Seorang mufti atau ulama harus berhati-hati dalam menjawab pertanyaan orang jika jawaban tersebut berlandaskan ijtihad. Apa-apa yang dijelaskan dalam bukunya untuk menjawab pertanyaan, maka dia tidak boleh bersaksi atas Allah dan Rasul-Nya. Fatwa ijtihad tidak diperbolehkan mengatakan, “Inilah hukum Allah”.
Dengan pemahaman di atas, seorang mufti tidak boleh menipu manusia dengan menyebutkan bahwa inilah hukum Allah. Sebab dia tidak memiliki ilmu tentang hukum Allah dan Rasul-Nya. Dia bersaksi untuk menguatkan pendapat atas jawabannya agar diterima oleh masyarakat luas. Telah benar Nabi Saw melarang amirnya, Buraidah RA., untuk mengatakan ini berdasarkan hukum Allah kepada musuh-musuhnya jika dia mengepung mereka. Rasullullah bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau benar-benar telah berhukum dengan hukum Allah pada mereka ataukah tidak. Akan tetapi, putuskanlah mereka itu berdasarkan hukummu!”
Pendapat Ibnul Qayyim
Ibnul-Qayyim pernah berkata dalam kitab Iqadzh Al-Himam milik Shalih Muhammad Al-‘Umari: “Fahamilah bagaimana dia Shallallahu Alaihi wa Sallam membedakan antara hukum Allah dan hukum seorang amir yang mujtahid. Dan dia melarang untuk menamakan hukum mujtahid dengan hukum Allah. Oleh karena itu, seorang penulis menuliskan suatu keputusan di hadapan Amirul-Mukminin, Umar bin Al-Khattab. Maka penulis itu mengatakan: “ Inilah yang Allah tunjukan pada Amirul-Mukminin, Umar.” Maka Umar pun berkata, “Janganlah engkau berkata seperti itu! Tapi katakana, ‘Ini adalah pendapat Amirul-Mukminin, Umar!’.”
Dengan itu, tidak sepantasnya seorang mengatakan sesuatu yang berdasarkan ijtihadnya dan belum mendapatkan nash dari Allah dan Rasul-Nya dengan menyebutkan ‘Ini halal, ini haram’. Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Seorang mufti tidak boleh bersaksi atas Allah dan Rasul-Nya bahwasannya Dia menghalalkan ini, Dia mengharamkan ini, Dia mewajibkannya, Dia memberncinya, terkecuali pada sesuatu yang dia ketahui bahwa hal tersebut benar-benar demikian, yakni berdasarkan nash (teks) Allah dan Rasul-Nya tentang pembolehannya, pengharamannya, pewajibannya atau pemakruhannya.”
Penerapan Hukum Ijtihad Oleh Ustaz Indonesia
Walaupun tidak semua, namun banyak dari kalangan ustaz, pendakwah, atau mubalig, atau bahkan seorang ulama di Indonesia berani menegaskan hukum yang bedasarkan ijtihad mereka untuk mengharamkan bahkan mewajibkan sesuatu hal. Kejelasan dalam mengemukakan suatu fatwa yang berlandaskan ijtihad seolah dilupakan dan mencari pengakuan atas pendapatnya itu adalah benar.
Padahal dulu, lebih dari satu salaf berkata, “Hendaklah salah seorang dari kalian berhati-hati dalam mengatakan, ‘Allah menghalalkan ini dan Allah mengharamkan ini.” Allah akan berkata kepadanya, “Engkau telah berdusta. Aku tidak pernah menghalalkan ini dan tidak pernah mengharamkan ini.”
Oleh karana itu, dahulu para imam yang empat sangat berhati-hati dalam memutlakkan lafazh pengharaman dan mereka memutlakkan lafazh al-karahiah (makruh). Dahulu mereka menggunakan lafazh al-karahiah dalam makna yang sama (dengan haram) yang dipergunakan pada perkataan Allah dan Rasul-Nya.
Menggunakan Kata-Kata yang Jelas dalam Berfatwa
Seorang mufti atau ulama hendaknya menggunakan kata-kata yang jelas dalam berfatwa. Tidak boleh menggunakan kata-kata yang asing dan istilah-istilah yang kurang dikenal. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan dan memahamkan agar fatwa tersampaikan dengan baik maksud dan tujuannya.
Seorang mufti tidak boleh menyulitkan dan membingungkan orang yang bertanya dan membuatnya mendapat kesusahan dan kebingungan. Tetapi dia harus menjelaskan dengan penjelasan yang dapat menghilangkan masalahnya. Yaitu berisi hal yang dibicarakannya dan yang mampu menyampaikan maksud sehingga tidak perlu penjelasan lain.
Sesungguhnya mufti yang benar-benar ahli serta mendalam ilmunya terkadang terhenti untuk mengatakan mana yang benar dalam satu permasalahan yang terjadi perselisihan di dalamnya. Dan dia tidak memastikan sesuatu dengan yakin tanpa ilmu. Dan yang hanya bisa disampaikannya adalah dengan menyebutkan perberdaan pendapat pada permasalahan itu kepada orang yang bertanya.
Seorang mufti ketika dihadapkan kepadanya suatu permasalahan diharapkan jawabannya, maka wajib baginya menggambarkannya dengan gambaran yang meliputi seluruh sisinya, kemudian ia berdalil dengan dalil-dalil syar’i dengan metode yang diakui. Dengan itu, jangalah dia membayangkan jawabannya (terlebih dahulu) di dalam fikirannya, kemudian dia mencari dalil yang sesuai dengan apa yang ada dipikirannya.
Penyunting: M. Bukhari Muslim
1 Komentar