Konsumsi dalam pengertian ilmu ekonomi, tidaklah sama dengan istilah konsumsi yang kita artikan dengan makan dan minum sehari-hari. Lebih dari itu, konsumsi dalam ilmu ekonomi lebih kepada perilaku seseorang. Baik dalam memanfaatkan barang ataupun jasa untuk memenuhi kehidupannya.
Dewasa ini, melihat realita yang terjadi, tidak sedikit orang yang melakukan kegiatan konsumsi bukan berdasarkan manfaat. Akan tetapi berdasarkan kepada sifat ego maupun keangkuhannya. Sehingga secara tidak langsung, hal ini akan melahirkan perilaku pemborosan. Padahal Al-Qur’an secara tegas melarang perilaku tersebut. Sebagaimana dalam surat Al-A’raf ayat 31:
Artinya: “Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangalah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Berdasarkan asbabun nuzulnya, ayat ini menceritakan bahwa ada wanita yang berthawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang. Dan hanya kemaluannya yang ditutupi dengan secarik kain. Kemudian ia bersyair, bahwa hari ini sebagian atau seluruhnya kelihatan, sehingga bagian itu tidak dihalalkan. Maka turunlah ayat untuk memakai pakaian (Surat Al-A’raf ayat 31) dan perhiasan di dunia (Surat Al-A’raf ayat 32).
Sedangkan Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Menuliskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan penolakan Al-Qur’an terhadap perilaku orang musryik. Baik laki-laki atau perempuan, yang ketika thawaf tidak mengenakan pakaian.
Laki-laki biasanya thawaf pada siang hari sedangkan perempuan pada malam hari. Atas dasar inilah Allah memerintahkan untuk mengenakan al-zinah (perhiasan). Yang kemudian dimaknai dengan al-libas (pakaian) yang akan menutupi tubuh mereka kecuali apa yang memang diperbolehkan untuk terlihat.
Tidak Ada Larangan Memakai Pakaian Yang Indah
Meskipun begitu, kita tidak dilarang untuk memakai pakaian-pakaian yang indah. Menurut M. Quraish Shihab dalam karyanya Tafsir Al-Misbah disebutkan bahwa ayat ini mengandung makna keharusan memakai pakaian yang indah dan patut serta menutup aurat. Baik itu di dalam masjid atau di luar masjid.
Menurut Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi: Sebuah eksplorasi melalui kata kunci. Menuliskan bahwa kata masjid pada ayat di atas tidak hanya dibatasi maknanya kepada gedung sebagai tempat ibadah. Kata tersebut juga dapat diterjemahkan dengan aktivitas seperti shalat, thawaf dan ibadah-ibadah lainnya.
Adapun makna wala tusrifu adalah janganlah engkau mengkonsumsi sesuatu melampaui batas. Yaitu batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.
Kemudian perintah untuk memakan makanan yang halal, enak, bermanfaat lagi bergizi dan berakibat baik bagi tubuh. Dan juga perintah meminum minunan yang kamu sukai tetapi tidak memabukkan dan tidak mengganggu kesehatan. Tetapi janganlah berlebih-lebihan karena Allah tidak menyukai orang-orang seperti itu.
Hal tersebut juga diamini oleh Lukman Faurani dalam karyanya Tafsir ayat-ayat tentang konsumsi: Aplikasi Tafsir Ekonomi Al-Qur’an. Ia menuliskan bahwa prinsip utama konsumsi dalam ayat di atas adalah proporsional dan tidak berlebih-lebihan atau tidak mengikuti selera hawa nafsu.
Meninggalkan Makan Dan Minum Itu Membunuh Diri Sendiri
Sehubungan dengan perintah Allah untuk mengkonsumsi makanan dan larangan berlebih-lebihan, Al-Syaukani dalam karyanya Fath Al-Qadir menuliskan. Bahwa Allah SWT memerintahkan hambanya untuk makan dan minum dan melarang mereka berlebih-lebihan.
Larangan ini tidak dimaksudkan agar manusia meninggalkan makan dan minum. Bahkan orang yang meninggalkan makan dan minum sama dengan membunuh dirinya sendiri. Bahkan ia termasuk golongan ahli neraka.
Selain itu, M. A Mannan dalam karyanya Teori dan Praktik Ekonomi Islam menyebutkan hal lain. Yaitu Allah menganjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang baik dan halal. Karena itu, tidak semua makanan dibolehkan. Hanya makan dan minum yang bersih dan bermanfaat saja yang dibolehkan dari semua keadaan.
Konsumsi Itu Karena Kebutuhan Bukan Keinginan
Semangat yang sama juga dapat ditemukan pada surat Al-Furqan ayat 67. Yang mana Allah menggambarkan sikap konsumsi yang baik adalah tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir. Melainkan pertengahan di antara keduanya. Pertengahan ini tampaknya dapat dimaknai sepadan dan proporsional.
Yang menarik adalah Al-Qur’an menggeser motif konsumsi manusia dari keinginan (want) kepada kebutuhan (need). Sebagaimana yang diketahui, bahwa penggerak awal konsumsi dalam ekonomi konvensional didasarkan atas dua nilai. Yaitu rasionalisme (masuk akal) dan utilitarianisme (bernilai manfaat). Kedua nilai dasar ini kemudian membentuk suatu perilaku konsumsi yang hedonistik materialistik serta boros. Karena rasionalisme ekonomi konvensional adalah self interest (kepentingan diri sendiri). Perilaku konsumsinya juga cenderung individualistik. Sehingga seringkali mengabaikan keseimbangan dan keharmonisan sosial.
Tentu saja, Islam menolak perilaku manusia yang ingin selalu memenuhi segala keinginannya. Karena pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan terhadap keinginan yang bisa jadi bernilai buruk.
5 Prinsip Konsumsi Dalam Islam
Oleh sebab itu, Amiur Nuruddin dalam bukunya Dari mana sumber hartamu menjelaskan bahwa di dalam konsep Islam dikenal lima prinsip dalam konsumsi. Pertama, prinsip keadilan. Kedua prinsip kebersihan. Ketiga, prinsip kesederhanaan. Keempat, prinsip kemurahan hati. Dan kelima, prinsip moralitas. Dari sini terlihat jelas bahwa dalam perspektif ekonomi syari’ah, konsumsi pada hakikatnya adalah manifestasi dari pengabdian kepada Allah.
Konsumsi dalam ekonomi syari’ah bukan sekedar memenuhi kebutuhan individu, tetapi lebih berkenaan dengan kebutuhan orang lain. Oleh karena itu, dalam anjuran mengkonsumsi terselip tanggung jawab untuk memberikan perhatian terhadap mereka yang butuh. Seperti mereka yang meminta (al-qani), maupun yang meminta (al-mu’tar), bahkan juga untuk orang-orang yang sengsara (al-bais) dan fakir miskin (Surat Al-Hajj ayat 28).
Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa ayat ini menganjurkan kita untuk memenuhi kebutuhan hidup kita sehari-hari. Namun tetap harus memperhatikan kebutuhan tersebut. Bukan sekedar memenuhi apa yang diinginkan.
Selain itu, Al-Qur’an juga telah menggariskan etika konsumsi yang sangat agung. Jika ajaran konsumsi Al-Qur’an diikuti, maka apa yang kita konsumsi tidak hanya memberikan dampak positif bagi kehidupan kita sendiri. Melainkan juga akan memberi kemaslahatan bagi orang lain.
Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.