Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Golongan Orang yang Boleh Tidak Puasa

Tidak Puasa
Gambar: Detik

Orang yang Boleh Tidak Puasa

Menjalankan puasa ramadhan hukumnya wajib bagi setiap muslim. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadis. Bahkan jika terdapat kendala ataupun halangan tidak berpuasa, maka hukumnya wajib untuk mengganti. Bisa mengganti puasa di lain waktu atau berupa fidyah.

Hal ini tergantung ketentuan pada setiap halangan yang dialami. Beberapa sebab sehingga mewajibkan seseorang untuk tidak berpuasa, bahkan bisa menjadi haram jika tetap berpuasa. Dalam kitab Taysiir Al-Fiqh (Fiqih Al-Siyaam), ternyata terdapat 3 golongan yang boleh meninggalkan atau tidak puasa ramadhan dengan ketentuan harus menggantinya di lain waktu atau dengan membayar fidyah.

Tiga golongan tersebut yaitu:

  • Perempuan yang Haid dan Nifas

Perempuan diberikan Allah keistimewaan berupa fitrah menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Fitrah yang dimiliki ini tentunya akan memiliki pengaruh pada hal syariat. Perempuaan yang sedang menstruasi maka haram hukumnya utuk melakukan ibadah yang menuntut harus dalam keadaan suci, seperti puasa dan sholat.

Dalam ibadah puasa perempuan yang menstruasi diperintahkan untuk meng-qadha puasanya di lain waktu. Sejumlah hari yang ditinggalkan, namun tidak diperintahkan untuk meng-qadha sholat. Hal ini karena ibadah shalat memiliki sifat yang diulang-ulang sehingga susah untuk di-qadha. Berbeda dengan puasa yang satu tahun sekali.

Sedangkan untuk ibu-ibu nifas, atau menyusui terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat pada hal ini juga berlaku untuk ibu hamil. Terdapat tiga keadaan ibu hamil dan menyusui. Pertama, khawatir dengan  keadaan dirinya, maka boleh tidak berpuasa dengan ketentuan harus menggantinya dilain waktu. Kedua, khawatir membahayakan dirinya dan anaknya, maka sama halnya dengan ketentuan nomor pertama.

Kemudian ketiga, khawatir dengan kesehatan anaknya, dalam hal ini terdapat tiga pendapat. Wajib qadha puasa saja, wajib membayar fidyah saja, dan pendapat terakhir wajib keduanya qadha puasa dan membayar fidyah.

***
  • Orang Sakit dan Lansia

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَه فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّه ۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:184)

Baca Juga  Keringanan yang Diberikan Kepada Orang yang Berpuasa

Orang yang sedang sakit, dan khawatir akan bertambah sakit atau meghambat kesembuhan jika berpuasa maka diperbolehkan tidak berpuasa. Ketentuannya harus menggantinya di lain waktu. Untuk orang yang sudah tua atau sakit dan tidak ada harapan untuk sembuh, maka boleh tidak puasa dan harus menggantinya dengan membayar fidyah.          

  • Musafir

Bagi para mufasir terdapat rukhsah (keringanan) untuk tidak berpuasa, tapi harus menggantinya dilain waktu. Hal ini seperti dalam firman Allah QS. Al-Baqarah: 185

 فَمَنۡ شَهِدَ مِنۡكُمُ الشَّهۡرَ فَلۡيَـصُمۡهُ وَمَنۡ کَانَ مَرِيۡضًا اَوۡ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ اَيَّامٍ اُخَر

“Barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”

Orang yang melakukan safar atau sakit diperbolehkan untuk tidak puasa. Tetapi harus mengantinya dilain waktu. Menurut pandagan Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, seorang mufasir boleh tidak puasa ketika melakukan perjalanan dua hari. Perjalanan ini ditempuh dengan berjalan kaki atau menunggangi unta. Sedangkan bagi Abu Hanifah, musafir boleh tidak puasa ketika melakukan perjalanan tiga hari. Kelompok pendapat lain memeperbolehkan tidak berpuasa meskipun perjalanan tidak sampai dua hari.

***

Orang-orang safar pada zaman dahulu dan sekarang sangat berbeda. Pada zaman dahulu safar dilakukan dengan berjalan kaki atau dengan menunggangi hewan transportasi. Sedangkan pada zaman sekarang safar mengunakan transportasi baik transportasi darat, laut, maupun udara. Safar pada zaman sekarang sepertinya tidak ada kesulitan untuk tetap berpuasa, berbeda pada zaman dahulu.

Hal ini apakah rukhsah bagi seorang musafir masih tetap berlaku?

Menurut mazhab Abu Hanifah, seorang musafir jika tidak mengalami kesulitan untuk tetap melaksanakan puasa, maka lebih utama untuk tetap melaksanakan puasa. Berbeda dengan pendapat Ibnu Ishak seorang mufasir lebih utama untuk tidak berpuasa, karena Allah telah memberikan rukhsah bagi para musafir. Maka mengambil rukhsah itu lebih utama.

Baca Juga  Ketidaksetaraan Gender dalam Shalat, Bagaimana Pandangan Islam?

Maka mana yang lebih utama dilakukan musafir? Para musafir lebih diutamkan untuk berpuasa seperti pendapat yang dikemukakan oleh Abu Hanifah, karena tidak jarang Nabi Muhammad tetap melaksanakan pusa ketika melakukan perjalann pada sinag hari di bulan ramadhan. Kecngian transportasi pada saat ini, sepertinya tidak menyulitkan para musafir untuk tetap berpuasa.

Penyunting: Bukhari