Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Ekologi Qur’anik Sayyed Hossein Nasr

Sumber: https://the.ismaili/ismailicentres/understanding-islam/

Krisis ekologi yang diakibatkan oleh meningkatnya polusi, pemanasan global, hujan asam, radiasi nuklir, ledakan sampah perlu mendapatkan perhatian. Serta evaluasi dari masyarakat luas dan masyarakat beragama. Perhatian dan evaluasi tersebut harus difokuskan pada level kosmik. Dalam sudut pandang Bruno Latour,  mengevaluasinya pada level ekologi. Artinya membawanya melebihi egoisme kepentingan manusia—antroposentrisme—serta menghubungkannya dengan dinamika lingkungan dan alam semesta. Setelah dievaluasi, hasil yang diperoleh dapat dijadikan sebagai bangun rancang dalam menilai manusia dengan lingkungan sekitarnya. Sayangnya, kesadaran ekologi dalam bentuk demikian kurang mendapat perhatian dan kajian yang serius—untuk tidak mengatakannya diabaikan—.

Antroposentrisme

Kerusakan lingkungan seolah menjadi terma representatif untuk menggambarkan kehidupan manusia modern. Hal ini tidak lepas dari cara berfikir antroposentrisme manusia yang hanya melihat alam sebagai objek. Sehingga untuk hal apapun alam berhak untuk dieksploitasi dan diambil manfaatnya untuk kepentingan manusia tanpa mempertimbangkan kerusakan yang diakibatkan dikemudian hari. Jika dibiarkan terus-menerus, kerusakan ini akan berefek pada masalah yang lebih besar. Ia akan mengancam ekosistem alam bahkan manusia itu sendiri. Meningkatnya polusi, pemanasan global, hujan asam, radiasi nuklir, ledakan sampah dan lain sebagainya menjadi bukti konkret. Bahwa kondisi bumi saat ini telah mengalami krisis dan problem akut yang membutuhkan perhatian lebih dari setiap individu. 

Salah satu penyebab dari kerusakan alam yang terjadi sekarang menunjukkan adanya pergeseran paradigma berpikir manusia beragama. Satu sisi agama menekankan pentingnya melestarikan alam dan memanfaatkannya sebaik mungkin. Tetapi pada sisi yang lain, manusia justru berbanding sebaliknya, yakni mengeksploitasi bahkan cenderung merusaknya. Atas dasar itulah dapat diambil kesimpulan bahwa kelestarian dan kerusakan alam ditentukan pada manusia itu sendiri.

Eksploitasi alam yang dilakukan secara berlebihan dan pengelolaan yang tidak terencana secara sistematis akan berdampak pada hasil yang muspra dan sering berakhir menjadi bencana. Hal itu menjadi bahan introspeksi, evaluasi, dan inspirasi bagi para pemikir. John F. Haught, guru besar teologi Universitas Georgetown AS menyatakan, sekularisme modern telah menyingkirkan Tuhan; sebagai gantinya, merebaklah rasionalisme, humanisme, dan saintisme yang mengisi ruang hampa yang telah ditinggalkan Tuhan; kesemuanya ini tumbuh di atas alegori bahwa manusia menempati posisi supremasi di atas alam. (Haught, 1995).

Baca Juga  Membaca Konsep Zakat Sebagai Solusi Kemiskinan di Tengah Umat

Penyebab Ekspolitasi

Eksploitasi terhadap alam yang dilakukan oleh masyarakat bisa disebut juga berasal dari agama itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Karl Marx: agama adalah bagian dari superstruktur masyarakat dan ekonomilah yang menjadi pondasinya. Keterasingan yang terdapat dalam agama pada dasarnya adalah sebuah gambaran ketidakberesan yang terdapat dalam masyarakat, yaitu ekonomi. (Pals, 2018) 

Seperti yang dikatakan Anna M. Gadie, kurangnya landasan antropologis yang memadai. Inilah yang menyebabkan umat beragama – khususnya Islam – memandang alam, satwa liar, dan lain sebagainya sebagai satu kesatuan. Padahal dalam kajian ilmu interdisipliner, antara alam, satwa liar dan manusia sendiri adalah bagian terpisah dan memiliki aspek kajian tersindiri. Analisis terhadap pemikiran Anna dapat diartikan bahwa manusia tidak harus memposisikan diri sebagai subjek yang berhak untuk memanfaatkan alam secara berlebihan.

Ekoteologi Sayyed Hossein Nasr

Sayyed Hossein Nasr dalam karyanya yang berjudul Man and Nature turut merumuskan konsepsinya perihal masalah evaluasi kosmik. Konsepsi kosmik Nasr mengarah pada pola teologis, ia bertolak pada upaya mewujudkan relasi-konstruktif antara Tuhan, manusia, dan alam. Hal ini sesuai dengan preskripsi ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 29.

Menurut Nasr, krisis ekologi sebagai besar terjadi akibat dari ambisus manusia dalam mengeksploitasi alam. Dengan kata lain, penyebab utama krisis ekologi adalah disebabkan akibat dari gaya hidup saintisme yang tidak menganggap ilmu modern sebagai salah satu cara untuk mengenal alam. Melainkan dipandang sebagai filsafat yang secara keseluruhan mengurangi semua realitas ke dalam bagian fisik dan tidak menerima adanya pandangan-pandangan dunia yang non-saintis. (Nasr, 1968). 

Lebih jauh, Nasr menyebut hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam semesta, sebagai hubungan mutualistik yang saling meliputi antara yang satu dan lainnya. Hubungan saling meliputi ini merupakan manifestasi dari realitas watak ketuhanan Yang Abosolut. Dalam konteks realitas ketuhanan, manusia lalu dilihat sebagai jembatan antara langit dan bumi. Kemudian diposisikan sebagai instrumen manifestasi dan kristalisasi kehendak Allah di muka bumi (khalīfatullah fī al-ardi) (Nasr, Knowledge and the Sacred, 1981).

Baca Juga  Tular Nalar di SPADA: Penguatan Modul Literasi Digital di Pendidikan Tinggi

Dimensi Esoterik

Dalam pandangan Nasr, manusia modern telah kehilangan dimensi esoteriknya. Untuk mengembalikan pandangan manusia terhadap adanya yang sakral, Nasr kemudian menawarkan solusi, yaitu meletakkan alam semesta sebagai yang teofani. Teofani dalam pandangan Nasr bermakna melihat Tuhan, dalam wujudnya yang terefleksikan dalam cerminan bentuk-bentuk ciptaan-Nya. Artinya, manusia modern perlu memahami bahwa antara manusia, alam, dan Tuhan merupakan satu kesatuan yang saling membentuk harmoni.

Melalui kerangka berpikir teofani, Nasr sebenarnya hendak mengajak manusia untuk merenungkan bahwa hakikat dirinya adalah bagian integral dari alam. Sedangkan alam merupakan cermin dari kekuasaan Ilahi. Maka dalam konteks ini, pemikiran Nasr menemukan bentuk konkretnya. Yaitu menempuh langkah untuk berdamai dan hidup harmoni dengan alam sekitar merupakan jalan yang arif dan bijak (Maftukhin, 2016).

Dalam memahami krisis lingkungan, Nasr menjelaskan kerusakan alam tidak semerta-merta disebabkan oleh faktor alam itu sendiri. Ada faktor intervensi manusia dan arogansi sains yang turut menjadi penyebab degradasi lingkungan. (Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man, 1968). Faktor intervensi manusia antara lain adalah penebangan hutan secara liar, pembuangan sampah sembarangan, dan lain sebagainya. Sementara, arogansi sains bisa dilihat dari pola kerja sains yang memandang alam sebagai objek yang berada di bawah manusia.

Untuk mengatasi problem kerusakan alam, Nasr menawarkan solusi dengan cara merekontekstualisasikan kembali nilai-nilai agama yang bersumber pada al-Qur’an dan kearifan moral. Yang tujuan akhirnya adalah untuk merawat konservasi alam. Sains harus diintegrasikan dengan nilai-nilai keagamaan yang pada titik kulminasinya mengkristal pada akar kesadaran keilahian yang bersifat Qur’anik.

Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho