Sebagai hamba Allah, tentu tidak pernah lepas dari aneka ragamnya problematika hidup. Sesulit apapun itu, tentu ajaran Islam telah menganjurkan supaya memohon berdoa setiap hari. Hal ini merupakan salah satu solusi agar tidak serta merta berangsur-angsur dalam keterpurukan. Secara implisit, kualitas berdoa akan terukur jika ungkapan doa dan esensi dari kebutuhan dapat diketahui dengan jelas. Sebagaimana doa Nabi Ibrahim.
Nabi Ibrahim as adalah salah di antara figur dari para Nabi yang doanya diabadikan di dalam Al-Qur’an. Walaupun terdapat doa dari Nabi Ibrahim as yang tak terkabulkan. Tentunya masih banyak pula doa yang dikabulkan Allah bahkan diabadikan dalam Al-Qur’an. Salah satunya termaktub dalam QS. al-Baqarah [2]: 128.
Bagaimana pun, doa Nabi Ibrahim as tersebut tentu tak terbesit sedikit pun dengan sejarah pembangunan Ka’bah bahkan arti dari Ka’bah. Terlebih dari itu, maka apapun doa yang dilantangkan Nabi Ibrahim as tentu masih menyimpan pesan di balik jerih payahnya.
Sekelumit Mengenal Arti Ka’bah
Syeikh Ibnu Mandzur berpendapat bahwa makna muasal Ka’bah adalah sesuatu yang agung dan ditempatkan pada alas kaki manusia. Adapun pendapat dari Imam Lihyani, menyatakan dalam kitab Lisanul Arab. Bahwa orang Arab mengenal setiap rumah yang berbentuk persegi empat disebut Ka’bah (Zainurrofieq, The Power of Ka’bah, 44).
Sedangkan menurut sejarawan Glaser, penamaan Ka’bah memiliki hubungan dengan kata mihrab. Yang kerap di bibir orang bagian selatan Jazirah Arab atau Etiopia. Kata mihrab ini bermakna tempat ibadah. Von Grunebaum berkata, “Barhalimus menyebut kata ‘Mekkah’ sebagai bangunan di bagian selatan Jazirah Arab yang berdiri di sekitar tempat suci.” (Nasruddin Umar, Ka’bah Rahasia Kiblat Dunia, 89).
Lahirnya Ka’bah, tentu tidak bisa luput dari bekas jerih payah Nabi Ibrahim as. Secara implisit, beliau adalah salah satu Nabi yang mendapat mandat langsung dari Tuhan untuk membangun ulang Ka’bah. Konon kata sebagian sejarawan Muslim pembangunannya sudah terealisasi sejak zaman Nabi Adam as (Mu’arif, Monoteisme Samawi Autentik, 129).
Nabi Ibrahim dan Pembangunan Ka’bah
Ketika Nabi Ibrahim as bersama keluarganya hijrah dari Syiria lalu tiba di daerah yang tandus yaitu Mekkah. Suasana kering meronta tiada air, lalu ia menempatkan keluarganya dekat gudukan tanah merah di lembah. Kemudian beliau meninggalkannya dengan maksud bergegas menjalankan perintah Allah seraya berdo’a yang berbunyi:
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
Artinya: “Ya Tuhan kami. Sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim [14]: 37).
Ayat di atas, menunjukkan keberadaan Ka’bah sebelum Nabi Ibrahim as membangun ulang. Tentu dengan kondisi hancur dan hanya tersisa pondasi saja. Kekurangan itulah yang dibangun ulang olehnya as (Hosen, Zenit: Panduan Azimut Syathr Kiblat dan Awal Waktu Shalat, 104). Di mana, bahan pembangunan yang digunakan waktu itu terdiri dari lima gunung. Yaitu gunung Tursina, Thurzita, Libnan, Judi, dan Nur (Riza Afrian Mustaqim, Ilmu Falak, 53).
Singkat kata, dalam QS. al-Baqarah [2]: 127-128 dipaparkan tentang Nabi Ibrahim as diperintah Allah meninggikan pondasi Ka’bah. Di mana, dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim as meminta bantuan Nabi Ismail as supaya membawa batu sebagai pijakan. Dikarenakan Nabi Ibrahim as kesulitan dikala membangun tembok. Hingga akhirnya, terbentuklah bangunan di mana Nabi Ibrahim as yang membangun. Sementara Nabi Ismail as yang memberi bahan dan alat bangunan (Ahmad Khalid Allam, dkk, Al-Qur’an Watsunaiyyatu Al-Kauni Wal Hayaati, 09).
Refleksi Do’a Nabi Ibrahim as
Sekali lagi, memang harus dipahami bahwa Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as membangun Ka’bah tentu didasarkan dengan rasa ikhlas dan taat kepada Allah. Di mana, keduanya memohon kepada Allah agar dapat menerima ketaatannya yang begitu besar dan usaha yang patut disyukuri bahkan memohon untuk bertobat (Ibnu Katsir, Kisah Para Nabi: Sejarah Lengkap Perjalanan Hidup Para nabi sejak Nabi Adam hingga Isa, 221). Hal ini termaktub sebagai refleksi doa yang berbunyi:
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Artinya: “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau. Dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau. Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 128).
Dalam Tafsir al-Azhar karya Hamka dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim as yang memohonkan taubat untuk dirinya dan untuk anaknya itu merupakan teladan untuk umat yang senantiasa ingat dan meminta ampun kepada Allah. Makna muasal tobat adalah kembali. Lantangnya ditambahi, manusia yang bertaubat kepada Allah dan terkabul doanya tentu dimaknai dengan perkataan ‘ala, yang berarti ke atas (Hamka, Tafsir Al-Azhar, 01/146).
Maka dari itu, pesan tersembunyi dari penjabaran di atas tentu dapat disimpulkan bahwa perbuatan Nabi Ibrahim dan Ismail menunjukkan sebagai hamba pada umumnya. Walaupun menyandang gelar Nabi yang diklaim dengan hamba yang maksum (terpelihara dari dosa), Nabi Ibrahim justru masih melakukan taubat (Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, 01/252). Pada intinya, apa pun yang terjadi kepada kita sebagai hamba Allah tidak sepatutnya menyombongkan dirinya sendiri.
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.