Di Tengah dinamika Masyarakat modern ini, rupanya banyak yang mulai mempertanyakan satu hal. “Mengapa kecemasan memenuhi hidup, padahal hidup sedang baik-baik saja?” Pertanyaan tersebut seolah mempertanyakan konsep ideal kehidupan yang harus manusia jalankan agar mencapai kata “seimbang”. Dari sini muncul beberapa pertanyaan reflektif. Seperti, “Apa sebenarnya kebahagiaan itu?”, “Apakah selama ini kita salah memahami konsep kebahagiaan?”, “Lalu, bagaimana sebenarnya kebahagiaan itu bisa muncul?”
Miskonsepsi Kebahagiaan
Salah satu hal yang dapat membuat fenomena miskonsepsi kebahagiaan muncul adalah minim berpikir secara radikal. Bahkan, konsep radikal pun sering terjadi miskonsepsi menjadi sesuatu yang berkaitan dengan terorisme. Seni berpikir radikal secara praktis dapat membuat seseorang mampu berpikir secara lebih mendalam dan mindful dalam menentukan arah dan filosofi hidup. Termasuk di dalamnya adalah terkait konsep kebahagiaan. Maka, wajar jika dalam perjalanan waktu, konsepsi kebahagiaan banyak mengalami pergeseran karena masyarakat kurang mampu berpikir secara fundamental dan radikal.
Akibatnya, terjadi banyak ketimpangan antara konsepsi dalam pikiran dengan apa yang terjadi selanjutnya. Ketika bahagia belum muncul, maka keadaanlah yang hampir selalu menjadi kambing hitamnya. Hipotesis ini sebenarnya memang sangat klise, namun yang ingin penulis tunjukkan adalah ketidakmunculan rasa bahagia bukan terjadi secara acak dan tanpa sebab. Namun, ada pola yang berasal dari kesalahan cara berpikir yang sangat mengakar.
Untuk menjawab semua problematika ini, ada sebuah konsep menarik yang ditawarkan oleh psikologi spiritual dalam mengkaji fenomena miskonsepsi kebahagiaan ini. Mengapa harus dengan psikologi spiritual? Karena ini merupakan fenomena psikologis manusia. Terdapat urgensi yang besar ketika mengkaji fenomena ini dalam perspektif salah satu cabang/aliran keilmuan psikologi.
Psikologi Spiritual dan Memahami Dinamika Manusia secara Lebih Logis
Disclaimer, bahwa pembahasan topik ini penulis tidak memberikan nuansa religi yang kental. Harapannya, tulisan ini dapat diterima secara lebih luas dan pembaca dapat memahami konsep ini secara logis tanpa harus mengesampingkan pembahasan konsep spiritual.
Psikologi spiritual pada dasarnya merupakan paradigma yang lahir dari penelaahan konsepsi Al-Qur’an dan psikologi tentang apa, siapa, dan bagaimana manusia secara lebih holistik dan integralistik. Psikologi spiritual memasukkan konsep jiwa dalam menafsirkan manusia. Selama ini psikologi barat modern hanya mampu menganalisis manusia melalui perilaku dan gejalanya saja (aspek fisik). Sedangkan manusia dalam penciptaannya mencakup aspek fisik dan non-fisik.
Kita sepakat bahwa manusia merupakan ciptaan Allah yang paling sempurna. Kata “sempurna”, dalam paradigma psikologi spiritual, berarti bahwa manusia dibekali instrumen dan potensi fisik dan psikis. Keduanya merupakan modal untuk menjalankan fungsi dan tugasnya, yaitu sebagai hamba dan khalifah di bumi.
Salah satu bentuk lain dari potensi tersebut adalah bahwa manusia sejak lahir telah membawa citra baik. Bentuk dari citra baik ini adalah condong pada hal yang baik, suci, dan bertauhid.
Dari penjelasan di atas, maka terang dan tepatlah jika fenomena miskonsepsi kebahagiaan perlu mengalami peninjauan lebih dalam dengan pendekatan psikologi spiritual. Ini bukan tentang kesalehan dan kezuhudan, tapi tentang bahwa selama ini manusia sering dipahami secara tidak komprehensif.
Dinamika manusia saat ini, beserta pola pikirnya, secara tak sadar telah menimbulkan disintegrasi antara ilmu pengetahuan dengan agama. Penyebabnya adalah pola pikir masyarakat modern yang cenderung rasional-empiris sehingga menafikan dunia spiritual dalam kehidupan.
Pada akhirnya pola pikir ini menciptakan ekosistem kehidupan yang materialistik, hedonistik, dan positivistik. Ini bukan terjadi begitu saja. Pola pikir ini terpupuk dan disemai sejak awal kelahiran manusia. Sejak awal kehidupannya, manusia selalu terdoktrin dengan pandangan bahwa sumber kebahagiaan itu adalah segala sesuatu yang berwujud. Praktis, orientasinya akan menuju pada kehidupan yang materialistis.
Konsep Kebahagiaan Perspektif Psikologi Spiritual
Kebahagiaan menurut psikologi spiritual terbagi menjadi beberapa tingkatan. Pertama, physical pleasure (kebahagiaan fisik). Kedua, moral happiness (kebahagian moral). Ketiga, intellectual happiness (kebahagian intelektual). Keempat, aesthetical happiness (kebahagiaan akan keindahan). Dan kelima, spiritual happiness (kebahagiaan spiritual).
Uniknya, dalam menjelaskan kebahagiaan fisik, psikologi kognitif tidak menggunakan kata ‘happiness’ namun ‘pleasure’. Pleasure memiliki arti kebahagiaan dalam jangka pendek, sedangkan happiness dapat berarti kebahagiaan jangka panjang. Psikologi kognitif tidak menafikan kebutuhan fisik dalam hierarkinya. Namun, pemilihan diksi tersebut menunjukkan bahwa manusia tidak selayaknya mengutamakan kesenangan fisik. Pasalnya, hal tersebut sampai kapan pun hanya akan bersifat sementara.
Puncak dari hierarki kebahagiaan tersebut adalah spiritual happiness. Berbeda dengan piramida kebutuhan ala Abraham Maslow. Ia menyatakan bahwa manusia tak dapat mencapai kebahagiaan selanjutnya sebelum tahap di bawahnya terpenuhi. Spiritual happiness dapat tercapai secara bersamaan dengan tingkatan kebahagiaan lainnya. Artinya, sesungguhnya untuk mencapai kebahagiaan spiritual bukanlah hal yang sulit dan memerlukan proses panjang. Justru, untuk meraih kebahagiaan tersebut, manusia perlu mengurangi (bukan menghilangkan) kesenangan fisik.
Melalui hierarki kebahagiaan ini, psikologi kognitif menawarkan solusi permasalahan mental manusia modern. Konsep ini tetap mengorelasikan kebahagiaan yang manusia inginkan dengan fitrahnya, yaitu sebagai manusia spiritual yang selalu terhubung dengan tuhan.[1]
Al-Qur’an dan Polemik Kebahagiaan Manusia
Selanjutnya, mari kita simak bagaimana Al-Qur’an menjawab persoalan kebahagiaan. Dalam surat An-Nahl : 97 Allah berfirman :
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baikdan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan”.
M. Quraish Shihab menafsirkan hayatan thayyibah bukan kehidupan secara materi. Ia menafsirkannya sebagai hidup yang penuh akan rasa lega dan syukur. Tak lupa, dalam kehidupan itu manusia juga menyadari bahwa ketetapan Allah adalah pilihan terbaik, hingga pada akhirnya menciptakan rasa bahagia.[2]
Dalam hadisnya, Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak apa-apa dengan kaya bagi orang yang bertakwa. Dan sehat bagi orang yang bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan bahagia itu bagian dari kenikmatan” [H.R. Ibnu Majah].
Dari hadist tersebut, jelas sudah bahwa Rasulullah ﷺ sejak 1400 tahun lalu telah membicarakan kesehatan mental. Beliau bersabda bahwa indeks kebahagiaan bukan tentang kekayaan, namun tentang kesehatan dan kekayaan jiwa.[3]
Maka, teranglah sudah bahwa kehilangan nilai “kebajikan” dan “kekayaan jiwa” inilah yang menjadi salah satu kunci mengapa pada akhirnya manusia modern saat ini lebih sering merasa hampa dan gelisah, alih-alih bahagia.
Psikologi Spiritual: Elaborator dan Problem SolverMasalah Mental Manusia Modern
Jika kita menadaburi kilas balik dari konsep fitrah manusia dalam Islam, maka kita menjumpai bahwa salah satu fitrah manusia adalah berislam. Islam ini memiliki implikasi untuk berserah diri kepada sesuatu yang lebih besar dan kuasa daripada manusia itu sendiri. Dalam hal ini, Dzat Yang Maha Besar dan Kuasa, adalah Allah Swt. Maka dari sini, tersimpulkan bahwa fitrah manusia pada dasarnya adalah berserah diri, menyerahkan seluruh permasalahannya kepada Sang Maha Kuasa.
Ini tentu berbanding terbalik dengan pola pikir manusia modern yang positivistik. Sebuah paradigma yang mencerna seluruh dinamika kehidupan hanya berdasarkan akal mereka tanpa memasukkan unsur keilahian. Maka, sudah selayaknya manusia menyadari bahwa solusi problematika mental ini bukan selalu tentang materi, namun juga hal-hal yang bersifat non-materi (transendental).
Dengan pandangan ini, munculah kesadaran pribadi bahwa kebutuhan manusia sesuai fitrah/kodratnya yang terdiri dari fisik dan jiwa/batin. Maka, paradigma psikologi spiritual ini pada akhirnya mampu memahamkan kita secara utuh tentang hakikat manusia. Selain itu, konsep ini juga membantu kita untuk mengetahui substansi dan eksistensi manusia sebagai makhluk personal, sosial, dan spiritual.
Editor: Dzaki Kusumaning SM
Referensi
[1] Sri Haryanto, Kerangka Paradigmatik Psikologi Spiritual, (Wonosobo : 2022), h. 1115-1126.
[2] Hilmy Rabi’ah & Iffati Zamimah, Kesehatan Mental Perspektif Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab, (Jakarta, 2021), h. 119-134.
[3] Zahra Yasmin, dkk., Indeks Kesehatan Mental Menurut Rasulullah Saw.: Studi Takhrij dan Syarah Hadis dengan Pendekatan Psikologis, (Bandung, 2022), h. 12-24.
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.