporer, Huzaemah menyatakan keberatannya atas pemahaman al-Quran pihak-pihak di atas. Misalnya, soal anggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Ia mengutip pandangan Rasyid Ridha yang menyatakan bahwa anggapan yang demikian itu lahir dari pembacaan terhadap kitab Perjanjian Lama kaum Kristen. Sebab hanya di sanalah tercantum kalau perempuan diciptakan dari tulang rusuk. Adapun di al-Quran, tidak ada satu pun ayat yang menyinggung itu.

Baca Juga  Al-Qur’an: Kitab Suci yang Dirindukan, Direnungkan, dan Diimpikan tanpa Tepian

Sedangkan untuk kesaksian satu laki-laki sama dengan kesaksian dua perempuan, Huzaemah mengatakan bahwa itu bukan untuk menunjukan kalau derajat kemanusiaan laki-laki lebih tinggi atas perempuan. Melainkan untuk meyakinkan dan meneguhkan hak-hak orang yang sedang ber-mua’malah.

Kedudukan ayat itu, lanjut Huzaemah, bukan dalam hal pengadilan. Tapi dalam hal penguat kepemilikan seseorang. Adapun dalam masalah pengadilan, kesaksian dua orang perempuan tetap sama dengan kesaksian dua orang laki-laki. Ia juga mengingatkan kalau ayat ini tidak sedang ingin menjelaskan bahwa kesaksian dua orang perempuan tanpa laki-laki bersamanya dianggap tidak kuat. Karena tetap, yang menjadi alasan kuat tidaknya suatu kesaksian, didasarkan pada bukti nyata yang ditunjukkan. Bukan pada apakah ia laki-laki atau perempuan.         

Alumni Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Jakarta, Mahasiswa Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta dan Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKU-MI), Bendahara Umum DPD IMM DKI Jakarta 2024-2026.