Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Hikayat Hayy ibn Yaqzhan: Sang Tarzan Versi Filsafat Islam

Hayy ibn Yaqzhan
Sumber: https://www.marhaba.qa

Abu Bakar ibn Thufail, seorang penulis sekaligus filsuf Muslim Andalusia telah menulis sebuah hikayat yang dikenal dengan Risalah Hayy ibn Yaqzhan pada abad ke 12 M. Karya tersebut adalah hasil pemikirannya mengenai filsafat Islam yang dikemas dalam bentuk novel. Ibnu Thufail sendiri adalah salah satu dari tiga filsuf Arab-Andalus yang paling berpengaruh di abad ke 12. Sehingga nama Ibnu Thufail masyhur di wilayah Islam Barat, di Eropa ia dikenal dengan nama Abubacer.

Ia menghadirkan kisah seorang anak yang diasuh oleh induk rusa. Dan dengan judul yang sama, pada beberapa abad sebelumnya Ibnu Sina menulis kisah tersebut ketika berada dalam tawanan, namun dikemas dengan nilai filsafat yang berbeda. Kisah Hayy ibn Yaqdzan dikenal sebagai tarzan versi Islam. Namun, pada kenyataannya, kisah Tarzan yang selama ini kita tonton terinspirasi dari Hayy ibn Yaqzhan.

Kisah Hayy Ibn Yaqdzan

Ia ingin mengejawantahkan teorinya tentang pengetahuan dengan cara menyelaraskan Aristoteles dengan Neoplatonis dan Al-Ghazali dengan Ibnu Bajjah. Singkatnya, Al-Ghozali yang bersebrangan dengan rasionalisme Aristoteles tetapi Ibnu Bajjah pengikut setia Aristoteles dan Ibnu Thufail menjembatani kedua pihak tersebut dengan menjadi jalan tengah antar keduaya.

Ibnu Thufail mengisahkan Hayy ibn Yaqzhan (anak rusa) yang mencari Tuhannya.  Diceritakan kelahiran Hayy ibn Yaqzhan dalam dua versi. Versi yang pertama, Hayy dilahirkan oleh seorang perempuan bangsawaan dengan laki-laki biasa yang tidak direstui oleh keluarganya. Ketika Hayy lahir, perempuan tersebut menghanyutkannya ke lautan dan terdampar ke sebuah pulau yang tidak dihuni oleh manusia melainkan bangsa hewan. Bayi tersebut ditemukan dan diasuh oleh seekor induk rusa yang baru saja kehilangan anaknya.

Versi kedua, Hayy bukanlah lahir dari rahim manusia melainkan hasil alam yaitu segumpal tanah yang meragi (ikhtimar ath-thiinah) yang oleh sejarawan al-Mas’udi dinamakan pulau al-Waqwaq. Pulau itu digambarkan dengan keadaan tanah yang semprurna dari semua tempat di bumi. Tempatnya tenang dengan suhu yang ideal. Tanah tersebut terdapat dua gunungan yang dipisahkan oleh selaput putih yang tipis berisi zat udara yang halus.Dari gelembung tersebut terciptalah sebuah embrio yang mengalami evolusi menjadi seorang bayi. Kemudian bayi tersebut diasuh oleh seekor rusa. Selama bertahun-tahun diasuh oleh rusa, segala tingkah laku, suara hingga makanannya pun sama dengan segerombolan rusa.

Baca Juga  Jihad dan Menuntut Ilmu: Tafsir QS At-Taubah 122

Tujuh Fase Menuju Manusia Dewasa

Tumbuh kembang bayi Hayy menuju manusia dewasa dibagi dalam tujuh fase. Fase yang pertama adalah dimana Hayy diasuh oleh seekor induk rusa selama tujuh tahun. Dalam fase tersebut, Hayy mengenal berbagai macam binatang yang mengelilinginya seerta belajar menirukan suara-suara binatang disekitarnya, menutup tubuhnya dan menggunakan tongkat sebagai sarana membela diri.

Fase kedua, di usia ke tujuh tahun dimulai setelah ibunya (induk rusa) meninggal. Untuk mengetahui apa yang terjadi pda ibunya, Hayy membedah jasad ibunya. Sebagai manusia, Hayy dibekali dengan indera dan naluri oleh Allah sehingga ia dapat membedakan segala sesuatu.

Fase ketiga, Hayy mulai menemukan api. Ia juga mulai mengetahui darimana api beraal, bagaimana menciptakan api dan memedamkannya hingga ia sampai pada kesimpulan tentang adanya ruh hewani di dalam setiap badan.

Fase keempat adalah fase mengamati a’alam al-kaun wa al-fasad. Yaitu mengamati segala sesuatu tentang yang terjadi di alam kejadian dan kerusakannya. Dia mulai mengerti akan adanya jumlah satuan dan bilangan pada jasad dan ruh serta meyakini bahwa segala sesuatu memiliki sumber yang sama meskipun bentuknya berbeda. Ia berkesimpulan bahwa setiap entitas yang ada di balik keberagaman itu, yang ia sebut sebagai “sebab pertama” atau Tuhan. Segala sesuatu yang ia lihat pasti ada yang menciptakan.

***

Fase kelima, Hayy mulai menemukan Tuhan. Namun ia masih belum bisa menerka siapa Ia? Bagaimana cara untuk melihat-Nya? Bagaimana cara bertemu dengan-Nya? dengan cara apa aku menyembah-Nya?

Fase Keenam, ia berkesimpulan bahwa jiwa berbeda dengan jasad. Jiwanya senantiasa rindu dan ingin berjumpa pada “Sebab Pertama” (sang Khaliq) dan kebahagiaan jiwanya terletak saat ia mampu untuk bermusyahadah (bertatap) dengan  “Sebab Pertama” atau Sang Khaliq.

Baca Juga  Islam Sebagai Solusi Mencegah Perzinahan

Fase Ketujuh, bermula saat ia meyakini bahwa kebahagiaan adalah dapat bermusyahadah dengan Sang Khaliq dan ingin sekali menemuinya maka ia terinspirasi oleh benda-benda bercahaya di luar angkasa bahwa ia harus membersihkan diri dan melepaskan diri dari segala apa yang dirasa.

Penutup

Hingga pada suatu masa, datanglah seorang manusia selain dirinya, dialah Absal. Seseorang yang hendak melakukan uzlah (menyepi). Ia datang dari pulau yang jauh dari al-waqwaq. Ia datang membawa kabar mengenai Sang Khaliq, para Rasul-Nya beserta syari’at-syari’atnya. Hayy akhirnya memahami.

Sebaliknya, Absal pun mendapat pemahaman lewaat kisah perenungan-perenungannya. Absal berpangkal pada agama dan Hayy berpangkal pada filsafat. Ibnu Thufail menuliskan sastra indah ini dengan keterikatan akal dan wahyu. Keduanya saling membutuhkan satu sama lain layaknya Hayy dan Absal yang saling membutuhkan pencerahan. Wallahua’lam.