Perempuan secara kodrat memang harus melalui banyak rasa sakit. Dari fungsi organ reproduksi saja, ia harus melalui kesakitan di berbagai fase, baik di fase menstruasi, hamil, hingga melahirkan. Al-Qur’an secara tersirat telah mengungkapkannya. Hal ini mengapa bakti dan memuliakan seorang wanita sangat ditekankan dan diperhatikan Islam baik dalam al-Qur’an maupun hadis. Itupun tidak akan bisa membayar jasanya secara kuantitas maupun kualitas, apalagi dengan rasa sakit yang dahsyat hingga mempertaruhkan nyawa.
Dalam sebuah artikel jurnal yang berjudul; Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam (Mimin Mintarsih dan Pitrotussaadah, 2022) dijelaskan pandangan Islam mengenai hak-hak reproduksi wanita. Berikut penulis uraikan rinciannya secara ringkas.
Urgensi Kesehatan Reproduksi
Dalam ranah gender, berbicara reproduksi wanita seringkali dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Sebab dalam realitanya, tak sedikit wanita harus menjadi sasaran tindakan diskriminasi. Mulai dari tindak kekerasan hingga minimnya pelayanan kesehatan dan pendidikan. Sebagai imbasnya, banyak wanita yang tidak memiliki kesempatan untuk memperhatikan kesehatan reproduksinya sendiri.
Selain itu pula, pembahasan reproduksi dianggap pembahasan yang sifatnya kodrat. Padahal, sebagai konsekuensi dari fungsi reproduksi yang berbeda antara lelaki dan perempuan. Maka perawatan dan pengawasan reproduksi wanita jelas harus lebih ekstra.
Berbicara kodrat, permakluman semacam ini sesungguhnya sangatlah problematis. Sebab di sisi lain, fenomena marital rapes (kekerasan dalam rumah tangga) misalnya, kerap kali terjadi dan seharusnya membutuhkan penanganan. Contoh lainnya adalah angka kematian yang tinggi karena kurang diperhatikannya asupan nutrisi. Sedikitnya setengah juta perempuan meninggal dunia yang disebabkan karena kehamilan, sebagian lagi disebabkan melahirkan atau dalam masa-masa nifas.
***
Belum lagi program pemerintah tentang Keluarga Berencana yang tetap tidak solutif. Jika hak perempuan tidak diperhatikan untuk menentukan pilihan dan tidak ada partisipasi yang setara dari laki-laki. Problem ini menjadi salah satu indikasi masih lemahnya perlindungan negara terhadap hak-hak reproduksi perempuan.
Pada konferensi Dunia IV tentang perempuan dilakukan dan dihadiri oleh perwakilan dari 185 negara yang bertempat di Beijing; dibahas tentang kesehatan reproduksi perempuan. Yang menjadi persoalan bukan lagi tentang anatomis yang bersifat fisik semata. Tetapi terutama menggugat realitas relasi yang timpang yang pada berakibat pada kondisi perempuan tidak sehat dalam menjalankan peran reproduksinya.
Pemaparan di atas menggambarkan betapa pentingnya kesadaran setiap perempuan untuk menjaga dan menunaikan apa yang menjadi hak-hak reproduksinya. Peran orang di sekitar juga sangat penting untuk mengatasi berbagai persoalan wanita; yang umumnya tak sedikit dilatari rendahnya perhatian terhadap kesehatan reproduksinya.
Hak-hak Reproduksi Wanita dalam Al-Qur’an
Pertama, fase hamil. Allah swt berfirman dalam surah Luqman ayat 14,
وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.“
Menurut Quraish Shihab, Kata wahnan berarti kelemahan dan kerapuhan. Ini berarti kurangnya ketahanan selama kehamilan, menyusui dan pengasuhan anak. Pola kata-kata yang digunakan pada bagian ini menggambarkan betapa lemahnya seorang ibu. Ayat ini sebagai isyarat betapa perlunya peran suami agar mempunyai kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi dalam pendampingan selama proses kehamilan. Ayat ini juga menggambarkan betapa sulitnya kehamilan dan persalinan dalam proses reproduksi wanita; sehingga Allah menggunakan ta’kid dengan wahnan ‘ala wahnin. Hal inilah yang mendasarkan adanya rukhshah pada ibu hamil, seperti tidak berpuasa, dan lain-lain.
***
Kedua, fase melahirkan. Pelayanan persalinan yang berkualitas tentu dapat menurunkan angka kematian ibu dan bayi yang dilahirkan. Keberhasilan seorang perempuan dalam menjalani fungsi reproduksinya sejak kehamilan yang sehat hingga lahir anak yang sehat secara fisik dan mental, bukan hanya tanggung jawab istri. Oleh karena itu, suami perlu mendampingi selama istri sedang hamil hingga masa persalinan. Allah menggambarkannya dalam surah ath-Thalaq ayat 6, bahwa suami tetap berkewajiban menafkahi istri yang ditalaknya dalam keadaan hamil sampai tiba persalinan.
وَاِنْ كُنَّ اُولٰتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّۚ
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah dithalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.“
Ketiga, fase menyusui. Al-Qur’an berbicara tentang Air Susu Ibu (ASI) sebagai makanan utama bayi, dan karena itu ayah diperintahkan untuk memberi imbalan kepada ibu yang menyusui (QS.al Thalaq [65]:6). Ini antara lain digunakan untuk menjaga kondisi kesehatan ibu dan kesempurnaan asinya. Al-Qur’an juga mencela ibu yang enggan menyusui anaknya (QS.al Thalaq [65]:6), juga dijelaskan bahwa penyusuan yang sempurna adalah dua tahun penuh (QS.Al Baqarah [2]:233), atau 30 bulan dikurangi masa kehamilan (QS.Al-Ahqaf [46]:15).
***
Ibu menyusui sudah pasti membutuhkan biaya agar ASI tersedia setiap saat tanpa mengorbankan kesehatannya, di sinilah lagi-lagi peran ayah dari anaknya sangat diperlukan. Merupakan hak istri agar disediakan sandang dan pangan, juga kewajiban suaminya untuk memfasilitasi itu semua melalui jalan yang ma’ruf.
Dalam bab “Pemeliharaan anak”, Kompilasi Hukum di Indonesia, semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.
Penutup
Al-Qur’an secara kontras memaparkan adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki, namun bukan dalam rangka diskriminasi, tetapi sebagai langkah terwujudnya keluarga harmonis dalam QS. Al-Rum [30]:21 sekaligus terwujudnya masyarakat yang ideal, baldatun thayyibatun warabbun ghafur dalam QS. Saba [34]:15.
Islam memposisikan wanita seadil-adilnya. Bahkan sejak kehadiran Islam lah wanita begitu amat sangat dimuliakan. Al-Quran bahkan berbicara hak-hak reproduksi wanita. Sebagaimana dalam surah al-Baqarah ayat 228, “dan para perempuan (istri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”. Ayat ini sarat dengan konteks relasi dan interaksi antara suami dan istri, diantaranya saling memahami informasi mengenai proses reproduksi, termasuk segala resikonya.
Sebagai pengemban fungsi reproduksi, perempuan memiliki hak yang harus dipenuhi oleh ayah (suaminya). Hal ini mutlak mengingat besarnya risiko yang dihadapi ibu dalam menjalankan fungsi reproduksi alaminya, mulai dari kehamilan, persalinan, dan menyusui. Jaminan kesehatan ibu adalah suatu keharusan baik dalam bentuk informasi kesehatan, makanan bergizi dan fasilitas kesehatan yang layak.
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.