Hari raya atau lebaran adalah momentum yang sangat dinantikan bagi tiap-tiap muslim, salah satunya di Indonesia. Bisa dikatakan momen ini bagai tali yang mempererat persaudaraan dengan bersilaturahmi. Terutama saat hari raya Idul Fitri, seluruh saudara akan kumpul pada satu rumah yang di dalamnya terdapat kakek/nenek. Hal ini lazim pada umumnya sebab kakek/nenek merupakan ladang berkah bagi keturunannya.
Bahkan diyakini oleh sebagian masyarakat jika ingin menjadi orang kaya maka uruslah orang tua dengan baik. Dalam sebuah riwayat hadis juga dikatakan bahwa amalan yang paling dicintai Allah adalah salat tepat waktu, berbakti kepada orang tua, dan Jihad.
صحيح البخاري ٦٩٨٠: حدثني سليمان حدثنا شعبة عن الوليد ح و حدثني عباد بن يعقوب الأسدي أخبرنا عباد بن العوام عن الشيباني عن الوليد بن العيزار عن أبي عمرو الشيباني عن ابن مسعود رضي الله عنه
أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه وسلم أي الأعمال أفضل قال الصلاة لوقتها وبر الوالدين ثم الجهاد في سبيل الله
Shahih Bukhari 6980: Telah menceritakan kepadaku Sulaiman telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Al Walid (dalam jalur lain disebutkan) telah menceritakan kepadaku Abbad bin Ya’qub Al Asadi telah mengabarkan kepada kami Abbad bin Al ‘Awwam dari Asy Syaibani dari Al Walid bin ‘Aizar dari Abu ‘Amru dan Asy Syaibani dari Ibn Mas’ud radliallahu ‘anhu, bahwa seorang laki-laki pernah bertanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan apa yang paling utama? ‘ Nabi menjawab: “Shalat tepat pada waktunya, berbakti kepada kedua orang tua, dan jihad fi sabilillah.”
Lebaran dan Larangan Mudik
Namun, lebaran yang penuh kehangatan agak berbeda di tahun 2020-2021 M/1441-1442 H. Mulai merabahnya virus covid 19 mengakibatkan pemberlakuan social distancing yakni dengan membatasi gerak, serta amalan-amalan umat muslim yang marak. Hal ini seperti pemberhentian sementara acara pengajian yang memang pelaksanaannya dengan berkumpul di majelis, serta maklumat larangan mudik.
Faktanya social distancing di tahun 2021 ini sudah tidak seketat tahun 2020. Jamaah salat tarawih dan salat Jumat sudah boleh dilaksanakan di masjid, dengan tetap mematuhi protokol kesehatan yang memberi jarak 1 meter. Menurut ijma’ ulama persoalan salat Jumat masa pandemi covid-19 memang dibolehkan untuk tidak dilaksanakan di masjid. Hal ini disamakan dengan kisah sahabat yang tidak berangkat shalat Jumat karena hujan lebat. Sebagaimana hadis shahih Nabi SAW
صحيح البخاري ٨٥٠: حدثنا مسدد قال حدثنا إسماعيل قال أخبرني عبد الحميد صاحب الزيادي قال حدثنا عبد الله بن الحارث ابن عم محمد بن سيرين قال ابن عباس لمؤذنه في يوم مطير إذا قلت أشهد أن محمدا رسول الله فلا تقل حي على الصلاة قل صلوا في بيوتكم فكأن الناس استنكروا قال فعله من هو خير مني إن الجمعة عزمة وإني كرهت أن أحرجكم فتمشون في الطين والدحض
Shahih Bukhari 850: Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata: telah menceritakan kepada kami Isma’il berkata: telah mengabarkan kepadaku ‘Abdul Hamid sahabatnya Az Ziyadi, berkata: telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al Harits anak pamannya Muhammad bin Sirin, Ibnu ‘Abbas berkata kepada Mu’adzinnya saat hari turun hujan: “Jika kamu sudah mengucapkan ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAH, janganlah kamu sambung dengan HAYYA ‘ALASH SHALAAH (Marilah mendirikan shalat). Tapi serukanlah SHALLUU FII BUYUUTIKUM (Shalatlah di rumah-rumah kalian).” Lalu orang-orang seakan mengingkarinya. Maka Ibnu ‘Abbas pun berkata: “Sesungguhnya hal yang demikian ini pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku. Sesungguhnya shalat Jum’at adalah kewajiban dan aku tidak suka untuk mengeluarkan kalian, sehingga kalian berjalan di tanah yang penuh dengan air dan lumpur.”
Baca Juga: Rezekimu Akan Mengejarmu di Manapun Kamu Berada
***
Menitik beratkan pada konteks hadis bahwa aturan yang dibawa Rasulullah tidak saklek melainkan menyesuaikan kemaslahatan umat. Hadis sendiri bersifat dzanni yang mana hukum di dalamnya tidak paten sebagaimana al-Qur’an yang qath’i. Sedangkan hadis sendiri merupakan tafsir dari kandungan al-Qur’an yang secara tekstual bersifat global. Sehingga ketika memahami suatu esensi agama kurang baik jika hanya melihat satu sudut pandang saja, semisal al-Qur’an saja. Lalu, bagaimana esensi lebaran? Apakah mudik adalah bagian dari esensinya?
Butir Hasanah Realitas Lebaran Idul Fitri
Kata Idul Fitri berasal dari dua susunan kata bahasa Arab, yakni Id dan Fitri. Kata Id merupakan ideom dalam membahasakan hari raya, hari bersenang-senang, atau pun hari berpesta. Al-Qur’an sendiri mendefiniskan Id sebagai hari raya dalam QS. Al-Maidah ayat 114.
قَالَ عِيۡسَى ابۡنُ مَرۡيَمَ اللّٰهُمَّ رَبَّنَاۤ اَنۡزِلۡ عَلَيۡنَا مَآٮِٕدَةً مِّنَ السَّمَآءِ تَكُوۡنُ لَـنَا عِيۡدًا لِّاَوَّلِنَا وَاٰخِرِنَا وَاٰيَةً مِّنۡكَۚ وَارۡزُقۡنَا وَاَنۡتَ خَيۡرُ الرّٰزِقِيۡنَ
“Isa putra Maryam berdoa, “Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang sekarang bersama kami maupun yang datang setelah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; berilah kami rezeki, dan Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.”
***
Sedangkan kata fitri diartikan suci dalam QS. Ar-Rum ayat 30 yang mana perwujudan manusia ketika diciptakan adalah suci.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
“Hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah.”
.Adapun arti lain dari fitri adalah berbuka sebagaimana keterangan, hadis Nabi SAW.
لا يزال الدين ظاهراً، ما عجّل النّاس الفطر؛ لأنّ اليهود والنّصارى يؤخّرون
“Agama Islam akan senantiasa menang, selama masyarakat (Islam) menyegerakan berbuka. Karena orang yahudi dan nasrani mengakhirkan waktu berbuka.” (HR. Ahmad 9810, Abu Daud 2353, Ibn Hibban 3509 dan statusnya hadia hasan).
Esensi Lebaran; Kembali ke Fitrah
Jika ditarik benang merah Idul Fitri merupakan hari raya yang dapat mensucikan diri umat muslim, karena pada hari ini seluruh umat muslim saling melebur dosa dengan saling berbagi keikhlasan hati meminta maaf, sekaligus hari berbuka setelah mejalani ibadah puasa wajib di bulan Ramadan.
Kata kunci saling meminta maaf dan kembali ke fitrah adalah esensi lebaran sesungguhnya. Adanya larangan mudik bukan berarti tidak ada hari raya Idul Fitri, adanya sistem lockdown bukan berarti tidak dapat saling memaafkan, tidak ada jabat tangan bukan berarti tidak ada keikhlasan hati untuk menyambung silaturrahmi.
Sekarang kita hidup di zaman yang serba teknologi yang mana rasa rindu dapat terobati dengan video call. Larangan mudik bukanlah alasan bagi kita merasa tidak bahagia akan adanya hari raya. Justru disaat seperti ini keimanan kita diuji apakah benar ibadah yang kita lakukan semata untuk Allah atau hanya sekedar nafsu keinginan? Semoga kita tidak terjebak kenikmatan nafsu dunia, dan dapat ikhlas menerima segala ketetapan Allah serta pandemi Covid-19 segera sirna. Aamiin.
Editor: Ananul Nahari Hayunah
Leave a Reply