Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Hadist Daif yang Terlanjur Populer, Bolehkah Diamalkan?

daif
Sumber: istockphoto.com

Dewasa ini banyak sekali pendakwah, penulis maupun ustadz yang menyampaikan kajiannya menggunakan dalil hadis. Tentu saja ada banyak hadist populer yang sering kita dengar, seperti hadis-hadis tentang keilmuan. Seperti hadis yang populer di masyarakat:

أطلبوا العلم ولو با الصين (tuntutlah ilmuwalau ke negeri Cina)

فريضةٌ على كلّ مسلمة طلب العلم (mencari ilmu itu kewajiban bagi orang muslim laki-laki maupun perempuan)

أُطلبوا العلم من المهد إلى الّحد (tuntutlah ilmu mulai dari buaian hingga ke liang lahat).

Hadist-Hadist Populer

Jika membaca kembali hadist-hadist populer tersebut, mungkin ada satu atau bahkan semua hadist di atas pernah kita dengar atau bahkan sudah kita hafal. Penulis sendiri sewaktu masih duduk dibangku sekolah dasar sudah menghafalkan hadist tersebut, karena termasuk tugas mata pelajaran agama Islam. Hadist tentang keilmuan sering digaungkan didepan para pelajar, hal ini dimaksudkan untuk memotivasi para pelajar agar mempunyai semangat berilmu tinggi, sekaligus sebagai ajaran untuk terus belajar, berpendidikan, bersekolah agar menguasai ilmu pengetahuan.

Namun budaya yang mengakar pada mayoritas masyarakat kita adalah masyarakat tidak tahu menahu tentang kualitas hadis. Masyarakat lebih tertarik pada penjelasan makna hadist dan keutamaannya dari pada penjelasan yang rumit tentang pembahasan status sanad dan matan. Dan yang terpenting subtansinya baik dan tidak bertentangan dengan ajaran pokok al-Qur‘an, maka hadis tersebut boleh diamalkan. Seperti hadis tentang Maulid yang kini telah menjadi tradisi Maulidan di masyarakat.

Namun apakah kita mengetahui bagaimana kualitas hadis tersebut?Bagaimana jika ternyata hadis yang populer selama ini adalah hadis daif, apakah hadis tersebut tetap boleh diamalkan, ataukah harus ditinggalkan sepenuhnya? Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk membahasnya secara singkat disini, mengingat hadis-hadis tentang keilmuan ini sangat populer di masyarakat, terutama di lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Baca Juga  Menanggapi Pengaruh Trend Fashion Muslimah Masa Kini

Menelaah Makna Hadist

Kata hadist berasal dari bahasa arab hadist dengan jamaknya berupa kata ahadist. Dari segi bahasa, kata hadist memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (sesuatu yang baru), al-khabar (berita) dan al-qarib (sesuatu yang dekat). Sedangkan menurut istilah yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa ucapan (qouli), perbuatan (fi’li), keputusan (taqriri), sifat dzohir atau fisik (khilqi), sifat batin atau akhlak (khuluqi), baik terjadi sebelum kerasulan atau sesudah kerasulan.

Berbicara tentang hadist, ulama sepakat bahwa hadist adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Hadis berdasarkan kualitasnya dibagi menjadi tiga yaitu sahih, hasan dan daif. Hadis daif sendiri adalah hadis yang tidak memenuhi syarat hadis sahih dan hasan, berupa sanad yang sambung dari awal sampai akhir sanad, perawi yang sifatnya dhabit (tingkat hafalan yang sempurna untuk hadis sahih, dan tingkat hafalan sedang untuk hadis hasan),‘adil (dapat dipercaya), tidak ada pertentangan sanad/syad, tidak ada cacat yang signifikan (illah qodihah), adanya ‘adhit (penolong) berupa jalur periwayatan lain yang dapat mengangkat hadis daif naik ke hadis hasanli ghairi.

Sebagai contoh hadis أطلبوا العلم ولو اب الصن (tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina). Secara redaksional hadis ini tidak ditemukan dalam kutub al-sittah, namun sanadnya dapat ditemukan dalam kitab karangan al-Suyuthi yang berjudul Fath al-Kabir. Menurut Baihaqi hadis ini matannya masyhur tapi sanadnya daif. Menurut Ibn Hiban riwayat ini Bathil. Kemudian al-Sakhawi sanadnya daif. Menurut kitab Fayd al-Qadir status hadis ini dinyatakan daif (lemah) sanadnya, namun matannya dinyatakan masyhur. Menurut al-Suyuthi para ulama berbeda pendapat dalam menentukan statusnya, antara daif dan batal/maudhu’. Akan tetapi sebagian ulama hampir sependapat kalau matannya masyhur. Setelah mengetahui kualitas hadis tersebut, lalu apakah serta merta hadis ini tidak boleh diamalkan?

Baca Juga  Dua Makna Kemudahan Dari Allah dalam Surah Al-Lail

Mengamalkan Hadist Daif, Apakah Boleh?

Imam Syamsuddin bin Abdurrahman al-Sakhawi yang merupakan murid dari al-Hafid Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan ada 3 mazhab dalam mengamalkan hadisdaif, Pertama: Boleh mengamalkan hadisdaif secara mutlak, baik dalam fadhail a’mal (memperbanyak keutamaan), maupun dalam hukum syariat (halal, haram, wajib) dengan syarat daifnya tidak daif syadid (lemah sekali), dan juga tidak ada dalil lain selain hadis tersebut, atau dalil lain yang bertentangan dengan hadis tersebut. Mazhab ini dianut oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ibnu Hazm, Imam Abu Hatim al-Razi, Imam al-Auza’i, Imam Sufyan al-Tsauri.

Kedua: Boleh dan sunah mengamalkan hadis daif; dalam hal fadhail a’mal, zuhud, nasehat, kisah-kisah, selain hukum syariat dan akidah, selama hadis tersebut bukan hadismaudu’ (palsu). Ini adalah mazhab jumhur ulama dari muhadisin, fuqaha’, Imam Ibnu al-Mubarak, Imam Abdurahman bin al-Mahdi, Imam Ibnu al-Shalah, Imam al-Nawawi, dan Imam al-Sakhawi. Para ulama mensyaratkan tiga hal dalam mengamalkan hadis daif; untuk fadhail a’mal, yaitu: 1)Hadis tersebut tidak boleh daif syadid, 2) Hadis tersebut masuk dalam salah satu kaidah syariat Islam, 3) Ketika mengamalkannya kita tidak boleh meyakini kebenaran hadis tersebut, supaya tidak menisbatkan sesuatu yang tidak diucapkan oleh Rasulullah. Ketiga: Tidak boleh mengamalkan hadis daif secara mutlak, baik dalam hal fadahil a’mal maupun dalam hukum syariat. Ini adalah mazhab Imam Abu Bakar Ibnu al-Arabi, al-Syihab al-Khafaji, dan al-Jalal al-Dawwani.

***

Hadist daif memiliki macam-macam yang sangat banyak, yang kesemuanya tidak bisa dihukumi untuk ditolak. Ada hadis daif yang bisa diamalkan, seperti hadis daif yang yang disebabkan terputusnya sanad, atau karena majhul, yang mana; kedaifan hadist tersebut dikategorikan ringan. Dan ada hadist daif yang tidak bisa diamalkan, seperti hadist daif; yang disebabkan adanya perawi yang banyak salah dan lupanya Dan ada hadist daif yang tidak bisa diamalkan, seperti hadis daif; yang disebabkan adanya perawi yang banyak salah dan lupanya (munkar), atau adanya perawi yang dituduh berdusta (matruk), atau perawi yang pendusta (maudhu’). Untuk pengamalan hadist daif tersebut; bisa diamalkan dalam hal fadhail a’mal, mauidhoh, kisah dengan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan para muhadisin. Jadi mengamalkan hadist daif dalam fadhail a’mal ini diperbolehkan asalkan memenuhi persyaratan dan ini merupakan pendapat yang sudah disepakati para muhadisin dan fuqaha’.

Editor: An-Najmi

Baca Juga  Membiasakan Bersyukur Adalah Bagian dari Ketaatan