Akhir-akhir ini, saya banyak menemukan fenomena perilaku disekitaran yang berubah drastis. Orang yang biasanya memiliki sifat bak setan dan tak paham sopan santun tiba-tiba mendadak agamis dan lemah lembut dalam berbicara. Belakangan ini orang-orang menyebutnya dengan istilah “hijrah”.
Banyak prinsip dan tujuan baru ketika orang-orang memutuskan untuk berhijrah. Dari gaya hidup yang mungkin merasa terlalu bedebah bagi agama, terlalu berambisi untuk dunia, namun tiba-tiba secara total meninggalkan gaya hidup tersebut dan fokus kepada agama.
Saya memiliki beberapa teman yang memutuskan untuk berhijrah dengan caranya masing-masing. Kebanyakan dari mereka tidak hanya berubah dalam sikap saja, melainkan juga dalam penampilan entah itu perempuan maupun pria.
Bagi kaum perempuan, ada yang dengan memakai jilbab begitu panjang ditambah dengan sehelai kain yang menutupi wajah alias cadar. Di kalangan pria, ada yang sudah berbeda penampilan dengan jenggotan yang panjang dan celana cingkrang maupun sebagainya.
Fenomena tersebut juga terjadi di lingkungan teman-teman sebaya. Namun menariknya, ketika ada salah satu teman yang memutuskan berhijrah dari sikap bedebahnya menuju pintu taubat, saya cukup terkagum kepadanya. Bukan pilihannya berhijrah yang membuat saya kagum, melainkan sikap dan pemahaman yang ia dapatkan ketika berhijrah.
Ketika saya bertanya alasan mengapa ia berhijrah untuk sekedar basa-basi. Ia malah tidak menyatakan dirinya sedang berhijrah. Dan bahkan ia terkesan geli ketika melihat orang-orang yang baru berhijrah namun merasa paling suci di alam semesta. Hal yang membuat saya terkagum lagi ketika ia mengatakan bahwa saat ini yang ia lakukan ibarat menjalankan perkuliahan di semester selanjutnya. Karena setiap semester memiliki ilmu, pengalaman dan pelajarannya masing-masing.
Kaum Berhijrah yang Moderat
Hebatnya lagi dengan statusnya yang dapat diklaim sebagai orang yang baru “berhijrah”, ia tidak menganggap bahwa temannya yang masih berguru dengan setan sebagai orang yang harus dijauhi. Atau mereka yang jenggotan maupun bercelana cingkrang sebagai teman yang harus didekati dan dianggap sebagai muslim “kaffah”.
Mungkin kita acap kali menemukan orang-orang seperti ini, mereka yang masih moderat dan berada ditengah-tengah yang tidak mau dikelompokkan dan tak butuh untuk dikelompokkan.
Dari sana, saya mendapati pembelajaran yang begitu berharga, layaknya apa yang dikatakan teman saya tersebut. Saya juga mempercayai bahwa tingkat keimanan itu memiliki tangga dan bobot sks-nya masing-masing. Kita tidak bisa mengatakan anak SD bodoh ketika ia belum paham tentang teori relativitas waktu, pun tak bisa menilai hermeneutika itu sebagai disiplin ilmu yang sesat lagi menyesatkan padahal belum mempelajari apa itu hermeneutika, bukan?
Dalam bahasa sederhananya, karena kita pernah menjadi orang yang belajar, maka tak perlu menghina yang sedang belajar. Apalagi yang tidak belajar, namun malah mengklaim apa yang dipalajari oleh orang lain sebagai suatu yang salah lagi menyesatkan.
Salah Kaprah Berhijrah
Namun, saya agak muak melihat pemaknaan hijrah belakangan ini. Saya tidak memiliki masalah dengan mereka yang tiba-tiba menjadi santun maupun religius. Yang saya masalahkan ialah dengan mereka yang bersikap “ujub” setelah berhijrah.
“Tengik” itulah pandangan saya tentang mereka. Manusia yang terlalu membanggakan dirinya yang sudah suci, merasa dirinya lebih baik ketimbang orang lain dan lantas menganggap orang bedebah, karena tidak sepemikiran dengannya.
Kita semua menyepakati bahwa menutup aurat bagi umat muslim itu adalah kewajiban. Seperti yang disebutkan didalam QS an-Nur 30 Mengenai perintah menutup aurat untuk laki-laki sekaligus menjaga pandangannya. Dilanjutkan dalam QS. an-Nur ayat 31 mengenai perintah menutup aurat bagi perempuan.
Maka ketika ada perempuan yang tidak berjilbab, secara bertanggung jawab saya mengatakan bahwa ia salah menurut standar al-Qur’an. Namun sebagai manusia yang beradab dan mempunyai akal plus filternya, saya menghormati keputusannya untuk tidak memakai jilbab. Perihal dosa dan neraka? “yang memutuskan ia masuk neraka atau tidak itu tuhan, bukan saya”
Acap kali kita menemui kepongahan dalam beragama, mereka yang merasa lebih baik dari yang lain. Bahkan kerap menemukan perempuan yang direndahkan bahkan dihakimi, karena ia tidak memakai jilbab. Disisi lain, ada juga menemui laki-laki yang dicap sebagai ahli neraka hanya perkara celana yang tidak cingkrang alias Isbal.
Hijrah Siapa yang Anda Tiru?
Jika dengan berhijrah hanya terbatas dengan perkara kafir-kafiran bukan ajakan, menghakimi orang yang masih jauh dari agama bukan malah mengingatkan, maka dengan penuh tanggung jawab saya mengatakan lebih baik saya berislam dengan biasa-biasa saja.
Jika berhijrah dengan mengenal Islam secara “kaffah” hanya sebatas membid’ahkan, menyesatkan, mengkafirkan orang lain dan menghancurkan peribadatan agama lain sebagai bentuk jihad, maka saya menolak untuk beragama Islam secara “kaffah” versi mereka tersebut.
Bukankah Nabi SAW melakukan hijrah untuk menebarkan rasa cinta, menjaga toleransi, hingga rasa aman meskipun dihadapkan dengan keberagaman yang berbeda-beda. Bahkan perkara khamar pun Nabi Muhammad mengajarkan para sahabat untuk berangsur-angsur meninggalkannya secara ramah bukan marah.
Hingga nabi SAW pernah menyusun Piagam Madinah yang isinya toleransi, bukan seruan kebencian terhadap golongan tertentu? Jika menunjukkan kebencian secara terbuka, menghakimi yang tidak sependapat, seolah-olah itu merupakan hal yang benar dan berpahala, lantas hijrah siapa yang anda tiru?
Penyunting: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply