Ayat-ayat Al-Qur’an menyebut bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari. Pernyataan ini berulang di banyak surah dan seolah menegaskan bahwa itulah durasi penciptaan semesta: tidak lebih, tidak kurang.
Namun, jika kita telusuri Surah Fussilat ayat 9 hingga 12, muncul rincian waktu penciptaan alam semesta yang tampaknya bertentangan. Jumlah harinya terlihat delapan, bukan enam seperti disebut dalam ayat-ayat lain. Mengapa bisa berbeda, padahal bersumber dari kitab yang sama?
Pertanyaan seperti ini kerap dimanfaatkan untuk meragukan konsistensi Al-Qur’an. Tapi, benarkah ini bentuk kontradiksi? Ataukah kita yang keliru dalam memahami susunan dan maksud ayat? Di sinilah pentingnya pendekatan tafsir yang mendalam dan tidak sekadar hitungan literal.
Tafsir dan Kesalahpahaman Penjumlahan
Surah Fussilat ayat 9 menyebutkan bahwa bumi diciptakan dalam dua hari. Ayat berikutnya menjelaskan tentang penyempurnaan bumi: peletakan gunung-gunung, penetapan takaran rezeki, dan ketentuan lainnya dalam empat hari. Lalu, penciptaan tujuh langit terjadi dalam dua hari lagi. Bila angka-angka ini dijumlahkan secara mentah, tampaknya memang menjadi delapan hari.
Namun, para mufasir, seperti Al-Jalalain dan Ibnu Katsir, sejak lama telah menjelaskan bahwa empat hari yang disebut dalam ayat 10 bukan tambahan dari dua hari sebelumnya. Empat hari itu sudah termasuk dua hari pertama dalam penciptaan bumi.[1]
Frasa empat hari pada ayat 10 menunjukkan total waktu penyempurnaan bumi, bukan tahapan baru yang berdiri sendiri. Jadi urutannya adalah: dua hari menciptakan bumi, dua hari melengkapinya, lalu dua hari menciptakan langit.[2] Totalnya tetap enam hari, bukan delapan.
Kesalahpahaman ini sering terjadi karena membaca teks suci seperti membaca daftar tugas harian. Semua hal dijumlahkan seolah-olah tiap kalimat adalah proses yang terpisah. Padahal, dalam struktur bahasa Arab, seperti dalam bahasa Indonesia pun, sangat mungkin satu pernyataan menjelaskan keseluruhan dari tahapan sebelumnya, bukan menambahkan tahapan baru.
Membaca Ayat dengan Himpunan Matematika
Gaya bahasa seperti ini sebenarnya sering kita jumpai dalam pelajaran matematika, khususnya tentang himpunan. Misalnya, dalam satu kelas ada 10 siswa. Enam suka nasi goreng, lima suka es krim, dan dua orang suka keduanya. Jika dijumlahkan, 6 + 5 + 2 = 13.
Padahal, jumlah siswa hanya 10 orang. Mengapa bisa lebih? Karena dua siswa yang suka keduanya dihitung dua kali—sekali di nasi goreng, sekali lagi di es krim, lalu ditambah lagi sebagai penyuka keduanya. Maka hasilnya tidak logis dan jadi berlebihan.
Untuk menghitung dengan tepat, kita harus kurangi jumlah irisan. Maka rumusnya adalah 6 + 5 – 2 = 9. Artinya, hanya ada sembilan siswa yang suka makanan—baik nasi goreng, es krim, atau keduanya. Dua orang di antaranya punya peran ganda.
Kesalahan dalam menjumlahkan tanpa memperhatikan struktur juga terjadi saat membaca Surah Fussilat. Kita tergoda menghitung semua angka secara kaku, tanpa menyadari bahwa sebagian informasi sudah saling meliputi satu sama lain.
Oleh karena itu, pemahaman Al-Qur’an tidak cukup hanya dari lafaz-lafaznya. Perlu pendekatan kontekstual yang mempertimbangkan latar sosial, budaya, sains bahkan psikologis masyarakatnya.[3] Di sinilah tafsir tematik menjadi keharusan di era modern.
Keselarasan Dalil dan Ajakan Berpikir
Keselarasan Al-Qur’an bukan terletak pada hitungan matematis semata, tetapi pada konsistensi makna dan logika nalar yang dibimbing oleh tafsir. Allah pun mengingatkan:
“Apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an? Kalau kiranya datang dari selain Allah, tentu mereka akan mendapati banyak pertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisa: 82)
Ayat ini bukan hanya ajakan merenung, tapi juga jaminan bahwa Al-Qur’an tak menyimpan kontradiksi bagi siapa saja yang membacanya dengan hati-hati dan niat yang jernih. Tafsir bukan sekadar terjemahan, tapi juga penyeimbang antara teks dan akal sehat.
Akal adalah salah satu instrumen utama dalam memahami wahyu. Imam Al-Ghazali pernah menyebut bahwa antara syariat dan akal tidak akan pernah terjadi pertentangan. Jika tampak bertentangan, itu tanda pemahaman kita yang keliru terhadap salah satunya, atau bahkan keduanya.[4]
Perbedaan enam dan delapan hari dalam ayat penciptaan bukanlah kontradiksi, melainkan perbedaan cara menyajikan informasi. Tafsir yang lurus dan pendekatan logika yang jernih membimbing kita menemukan bahwa tidak ada yang saling bertentangan dalam wahyu.
Justru, semakin dalam kita menyelami, semakin tampak bahwa Al-Qur’an membuka ruang kontemplasi yang luas: bukan untuk memperdebatkan angka, tapi untuk mengenali cara Tuhan bekerja dalam keteraturan dan keseimbangan.
Maka, tugas kita bukan sekadar menghitung, tetapi merenungi. Setiap perbedaan angka bukan panggilan untuk curiga, melainkan undangan untuk menyelam lebih dalam—ke dalam struktur makna dan kebijaksanaan wahyu yang terus relevan sepanjang zaman.
Referensi
[1] Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsir Jalalain (Beirut: Daar Ibnu Katsir, t.t.), hlm. 477.
[2] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jil. 6 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 436-437.
[3] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 9–10.
[4] Al-Ghazali, Al-Iqtisad fi al-I‘tiqad, edisi Maktabah Syamilah, https://shamela.ws/book/9217/1, diakses 30 Juli 2025.
Editor: Dzaki Kusumaning SM



























Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.