Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Huseyin Atay: Interpretasi Induktif dalam Legislasi Al-Qur’an

huseyin atay
Sumber: https://www.huseyinatay.com/

Reformasi pemikiran Islam terhadap stagnasi, kemunduran, bahkan mentalitas otoriter kian dibutuhkan dalam kerangka yang utuh. Khususnya dalam pemahaman terhadap Al-Qur’an. Telah banyak sarjana yang berkontribusi dalam perangkat metodologis terhadap teks Al-Qur’an. Satu di antara deretan para reformis adalah Huseyin Atay, akademisiasal Turki yang menekankan analisis teks. Dengan bertolak dari tesis bahwa semua teks Al-Qur’an valid sepanjang masa, Atay menegaskan tidak ada abograsi (naskh) di dalamnya.

Kiranya juga tidak berlebihan ketika menempatkanAtay dalam sekte revolusioner yang memfokuskan pada aspek legal (hukum) dengan memanfaatkan Al-Qur’an secara holistik sebagai pemberi solusi dari problematika praktis masyarakat. Bahwa pandangan holistik Atay terhadap Al-Qur’an dan penolakannya terhadap abrogasi, sejatinya memberi penekanan pada sikap utilitarian. Kemudian memberikan ruang yang lebih luas sebagai elemen solutif atas kehidupan praktis masyarakat.

Al-Qur’an memiliki otoritas yang esensinya tidak dapat direduksi oleh kerangka berpikir yang tidak tepat. Apalagi, esensi Al-Qur’an dalam tema-tema tertentu yang sangat bervariasi. Pada saat bersamaan memberi peluang untuk dapat menangani problematika sosial yang bervariasi pula. Penolakannya terhadap teori abrogasi sejatinya dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa teks Al-Qur’an dapat memberi cakupan yang lebih luas dan responsible terhadap kebutuhan masyarakat.

Interpretasi Induktif Huseyin Atay dalam Legislasi Al-Qur’an

Bagi Atay, keberlakuan Al-Qur’an untuk umat sepanjang masa tidak dapat dipersempit dengan pemahaman yang lebih menekankan pada aspek historis–sosio-kultural–dari penurunan teks Al-Qur’an. Secara esensial dan prinsipal, Al-Qur’an bersifat abadi dengan tidak terbatas pada historisitas ayat saat diturunkan. Jika tidak, internalisasi Al-Qur’an dalam realita masyarakat akan terhambat. Sebab Al-Qur’an diasumsikan muncul dari jalur tertentu dalam ruang sejarah dan budaya.

Dalam hal ini, pembaca harus menavigasinya untuk sampai pada pemahaman yang tepat terhadap Al-Qur’an. Pandangan sebaliknya dapat ditemukan dalam double movement Fazlur Rahman. Teori ini dalam memahami Al-Qur’an diperlukan pemahaman terhadap konteks sosial dan historis dari masyarakat Arab ketika wahyu diturunkan. Gagasan yang mengundang beberapa kritikan ini mengajak umat Islam untuk menjauhi pendekatan yang reduksionis dan konvensional. Juga yang tidak mempertimbangakan konteks sosial, historis dan linguistik Al-Qur’an.

Baca Juga  Anjuran Membaca Asmaulhusna dalam Al-Qur’an

Berbeda dengan Rahman, Atay dengan tegas mengatakan perlunya membebaskan pikiran pembaca dari sejarah dan budaya tradisional yang justru mengaburkan pemahaman sejati tentang Al-Qur’an. Dapat dilihat bahwa Atay lebih memerhatikan pada pembacaan langsung terhadap Al-Qur’an. Bukan dalam kerangka literal-tekstual, karena distingsi dari kedua kerangka ini cukup signifikan. Kerangka literal-tekstual hanya fokus pada aspek linguistik daripada aspek eksternal yang melingkupi teks dalam realita hari ini.

Pergeseran Logika Berpikir

Berangkat dari satu isu ke isu yang lain, Atay bermaksud untuk mencari solusi dengan memproyeksikan pemahamannya terhadap Al-Qur’an. Interpretasi yang dikenal dengan sebutan induksi ini mengesankan adanya kesamaan dengan hermeneutika pembebasan Hasan Hanafi. Hermeneutika yang merupakan jawaban teoritis Al-Qur’an terhadap berbagai problematika kemasyarakatan yang semestinya diterapkan pada dataran praktis.

Bagi Hanafi, interpretasi Al-Qur’an bukan sekedar mendeduksi makna dari teks, melainkan menginduksinya dari realitas. Dengan kerangka ini, interpretasi akan menemukan hal baru di balik teks Al-Qur’an. Memberi pengetahuan yang tidak diketahui sebelumnya, serta yang tidak tertulis secara eksplisit. Dalam ranah pragmatis, teori interpretasi Hanafi digaungkan sebagai visi revolusioner. Di mana metodenya tidak lagi mengangkat pesan-pesan moral Al-Qur’an ke atas permukaan, sebagaimana teori Rahman.

Hanafi lebih menekankan agar metodenya dapat menghasilkan dentuman revolusi, sebab pada hakikatnya, manusia adalah aktor sosial. Sebagaimana ia tegaskan dengan sebah ungkapan, “penafsir adalah seseorang yang mempunyai komitmen untuk melakukan perubahan.”

Atay mengidentifikasi ada pergeseran dari logika induksi kepada deduksi dalam dunia Muslim sebagai penyebab kemunduran pemikiran Islam. Baginya, metode deduksi mengarah pada mentalitas otoriter karena didorong pemaksaan aturan. Dari pada mengejar perubahan dalam sebuah kasus atau isu-isu tertentu. Jika sebelumnya ada Hanafi yang pro dengan logika induksi, maka ada imam Syafi’i yang pro dengan logika deduksi.

Baca Juga  Memahami Al-Qur’an dan Tafsir Perspektif Asghar Ali Engineer

Argumentasi Metode Induksi

Atay berargumen bahwa metode induksi telah diajukan oleh Al-Qur’an sendiri dalam surah az-Zumar: 18, sebagai legitimasi dari penggunaan akal sehat.

 الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَاب

Artinya: “(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.”

Perintah Al-Qur’an di sini memberi indikasi untuk menerapkan metode induksi dalam mengambil keputusan hukum. Meski klaim ini dinilai berlebihan, pertimbangannya dalam aspek legaslasi Islam tetap dapat dianggap tepat. Bahkan, ketika membahas otoritas akal dibandingkan dengan narasi umum hadis, Atay memutuskan untuk memihak pada akal. Penggunaan akal dalam logika induksi, menurut Atay juga mendapatkan legitimasi Al-Qur’an. Sekurang-kurangnya dalam tiga tempat, yakni surah al-A’raf: 179, al-Anfal: 22, Yunus: 100.

Namun, dalam penetapan metodologi induksi, Atay berbeda dengan Hanafi yang telah menghadirkan langkah sistematis. Ia seperti melupakan sistematika yang mengantarkan pada produk hukum yang kesannya hanya kembali pada analisis teks Al-Qur’an.

Meski interpretasi ini berimplikasi pada kelonggaran hukum, tidak ada perlawanan dari akademisi lainnya. Hal ini didukung oleh milieu pro-modernis, di mana akademisi Turki mendapatkan ruang untuk mempublikasikan pandangannya di ruang publik. Dalam problem religiusitas terhadap Muslim secara umum yang cenderung taklid pada pemahaman sebelumnya. Bahkan tanpa adanya pembacaan ulang dan sikap kritis, Atay berusaha keluar dari problem ini.

Implementasi Metode Induksi

Bagi Atay, taqlid berlawanan dengan ijtihad dan kebebasan dalam penggunaan akal. Dalam diskursus keadaan wudhu yang menjadi prasyarat dalam memegang Al-Qur’an misalnya. Atay tidak berargumen sebagaimana pemahaman yang telah menghegemoni umat Muslim secara umum. Berdasarkan beberapa referensi, termasuk Ibn Hazm, ia menyangkal adanya perintah untuk menyentuh Al-Qur’an dalam keadaan suci. Berangkat dari diskursus tersebut, Atay kemudian merujuk pada ungkapan Al-Qur’an dalam surah al-Waqi’ah: 79.

Baca Juga  Tips Memaksimalkan Waktu Pagi ala Islam dan Barat

 لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

Artinya: “Tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan.”

Dalam pandangan Atay, ayat ini tidak dimaksudkan sebagai pelarangan memegang mushaf. Jika keterlibatan akal menjadi poin utama dalam menginterpretasi teks Al-Qur’an, ayat ini tidak berbicara mushaf. Sebab pada masa turunnya ayat ini, Al-Qur’an belum mengalami kanonisasi, bahkan mejadi satu mushaf utuh. Singkatnya, ayat ini tidak mengacu pada teks Al-Qur’an yang ada hari ini. Melainkan Al-Qur’an di lawh al-mahfudz, sebuah tempat yang melampaui dunia fisik manusia. Pandangan ini menghasilkan antitesis bahwa Al-Qur’an dapat disentuh oleh siapa pun dan dalam keadaan apa pun, meski ia berupa teks.

Penyunting: Ahmed Zaranggi