Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Hermeneutika Farid Esack: Tafsir Pembebasan dalam Mengatasi Problem Sosial

esack

Dalam perkembangannya, pemikiran tafsir yang berbasis konteks sangat membantu memecahkan masalah umat di era kontemporer. Salah satu pemikiran tersebut datang dari seorang pemikir muslim dari Afrika Selatan, Farid Esack yang begitu kuat menyuarakan gerakan teologi pembebasan berbasis al-Qur’an bagi kaum mustadh’afun (tertindas). Seruan Farid Esack begitu menarik banyak perhatian, bukan formulasinya saja yang menarik, namun juga berangkat dari pengalaman pahit yang begitu nyata yang dialami oleh komunitas muslim di Afrika Selatan.

Biografi Farid Esack

Farid Esack lahir pada tahun 1959 di sebuah perkampungan kumuh di Cape Town, Wynberg, Afrika Selatan di tengah rezim apartheid yang berkuasa bersama ibunya dan lima saudaranya yang lain. Dalam bukunya, Qur’an, Liberation, Pluralism, Esack banyak mengulas kisah pahit keluarganya yang pada akhirnya sangat mewarnai cara pandang pemikirannya. Di tengah kepahitan hidup,Esack tetap rajin bersekolah dan menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Bonteheuwel, Afrika Selatan.

Bertambahnya pemahaman serta melihat realita sosial di Afrika Selatan dan Pakistan memudarkan persentuhan emosional dan teologis yang dirasakannya dengan Jamaah Tabligh karena adanya perbedaan pemahaman agama. Esack yang berasal dari keluarga miskin, minoritas dan tertindas sangat paham betapa sulitnya menjadi minoritas. Ia bisa merasakan kepedihan kaum Hindu dan Kristen yang menjadi minoritas, mengalami diskriminasi sosial dan pelecehan agama di Pakistan. Pengalamannya sewaktu kecil banyak berhutang budi pada tetangga Kristen dan Yahudi membuatnya sadar pentingnya persaudaraan lintas agama untuk membebaskan kaum yang tertindas.

Dalam bukunya, But Musa Went to Fir’aun!, Esack menulis pentingnya kerjasama lintas agama (inter-faith) untuk melawan apapun bentuk tirani. Buku ini juga ditulis atas keperluan organisasi yang didirikannya, The Call of Islam yang saat itu sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan ide-ide perlawanan terhadap rezim apartheid dengan mengutip kisah-kisah nabi di masa lalu yang tercantum di dalam al-Qur’an. Dalam pengantar buku ini tercantum bahwa Islam merupakan teologi yang kaya dengan nilai-nilai pembebasan dengan dalih dalam diri Islam terdapat seperangkat norma yang anti-penindasan atas nama apapun.

Baca Juga  Berguru Pada Farid Esack: Pluralisme dan Hermeneutika

Landasan pemikiran

Teori tafsir pembebasan yang digagas oleh Esack didasarkan pada enam kata kunci yang menurutnya penting untuk dijadikan pegangan dalam memahami ayat al-Qur’an dan untuk membebaskan masyarakat dari penindasan dan ketidakadilan. Menurut Esack, penafsiran tidak hanya memproduksi makna tetapi bagaimana makna yang dihasilkan dapat merubah kehidupan, serta pemahaman mengenai relevansi teks dapat memunculkan pandangan baru berupa “progressive revelation” atau hubungan antara teks dan konteks proses pewahyuan yang disebut dengan tadri.

Enam kata kunci tersebut adalah takwa, tauhid, al-nas, mustadh’afuna fi al-ardh, ‘adl dan jihad. Pertama, takwa. Esack menjelaskan bahwa dalam penafsiran, takwa merupakan benteng dari kepalsuan dan menuntut mufasir tetap berada di jalan Tuhan sehingga tidak ada penafsiran yang dimanipulasi untuk kepentingan pribadi maupun golongan tertentu. Kedua, tauhid (keesaan). Peran tauhid dalam penafsiran yaitu menolak wacana yang berlandaskan syirik seperti memisahkan teologi dari analisis sosial, pemisahan etnis juga dianggap syirik oleh Esack.

Ketiga, al-nas (manusia). Konsep mengenai manusia dalam al-Qur’an harus dipahami sebagai makhluk yang menjadi khalifah di bumi yang dalam proses penafsirannya dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi manusia mayoritas, bukan minoritas yang diistimewakan. Keempat, mustadh’afuna fi al-ardh (orang yang tertindas di bumi). Pentingnya mufasir mengetahui konsep ini adalah agar musafsir dapat memposisikan dirinya sebagai orang yang tertindas sehingga penafsiran terhadap al-Qur’an didasari dengan keutaman posisi kaum tertindas dalam pandangan Tuhan dan kenabian.

Kelima, adl (adil). Konsep keadilan menentang penindasan, mufasir harus memahami bahwa penafsiran al-Qur’an dapat dipakai untuk menentang penindasan dan ketidakadilan yang ada. Keenam, jihad. Al-Quran telah menetapkan jihad sebagai jalan untuk menegakkan keadilan dan praksis sebagia jalan untuk memperoleh kebenaran.

Baca Juga  Asbabul Wurud: Sarana Memahami Konteks Suatu Hadis

Prinsip Hermeneutika Pembebasan Farid Esack

Prinsip pertama, pewahyuan al-Qur’an menggambarkan bahwa Tuhan adalah Zat Maha Transenden yang aktif dalam urusan dunia dan umat manusia. Wujud keaktifan Tuhan adalah dengan mengutus para Nabi sebagai instrumen pewahyuan yang progresif dengan prinsip tadrij (berangsur-angsur dalam menetapkan hukum). Pengakuan al-Qur’an bahwa dirinya adalah petunjuk kehidupan dan Islam muncul di tengah-tengah perjuangan Nabi Muhammad yang juga membutuhkan al-Qur’an sebagai dukungan moral dan pelipur lara atas perjuangan yang dilakukan merupakan bentuk progresifitas kewahyuan.

Prinsip kedua, ayat-ayat al-Qur’an dikategorikan dalam ayat makkiyah dan ayat madaniyah. Pengkategorian ini sangat membantu dalam memahami isi dan konteks al-Qur’an dengan melihat tempat dan waktu.

Prinsip ketiga, al-Qur’an diturunkan berdasarkan Asbab al-Nuzul. Dalam tradisi hermeneutika kontemporer, sebab turunnya ayat dikategorikan menjadi dua yaitu sebab umum (makro) berupa kondisi masyarakat pada saat Nabi diutus seperti penindasan oleh kelompok kuat terhadap kelompok lemah dan rasialisme perbudakan. Sedangkan sebab khusus (mikro) adalah sebab spesifik atas ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an.

Prinsip keempat, perdebatan mengenai teori naskh semestinya dilihat dalam perspektif yang progresif yaitu ayat-ayat al-Qur’an umumnya diturunkan dalam kondisi sosial dan fakta situasional tertentu. Al-Quran merupakan teks keagamaan yang terbuka dengan berbagai kemungkinan pemahaman sehingga menurut Esack terdapat tiga unsur instrinsik dalam proses memahami al-Qur’an yaitu penafsir hendaknya dapat masuk dalam alam pikiran dan ide-ide yang dikehendaki Tuhan tentang kemiskinan, penindasan dan sebagainya. Selanjutnya, penafsir adalah manusia yang memikul beban berupa pra pemahaman serta angan-angan masa depan yang diharapkan. Terakhir, penafsiran tidak bisa lepas dari bahasa, sejarah dan tradisi.

Penggunaan hermeneutika pembebasan al-Qur’an merupakan sesuatu yang berpengaruh serta kontroversial di dunia Islam. Hermeneutika pembebasan al-Qur’an bermula saat Esack melihat kaum muslim ketika itu hanya peduli dengan aspek-aspek rohani beragama yang bersifat metafisik namun lupa akan adanya realita kehidupan sosial. Esack menghendaki adanya perubahan sosial dari penindasan terhadap kelompok tertentu menjadi keadilan yang dapat dirasakan seluruh umat manusia.

Baca Juga  Respon Artikel: Mengenal Pembacaan Prakanonisasi Anggelika Neuwirth

Meksipun bertitik tolak dari problem di Afrika Selatan, menurut penulis pemikiran Farid Esack sangat relevan untuk konteks Indonesia dalam problem pembebasan dan tafsir al-Qur’an progresif yang kontekstual dan melihat kondisi sosial, agar tidak ada lagi kelompok tertentu yang merasakan penindasan dan ketidakadilan di negeri sendiri.

Editor: An-Najmi Fikri R

Amal Hayati
Mahasiswi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta