Kajian pemahaman tafsir di Indonesia tidak terlepas dari sejarah panjang yang sudah terekam dalam beberapa literatur. Sejarahnya dimulai pada awal aktivitas masuknya penafsiran Qur’an di Malay. Beberapa percobaan sudah dibuat untuk mengisi celah yang krusial (belum terungkap) ini dalam pengetahuan kita dari permulaan Islam Malay. Tetapi banyak pekerjaan yang tetap untuk menyelesaikannya sebelum kami menjadi dalam posisi terhadap membebani keaslian yang tepat dari aktivitas penafsiran Qur’an, pada permulaan persatuan dialek Malay.
Dimulai terkait sejarah masuknya Islam ke Asia Tenggara yang menyatakan bahwa tiadak adanya fakta-fakta yang ada; mengindikasikan kebenaran itu pertama yang membenarkan pengikut sebuah skala dalam apa yang terjadi di Nusanta Indonesia pada abad ke 13. Pada tahun 1282 orang China merujuk kepada wakil dari kota pelabuhan Sumatra dari Samudra Pasai yang bernama Bore Islam. Marco Polo menyinggahi Sumatera dalam perjalanannya sekitar 10 tahun lalu dan merekam bahwa kota Perlak sudah menjadi kekuasaan Islam. Literatur Malay menyatakan bahwa Raja Samdura Pasai runtuh pada tahun 1297 keadaan seorang muslim.
Masuknya Kajian Tafsir di Indonesia
Islamisasi dibawa oleh pedagang Muslim, kemudian mereka menikahi penduduk lokal, mereka menyambut kedatangan pedagang Muslim India Selatan dengan pesisir pantai Coromandal India Selatan menjadi tempat aslinya. Pada abad ke 16 mengindikasikan bahwa walaupun kota yang berada di Sumatra Utara seperti Pasai adalah Muslim, sisi lain masih luas yang belum dikunjungi.
Masuknya awal Abad ke 16 menunjukkan bahwa kota Aceh merupakan minoritas dari sebagain kecil pulau Sumatra Utara. Hal itu menjadi kekuatan di kawasan tersebut ketika penjajahan Portugis di Malaka tahun 1511. Setelah melewati abad tersebut Aceh menjadi kuat, Sultan Iskandar Muda yang memerintah ketika itu disebut sebagai “Golden Age” (Generasi Emas) Karena ekspansi yang telah dilakukan olehnya.
Permulaan masuknya aktivitas penafsiran terhadap keseluruhan al-Qur’an pertama kali dipelopori oleh adanya kitab Tarjuman al-Mustafid yang dikarang oleh ‘Abd al-Ra’uf, ‘Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili. Walaupun kompilasi karya ini tidak dapat tertanggal dengan tepat. ‘Abd al-Ra’uf dilahirkan sekitar tahun 1615 dan namanya dinisbatkan kepada tempat tingga keluarganya yang hidup di Singkil, merupakan kota kecil pesisir Barat dari pulau Sumatra yang sekarang merupakan provinsi Aceh di Indonesia.
Dirinya menghabiskan belajar tafsir, ilmu hukum, dan pengetahuan Islam di Arab selama 10 tahun (1640-an sampai 1650-an), sebelum kembali ke Aceh sekitar tahun 1661. Beliau sudah mengarang beberapa karya selain dalam bidang tafsir, bidang hukum dan ilmu pengetahuan agama pun tidak luput darinya. Sebelum beliau meninggal pada tahun 1693 beliau sudah mengarang kitab tafsir secara utuh yang diberi judul Tarjuman al-Mustafid.
***
Pada abad 6 penjajah Arab Muslim berhasil menduduki kota Sind yang berada di Barat Laut India. Namun Islam tidak begitu bertahan lama hanya sementara. Dikarenakan bukti yang terpisah-pisah dari permulaan periode ini mengindikasikan bahwa penafsiran Arab klasik; seperti Kashshaf karya Zamakhshari dan tafsir Imam nashir dalam penggunaan lingkaran keilmuan selama abad 12 dan 13. Karya tafsir di India yang pertama adalah kitab al-Rahman wa Taysir al-Mannan karya dari ‘Ali al-Maha’imi (853/1431), tafsir ini merupakan representasi dari kitab tafsir Ibn ‘Arabi.
Ulama Aceh asal Indonesia menghabiskan waktu belajarnya di pusat pembelajaran Islam Di Arab secara bervariasi. Abad ke 16 seorang Ulama mistik Sumatera yang terkenal bernama Hamzah Fansuri. Kemudian menyerahkannya kepada kerajaan Aceh. Beliau juga menyediakan kepada kita dengan informasi penting dengan Hamzah sendiri serta puisi-puisi yang dibuat olehnya yang dipelajari oleh ‘Abd al-Ra’uf. Puisinya berisi Mistik Qadiriyah di Arab.
Doktrin teosofi Islam menghubungkan alam Ketuhanan dan hubungan manusia terhadap sang Khaliq, ajaran ini mengajarkan kepada kita untuk selalu berdzikir. Oleh Karena itu periode tersebut banyak tulisan-tulisan dan pengajaran keagamaan di Aceh. Pada abad 17 muslim dunia dan golongan sufi/mistik banyak sekolah juga serta pemikiran tersebut, mereka menjadikan India dan Aceh sebagai tempat istirahat.
Salah satu ajaran sufi ialah bahwa inti dari semua ini adalah bertujuan untuk seberapa baik manusia itu berhubungan dengan Tuhannya. Ketika sudah memiliki hubungan baik dengan Tuhannya, maka manusia akan merasakan komunikasi langsung dengan sang Khaliq yang membuat mereka merasa ketenangan jiwa. Perkembangan doktrin sufi di Aceh secara langsung berhubungan dengan perkembangannya di India.
***
Saat itu kerajaan Aceh dipimpin oleh Iskandar Muda yang menganut sufistik, setelah beliau wafat tahun 1636, digantikan oleh anak yang diadopsinya bernama Iskandar Thani. Perubahan kepemimpinan ini menjadi perkembangan pesat dalam hal doktrin Islam. Ketika itu datanglah seorang ulama bernama Nur al-Din al-Raniri seorang sarjana muslim yang berasal dari Gujerat India ke Aceh untuk membuat sebuah kekuatan. Dia memiliki kepentingan untuk melindungi Sultan baru. Kemudian Beliau mengerahkan pemikirannya untuk menulis karya yang bertujuan untuk menyangkal apa yang dia anggap sesat dari ajaran Hamzah dan Shams al-Din. Ketika itu pun banyak karya-karya Hamzah dan Shams al-Din yang dimusnahkan oleh pengikut Nur al-Din al-Raniri.
Kitab tafsir Tarjuman al-Mustafid dirender dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu secra harfiyah (per kata) termasuk juga karya dari Hamzah dan Shams al-Din untuk menggambarkan alam Tuhan, Dunia, dan Manusia dan hubungan di antara ketiga hal tersebut. Manuskrip dari semua itu terdapat koleksi di MSS (Eropa) tepatnya di koleksi perpustakaan Universitas Cambridge Inggris. Dengan kode katalognya Li.6.45. terdapat perbedaan dalam waktunya menjadi koleksi di sana, ada yang mengatkan pada abad 18 atau abad 17.
Terdapat penafsiran yang disediakan oleh dua kitab yaitu Cambridge MS Li dan Tarjuman al-Mustafid mengenai surat al-Kahfi ayat 9, yaitu:
أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا
“Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (Q.S. al – Kahfi 18: 9)
Menurut tafsir Khazin bermakna bahwasanya mereka itu merupakan sebuah ‘adzab sebagai tanda kebesaran Kami.
Kitab Tafsir Pertama di Indonesia
Karya Tarjuman al-Mustafid merupakan penafsiran yang menggunakan metode tradisional dan merupakan terjemah dari Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya al-Baidowi. (w. 685/1286). Tafsir ini juga menjadikan tafsir al-Jalalain, al-Baidowi, dan al-Khazin sebagai referensi dalam kitabnya. Penafsirannya dilakukan secara makna harfiah (kata perkata). Tafsirnya tidak hanya menggunakan satu sumber penafsiran, tetapi berbagai sumber penafsiran dalam suatu ayat. Penafsiran al-Khazin digambarkan dengan sepenuhnya sserta terdapat penambahan dalam tafsiran ayat al-Qur’an. Penambahan tersebut sangat luas dan fakta menempati banyak tempat dibandingkan ayat-ayat Qur’an. Hal ini berbeda dengan Tarjuman al-Mustafid, dimana dalam penafsiran ayat intern pokok pembahasannya relative jarang dan pendek. Kemudian ditambahai oleh pemikiran penafsiran muridnya bernama Da’ud Rumi.
Demikian improvisasi (perkembangan) dari Sarjana Malay ketika menerjemahkan/menerangkan isi dari teks asli Arab yang tidak menggunakan cara luar biasa dalam literature Islam Malay. Akan tetapi, al-Raniri memungkinkan memiliki objek untuk mengadakan kebebasan dalam mempraktekan penafsirannya. Kemudian Karena karya penafsiran Arab memungkinkan untuk terjadinya tidak dapat terhindarkan memiliki hasil yang berbeda antara mereka. Pada abad ke 17 Lubab dari al-Khazin mengalami penurunan popularitas Aceh.
Dari pembahasan di atas penulis mendapatkan awal aktivitas masuknya penafsiran sudah ada sejak 400 atau sekitar 300 tahun yang lalu. Mengindikasikan dengan jelas bahwa terdapat aktivitas penafsiran di dunia bagian Malay selama abad ke 16. Prinsipnya berasal dari al-Khazin dan al-Baidowi yang mempengaruhi penafsirannya dalam mengkaji penafsiran Arab. Hal ini memiliki afiliasi dengan yang terjadi di India, penafsiran Arab klasik mengkajinya sebelum karya tafsir dalam Bahasa local muncul ke permukaan publik.
Editor: An-Najmi
Leave a Reply