Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Fiqih Agraria: Menjawab Problema Tata Kelola Agraria

Spiritualitas
Sumber: www.freepik.com

Tanah sebagai sumber hajat orang banyak menjadi unsur yang penting dalam kehidupan. Selain itu tanah menjadi tempat manusia tinggal dan melangsungkan kehidupannya. Tanah yang identik dengan bumi dapat kita kiaskan sebagai ibu dan dapat kita relevansikan dalam perspektif Islam, karena manusia diciptakan dari tanah (Q.S Shaad ayat 71).  Dalam istilahkan al-Qur’an tanah disebutkan  seperti ardun (408 kali), turabun (14 kali) dan thinun (12 kali).

Lebih-lebih urgensi dalam konteks keindonesiaan, kita banyak menghadapi problem-problem konflik agraria dari masa orde baru hingga sekarang masih terus terjadi. Apalagi Indonesia dikenal dengan negara agraris yang memiliki aset tanah yang melimpah tapi swasembada pangannya sendiri belum tercukupi. Karena itu urgensi perlunya merumuskan fiqih agraria yang menjadi tuntunan umat, masyarakat muslim dan penyelenggara negara sekaligus sebagai kontribusi Muhammadiyah untuk Indonesia dalam mendorong pembaruan dan tata kelola agaraia sesuai konstitusi dan nilai-nilai Islam.

Hal ini yang disampaikan oleh Dr Moh Soehadha dalam pengajian tarjih edisi 112, tentang pokok-pokok hasil Munas Tarjih 31 tentang fiqih agraria yang diselenggarakan daring  via zoom (6/1). Beliau merupakan ketua tim penyusun materi fiqih agraria dalam Munas Tarjih 31 di Gresik.

Rumusan Fiqih Agraria

Ruang lingkup yang dirumuskan fiqih agraria ini, Dr. Moh Soehadha mengatakan ada 3 aspek yang melingkupinya, Pertama  aspek pemikiran. Fiqih agraria ini berisi konsep, pengertian, teori agraria serta penerapannya dalam konteks keindonesiaan. Kedua, menjadi gerakan sebagai spirit pembangunan tata kelola agraria yang berkemajuan, adil, dan berpihak pada hajat hidup rakyat (teologi pembebasan agraria). Ketiga yaitu menjadi etos yang berisi tentang nilai-nilai dalam mengelola agraria.

Metodologi dalam penyusunan fiqih agraria ini menggunakan pendekatan yang biasa digunakan dalam Majelis Tarjih dan Tajdid. Pendekatannya melibatkan 3 aspek yaitu: Bayani (nash), Burhani (Ilmu Pengetahuan; ekologi, hukum, sosio-antropologi, sosial-ekonomi-pertanian), dan Irfani (kepekaan nurani).

Baca Juga  Tambang untuk Organisasi Keagamaan: Mudharat atau Maslahat?

“Kita akan merespon problem agraria ini dengan nash-nash syariah, al-Qur’an dan Sunnah Maqbullah. Ini yang biasa kita sebut pendekatan bayani. Kemudian kita juga akan mengakamodir problem ini dengan pendekatan burhani. Yang ketiga adalah pendekatan irfani, dimana kita juga mengutamakan kepekaan nurani dalam mengatasi problem agraria”, imbuhnya.

Mengenai tanah sebagai pemenuhan kebutuhan dasar atau fungsi tanah dalam al-Qur’an kita mengambil fungsi tanah ini ada 4. Pertama, Asal-usul penciptaan manusia (Q.S as-Sajadah:7). Tanah sebagai tempat tumbuh tanaman (Q.S al-A’raaf: 58), Bahan membuat bangunan (Q.S al-Qashah: 38), dan sebagai ruang publik, tempat hidup dan mati (al-Mursalat: 25).

Kerangka Fiqih Agraria

Dalam nilai-nilai dasar Islam (al-Qiyam al-Assasiyah) fiqih agraria ini yang pertama mencakup nilai ketauhidan bahwa semuanya milik Allah SWT dan Allah memberi kepercayaan pada manusia untuk mengelola bumi (sumber agraria).

“ Nilai ketauhidan ini mencakup 4 aspek yaitu pertama kemakmuran. Melalui melalui sumber agraria manusia dapat memanfaatkan untuk kemakmuran. Kedua kesejahteraan. Kemudian ketiga kedamaian dan tentu keempat yakni kebahagiaan”, imbuhnya.

Nilai-nilai dasar yang selanjutnya adalah al-Akhlaq al-Karimah (tanggung jawab moral memakmurkan alam), kemudian kemaslahatan (mudharat harus disingkirkan), keempat  keadilan, kelima kemanusiaan (menjaga jiwa dan kemuliaan) dan terakhir musyawarah yang mengutamakan harmoni dalam pengelolaan agraria.

Prinsip-prinsip umum (al-Ushul al-Kuliyyah) yang terkait dalam fiqih agraria ini ada 7. Pertama, kepemilikan (hak milik mutlak tanah adalah Allah dan manusia memiliki kekayaan agraria secara normatif untuk dimanfaatkan; al-Baqarah: 22 dan putusan MK tentang kedaulatan rakyat atas sumber agraria). Kedua, produktivitas tentang menghidupkan tanah-tanah mati dan menghindari pemborosan. Ketiga, islah yaitu membangun harmoni (Q.S al-Anfal: 1) dalam penyelesaian konflik agraria. Keempat, regulasi yang berkeadilan dalam mengatasi monopoli, oligarki dan kapitalisasi agraria untuk kepentingan pribadi dan kelompok saja. Kelima, konservasi (melindungi dan menjaga sumber agraria). Keenam, mengelola tanah secara tanggungjawab. Dan terakhir patisipasi setiap individu dalam mengemban tanggung jawab atas pemeliharaan sumber agraria dan pemanfaatannya serta mencegah penyelewengan dalam memanfaatkan sumber agraria.

Baca Juga  Perubahan Awal Waktu Shubuh, Warga Muhammadiyah Diminta Mematuhinya

Selanjutnya juga dijelaskan hubungan antara hak individu, hak komunal dan lembaga, serta hak negara atas tanah.  Bahwa kedaulatan atas sumber agraria ada di tangan rakyat dan negara sebagai pengambil kebijakan.  Kemudian setiap orang berhak atas tanah dan negara wajib menghadirkan kepemilikan itu (sertifikasi tanah). Islam mengajarkan bahwa tanah yang dimiliki tidak boleh dibiarkan saja tanpa dimanfaati dan juga Islam mendahulukan kepentingan hajat hidup orang banyak daripada kepentingan golongan atau korporasi dalam pengelolaan tanah.

“ Islam mendahulukan hidup rakyat, yang kita dahulukan adalah kepentingan rakyat. Karena mereka harus diberi akes kemanfaatan sumber-sumber agraria ini”, imbuhnya.

Dari kedua kerangka nilai dasar dan prinsip umum tadi kita dapat membuat pedoman praktis terkait agraria ini. Pertama, dari beberapa sumber al-Qur’an dapat mengandung prinsip kebebasan individu dalam kepemilikan, pembagian tanah, redistribusi lahan yang kaya ke yang membutuhkan, dan larangan mengambil lahan milik secara paksa.

Kedua, dari beberapa hadist dapat ditarik prinsip; pengalihan kepemilikan dengan ganti rugi, mengutamakan hak milik bagi orang yang membuka dan memanfaatkan lahan secara produktif, pengambilan tanah yang tidak dimanfaatkan kepada yang mereka yang mampu memanfaatkan, kepemilikan tanah untuk spekulasi keuntungan, dan pembagian kembali tanah-tanah yang diserahkan kembali pada pemerintah.

Ketiga,  dari praktik kepemimpinan setelah rasul dapat diambil prinsip; pencegahan penumpukan kepemilikan pada segelintir orang (aparat negara dan oligarki), memberi prioritas untuk memiliki dan memanfaatkan lahan kepada seseorang yang secara historis dapat dibuktikan kepemilikannya, setelah tanah itu dikuasai negara.

Pembaruan Fiqih Tata Kelola Agraria yang Berkemajuan

Rekomendasi dalam rumusan fiqih tata kelola agraria ini menghasilkan beberapa rumusan yang diberi judul “Menuju Pembaruan dan Tata Kelola Agraria yang Berkemajuan”.  Pertama, Agraria dan kedaulan bangsa.  Aspek hulu dan hulir memberi indikasi tentang masih belum tegaknya kedaulatan bangsa atas sumber agrariaan. Contoh salah satunya kasus UU cipta kerja dan omnibus law yang Muhammadiyah tentang keras karena bertentangan dengan nilai-nilai keadilan.

Baca Juga  Dua Syarat Bertemu Allah: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 110

Kedua, tentang tanggung jawab negara dan dunia usaha dalam memilihara dan menghilangkan berbagai macam dampak kerusakan yang muncul. Ketiga, Reaktualisai gerakan waqaf agraria melalui kepemilikan Muhammadiyah dapat dijadikan gerakan dalam pembaruan agraria. Keempat, Solusi hulu dan hilir Tata kelola agraria ini dari Fatwa Majelis Tarjih dan fatwa mengenai etika hukum dalam pengelolaan tanah.

Reporter: An-Najmi Fikri R