Hermeneutika adalah sebuah metode penafsiran dan telah menjadi ilmu pengetahuan yang banyak sekali dibahas oleh sarjana muslim. Bahkan saking luasnya cakupan hermeneutika, kita tidak bisa berbicara mengenai hermeneutika dengan hanya satu jenis saja. Secara garis besar, hermeneutika adalah alat baca untuk membaca fenomena budaya, terutama membaca sebuah teks keagamaan.
Banyak sekali sarjana muslim yang terpesona dengan hermeneutika. Sehingga mereka kerap menggunakannya untuk membaca dan menafsirkan teks al-Quran. Diantaranya adalah Fazlur Rahman, Abdul Masaid, atau yang paling dikenal liberal adalah Nasr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun.
Latar Belakang Pemikiran
Muhammad Arkoun merupakan salah satu sarjana muslim yang banyak mempengaruhi diskursus wacana Islam kontemporer. Beliau lahir di Aljazair tetapi kemudian tinggal dan mengajar di Sorbone hingga beliau meninggal. Muhammad Arkoun sebagaimana banyak dikenal oleh kalangan muslim merupakan tokoh sekaligus pemikir yang kontroversial di Timur Tengah dan di dunia Islam.
Beliau memiliki kehebatan yang luar biasa. Hal ini dibuktikan dengan pemikirannya yang terbilang cukup rumit untuk dipahami. Kemampuannya di berbagai jenis perkembangan ilmu, seperti dekonstruksi, psikologi, linguistik, antropologi, semiologi dan lain-lain. Kesemua itu diperolehnya ketika masih belajar di Perancis. Dalam hal ini, beliau banyak menggunakan konsep kaum post-strukturalisme untuk mengembangkan pemikirannya terkait kajian keislaman.
Pemikiran Hermeneutika Muhammad Arkoun
Muhammad Arkoun kerap dipandang sebagai pemikir yang cukup liberal dalam menafsirkan al-Qur’an secara kritis dengan menggunakan metodologi barat. Di antara metode penafsirannya adalah historis-antropologis, semiotika-linguistik dan teologis-religius.
Pada metode historis-antropologis, Muhammad Arkoun menyatakan bahwa al-Qur’an adalah kata-kata Tuhan terhadap manusia yang dikonstruksikan ke dalam bahasa manusia melalui peralihan secara lisan dan dibakukan secara tertulis. Oleh karenanya, al-Qur’an menurut Arkoun merupakan produk sejarah sehingga perlu untuk ditafsirkan ulang. Artinya, apapun yang dibahas dalam teks al-Qur’an harus selalu sesuai dengan perkembangan zaman.
Pada metode semiotika-linguistik, ada dua kata kunci yang memiliki peran sentral dalam upaya merekonstruksi Islam sebagai agama, tatanan budaya maupun sebagai wacana. Ia adlah sejarah dan bahasa yang kemudian ia gunakan untuk membaca ulang sejarah dan muatan al-Qur’an (historisitas dan konten al-Qur’an). Maka di sini dapat dimengerti bahwa Arkoun menggunakan hermeneutikanya untuk melihat kesejarahan al-Qur’an dan isi kandungan al-Qur’an.
Selanjutnya pada metode teologis-religius, Muhammad Arkoun menyatakan bahwa jika manusia masih terus memandang al-Qur’an sebagai suatu teks yang berasal dari Tuhan secara adikodrati, maka mereka akan terus menjumpai masalah-masalah yang lebih bersifat dogmatis. Untuk itu, menurutnya diperlukan sebuah keyakinan terhadap apa yang rasional yang berdasarkan pada pertempuran antara episteme di titik tertentu dengan problematika teks keagamaan, yakni antara aset peninggalan dan kesejarahan.
Salah satu hukum sejarah yang paling penting adalah hukum perubahan. Setiap sejarah itu pasti mengalami perubahan. Seperti halnya manusia juga mengalami perubahan pada aspek pola pikir, gaya hidup, bahkan mungkin keyakinannya. Setiap masa memiliki sejarahnya sendiri. oleh karenanya, al-Qur’an yang diturunkan pada abad ke-6 Hijriyah adalah produk sejarah pada masa itu. Sehingga untuk masa sekarang, harus dibaca dengan hukum sejarah pada masa kini.
Al Qur’an Harus Ditafsirkan Ulang
Menurut hermeneutika Arkoun, dalam al-Qur’an terdapat hal-hal yang sebelumnya tidak terpikirkan. Hal ini dikarenakan al-Qur’an diturunkan pada masa lampau sehingga tidak mampu memikirkan apa yang akan terjadi di masa sekarang. Demikian ini merupakan tugas para sarjana untuk menafsirkan al-Qur’an agar mampu ditarik ke wilayah yang mestinya dipikirkan dan juga agar al-Qur’an dapat berbicara pada manusia zaman sekarang yang memiliki latar belakang sosio-historis yang beda dengan manusia zaman dahulu.
Hermeneutika Arkoun berangkat dari kajian linguistik yang digagas oleh Ferdinand De Saussure. Kemudian olehnya dikembangkan sendiri dan disebutnya dengan term logosentrisme. Hermeneutikanya terletak pada perbincangan mengenai lingkaran hermeneutis antara pengarang, teks dan pembaca. Baginya, suatu teks al-Qur’an memiliki banyak makna sehingga bersifat terbuka pada segala penafsiran.
Pandangannya tentang teks al-Qur’an sebagai suatu yang bebas untuk ditafsirkan, menghasilkan sebuah teori bahwa sesungguhnya suatu teks itu akan tetap dan terus terbuka. Suatu tafsiran itu dapat memperluas makna teks. Oleh karenanya teks tidak akan mengalami kelumpuhan pada masa lalu namun juga bisa terus berkembang terhadap masa depan. Demikianlah tugas interpretasi terhadap suatu teks akan terus berlanjut.
Selengkapnya dapat dibaca di sini
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply