Di era media sosial, standar hidup tak lagi ditentukan oleh kebutuhan, melainkan oleh tren yang viral di layar ponsel. Gaya hidup konsumtif mendorong banyak orang membeli barang yang tidak benar-benar dibutuhkan demi gengsi atau pencitraan. Bahkan, tak jarang orang-orang rela berhutang untuk tampil mewah.[1] Fenomena ini mengikis makna syukur. Masyarakat lebih sibuk mengejar tampilan daripada nilai, merasa kurang daripada cukup. Inilah yang disebut krisis spiritual, miskin bukan karena harta, tetapi karena hati yang tak pernah merasa cukup.
Data dari OJK dan Katadata (Maret 2025) menunjukkan bahwa transaksi paylater di Indonesia telah menembus hampir Rp30 triliun, dengan 70% penggunanya berusia 18–35 tahun.[2] Sementara riset dari Scientia Indonesia mengungkap bahwa 43% milenial dan 35% Gen Z mengalami doom spending, yaitu belanja impulsif sebagai pelarian stres.[3] Gaya hidup ini bukan sekadar ancaman finansial, tetapi juga bukti nyata hilangnya rasa syukur terhadap nikmat. Padahal Allah telah berfirman dalam QS Ibrahim [14]:7,
“Jika kamu bersyukur, niscaya Kami akan menambah (nikmat) kepadamu…” Namun kini, nikmat justru sering berujung menjadi beban karena disikapi dengan nafsu, bukan syukur.
Ketika Syukur Ditinggalkan, Nikmat pun Perlahan Hilang
Ayat ini menunjukkan bahwa keberlangsungan nikmat sangat berkaitan dengan sikap syukur. Tafsir al-Muyassar menjelaskan bahwa Allah menjanjikan tambahan nikmat bagi mereka yang bersyukur dan ancaman azab bagi yang mengingkarinya.[4] Syukur di sini tidak hanya bermakna ucapan, tetapi meliputi kesadaran batin, sikap hati, dan tindakan nyata.[5]
Namun, dalam masyarakat modern, makna syukur sering kali terpinggirkan oleh budaya konsumsi. Konsumsi bukan lagi soal pemenuhan kebutuhan, tetapi soal pembuktian status. Orang membeli barang mewah, mengikuti tren skincare terbaru, hingga berlibur ke luar negeri bukan karena butuh. Namun, mereka melakukannya karena takut akan stigma “ketinggalan zaman”.
Menurut Imam al-Rāzī dalam Tafsīr al-Kabīr, kufur terhadap nikmat Allah bukan berarti kufur akidah, melainkan kufr al-ni‘mah. Maksudnya ialah mengabaikan atau menyalahgunakan nikmat yang telah Allah berikan. Ia menegaskan bahwa pengingkaran ini terjadi ketika seseorang tidak menyadari bahwa nikmat tersebut berasal dari Allah. Kekufuran ini menjadi alat kesombongan, pemborosan, atau kemaksiatan. Bahkan, al-Rāzī menambahkan, hati yang kosong dari makrifat kepada Allah akan takluk oleh dunia dan menjadi hina di hadapan makhluk lainnya.[6]
Dalam konteks saat ini, penggunaan nikmat, seperti fasilitas digital, pendapatan bulanan, atau waktu luang, untuk kesenangan semata tanpa orientasi makrifat atau tanggung jawab moral dapat tergolong bentuk kufur nikmat yang tersembunyi namun berdampak besar. Sebaliknya, hati yang sibuk mengenal Allah akan menjadikan nikmat dunia sebagai pelayan, bukan tuan. Maka, menjaga kesadaran spiritual atas nikmat adalah langkah penting agar seseorang tidak tersesat dalam konsumsi tanpa makna.
Di sisi lain, jika seseorang menanamkan rasa cukup (qanaah), ia akan merasakan kelapangan hidup yang sejati. Syukur membuka mata untuk melihat nikmat yang telah ada, sementara gaya hidup konsumtif mendorong seseorang mengejar nikmat yang belum tentu membawa manfaat.
Gaya Hidup Modern: Budaya Pamer dan Tekanan Psikologis Ekonomi
Media sosial memainkan peran besar dalam menggeser pola pikir ini. Budaya pamer (flexing) di Instagram atau TikTok menciptakan tekanan sosial terselubung.[7] Banyak anak muda merasa tertinggal jika tidak mengenakan merek tertentu, makan di tempat tertentu, atau berfoto dengan gaya tertentu.
Tekanan semacam ini menimbulkan fenomena “miskin karena tren”. Orang merasa harus selalu tampil dengan standar yang tidak realistis. Bahkan banyak yang akhirnya memanfaatkan fasilitas paylater atau kredit daring untuk memenuhi gaya hidup, meskipun secara finansial belum mampu.
Studi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat peningkatan signifikan penggunaan layanan kredit digital oleh generasi muda, terutama untuk konsumsi non-produktif.[8] Ini memperlihatkan bahwa kebutuhan untuk “menjadi seperti orang lain” lebih dominan ketimbang kestabilan ekonomi pribadi.
Islam memandang hidup sederhana bukan sebagai kemunduran, tetapi sebagai kemuliaan. Dalam hadis disebutkan,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
“Beruntunglah orang yang diberi petunjuk kepada Islam, rezeki yang cukup, dan qanaah (rasa cukup) terhadap apa yang ia miliki.” (H.R. Muslim)[9]
Membangun Syukur sebagai Gaya Hidup
Membangun syukur di tengah budaya konsumtif bukan hal mudah, tetapi bukan pula mustahil. Syukur bukan hanya menyebut “alhamdulillah” secara lisan, tetapi juga mengakui dalam hati bahwa setiap nikmat, sekecil apa pun, layak untuk dijaga dan dimanfaatkan dengan baik.
Al-Maraghi dalam Tafsir al-Marāghī menjelaskan bahwa bersyukur atas nikmat berarti menaati Allah dalam segala perintah dan larangan-Nya. Syukur bukan hanya ucapan lisan, melainkan tindakan nyata yang menjadikan nikmat sebagai sarana ketaatan, bukan kesombongan atau kemaksiatan. Al-Marāghī menegaskan, siapa pun yang bersyukur atas nikmat rezeki, maka Allah akan melapangkan rezekinya. Kemudian, orang yang bersyukur atas nikmat kesehatan, maka Allah akan menambah kesehatannya. Dan demikian pula terhadap segala bentuk nikmat lainnya.[10]
Lebih jauh, ia menambahkan bahwa nikmat, seperti anggota tubuh, akan tetap bertambah dan kuat jika si pemilik tubuh menggunakannya sesuai tujuan penciptaannya. Sebaliknya, nikmat yang ia sia-siakan dan abaikan akan melemah, bahkan hilang. Maka, pekerjaan, gawai, waktu, hingga media sosial dapat menjadi ladang syukur bila pemiliknya menggunakannya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bukan malah untuk pamer, mubazir, atau maksiat.
Sejalan dengan ini, Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang diilhamkan untuk bersyukur, maka ia tidak akan dihalangi dari tambahan nikmat.” (HR. al-Bukhārī dalam al-Tārīkh dan ad-Diyā’ dalam al-Mukhtārah).[11]
Manusia juga dapat melatih rasa syukur melalui kebiasaan membandingkan diri, bukan dengan yang lebih kaya, tetapi dengan yang lebih susah. Seringkali, kita lebih fokus kepada apa yang belum kita miliki, padahal begitu banyak yang sudah kita miliki dan luput akan rasa syukur padanya.
Fenomena “miskin karena tren” menunjukkan bahwa nikmat sering tertukar dengan kenikmatan semu. QS. Ibrāhīm:7 menegaskan, hanya yang bersyukur yang akan mendapat tambahan nikmat. Sering kali, nikmat tak hilang, kitanya saja yang meninggalkannya.
“Cukup bukan berarti memiliki segalanya, tapi tahu bahwa yang dimiliki sudah lebih dari cukup.”
Editor: Dzaki Kusumaning SM
Referensi
[1] Kompas, Pengertian dan Contoh Gaya Hidup Konsumtif, dalam https://buku.kompas.com/read/4928/pengertian-dan-contoh-gaya-hidup-konsumtif, tanggal akses: 1 Juli 2025.
[2] Kamila Meilina, Utang Paylater Masyarakat Indonesia Hampir Rp 30 Triliun, dalam https://katadata.co.id/digital/fintech/67c6bab0a2004/utang-paylater-masyarakat-indonesia-hampir-rp-30-triliun, tanggal akses: 1 Juli 2025.
[3] Adinda Zaleyka Az Zahra S, Sulitnya Gen Z Menabung di Era Digital, dalam https://scientia.id/2025/05/04/sulitnya-gen-z-menabung-di-era-digital/ tanggal akses: 1 Juli 2025.
[4] Tafsir Al-Muyassar, Juz 1, hal. 256.
[5] Kompasiana, “Syukur Menurut Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, Menggapai Ridho Ilahi melalui Kesadaran Nikmat , dalam https://www.kompasiana.com/mhmdikrar3685/673ca3b4ed64150e7d182d26/syukur-menurut-syeikh-abdul-qadir-aljailani-menggapai-ridho-ilahi-melalui-kesadaran-nikmat, tanggal akses: 1 Juli 2025.
[6] Imam Al-Razi, Tafsir Al-Kabir, Juz 19, hal. 67.
[7] Nur Khayati, Dinda Apriliyanti, Victoria Nastacia Sudiana, Aji Setiawan, Didi Pramono, “Fenomena Flexing di Media Sosial Sebagai Ajang Pengakuan Kelas Sosial Dengan Kajian Teori Fungsionalisme Struktural”, Jurnal Sosialisasi, Vol. 9, No.2, Juli 2022.
[8] KumparanBISNIS, OJK: Literasi Keuangan Gen Z Paling Rendah, Banyak yang Terjerumus Pinjol, dalam https://kumparan.com/kumparanbisnis/ojk-literasi-keuangan-gen-z-paling-rendah-banyak-yang-terjerumus-pinjol-23FkveSGLpB, tanggal akses: 1 Juli 2025.
[9] Dalam Shahih Muslim, hadis ke 1054. https://sunnah.com/muslim:1054.
[10] Ahmad bin Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 13, hal. 130.
[11] Ahmad bin Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Juz 13, hal. 130.
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.