Pendahuluan
Dalam wacana kontemporer, nama Edip Yüksel mungkin tidak sefamiliar Quraish Shihab atau Fazlur Rahman. Namun, pemikir keturunan Kurdi-Turki yang menetap di Amerika Serikat ini mengusung model tafsir yang mengguncang tradisi: menafsirkan Al-Qur’an dengan merujuk pada Injil dan logika rasional pribadi.
Di tengah kebekuan metode tafsir klasik dan maraknya pendekatan literalistik, Yüksel tampil sebagai sosok kontroversial dengan pendekatan Qur’an Only dan semangat intertekstual lintas wahyu. Tulisan ini mencoba menelusuri bagaimana Edip Yüksel membangun metodologi tafsirnya, apa yang melatarbelakangi pemikirannya, serta bagaimana kontribusinya dapat terbaca dalam peta hermeneutika Islam kontemporer.
Edip Yüksel: Biografi Singkat dan Latar Pemikiran
Edip Yüksel lahir pada tahun 1957 di Turki. Ia berasal dari keluarga yang taat beragama dan awalnya mengikuti tradisi Islam Sunni. Namun, sejak usia muda, ia mulai meragukan otoritas hadis dan kitab-kitab fikih. Pada akhirnya, beliau meninggalkan mazhab dan mendeklarasikan diri sebagai quranist, yaitu mereka yang hanya mengakui Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber hukum Islam.
Yüksel kemudian bermigrasi ke Amerika Serikat, di mana ia berkolaborasi dengan Rashad Khalifa, penggagas teori “Code 19”. Setelah perpecahan dengan kelompok Khalifa, beliau mengembangkan pendekatannya sendiri. Pendekatannya menekankan hermeneutika rasional, numerologi terbatas, dan intertextual reading terhadap kitab-kitab wahyu.
Metode Tafsir Edip Yüksel: Intertekstual dan Rasional
Metode tafsir Yüksel terbangun atas prinsip utama: menafsirkan Al-Qur’an hanya dengan Al-Qur’an, akal rasional, dan teks suci sebelumnya. Ia menolak keras penggunaan hadis dan karya tafsir klasik sebagai referensi utama. Baginya, semua yang perlu diketahui tentang Islam telah termuat secara utuh dalam Al-Qur’an.
Menariknya, Yüksel justru membuka diri terhadap penggunaan Injil. Baginya, kitab-kitab sebelumnya tetap memuat nilai-nilai etis universal yang selaras dengan Al-Qur’an, sepanjang tidak bertentangan secara eksplisit.
Salah satu contoh eksplisit penggunaan Injil dalam tafsirnya dapat ditemukan ketika Yüksel menafsirkan ayat-ayat tentang pengampunan. Contoh ini tertuang dalam buah karyanya yang berjudul Quran A Reformist Translation. Di sana, ia membaca Q.S. Al-Ma’idah:45 “Dan Kami telah tetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat): bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa…” tidak semata sebagai justifikasi terhadap hukum kisas. Namun, ia memahaminya sebagai bagian dari evolusi hukum yang mencapai puncaknya dalam nilai-nilai pengampunan.
Ia membandingkan ayat ini dengan ajaran Yesus dalam Injil Matius 5:38–39. “Kamu telah mendengar firman: mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu…” Bagi Yüksel, pernyataan ini bukanlah pembatalan terhadap keadilan, melainkan penekanan pada etika kasih sebagai puncak ajaran ketuhanan.
***
Dengan pendekatan ini, Yüksel menegaskan bahwa semangat Al-Qur’an yang sering mendapat salah paham sebagai hukum balasan keras justru sejalan dengan prinsip restoratif dan nilai pengampunan dalam Injil. Ia menunjukkan bahwa hukum kisas bukan kewajiban mutlak, tetapi sebuah opsi yang bebarengan dengan keutamaan memberi maaf. Sebagaimana tercermin dalam kelanjutan ayat tersebut: “Tetapi, barangsiapa memaafkan, maka itu menjadi penebus dosa baginya.”
Lebih lanjut, Yüksel membaca teks Injil bukan sebagai otoritas luar yang berdiri setara dengan Al-Qur’an, melainkan sebagai referensi etis yang memperkaya pemaknaan ayat-ayat Qur’ani dalam horizon moral global. Baginya, nilai-nilai spiritual yang Injil tawarkan bisa memperkaya pemahaman terhadap Al-Qur’an dalam konteks modern.
Tafsir dan Hermeneutika Rasional
Dalam pandangan Yüksel, akal merupakan instrumen utama untuk memahami wahyu. Ia banyak mengkritik tafsir klasik yang menurutnya terlalu bergantung pada riwayat dan sering kali mempertahankan nilai-nilai patriarkal atau feodalis.
Ia menegaskan bahwa Allah tidak membutuhkan para perantara (ulama, imam mazhab, hadis) untuk menjelaskan wahyu-Nya. Pandangan ini menyuburkan pendekatan “hermeneutika demokratis” bahwa setiap Muslim berhak menafsirkan teks suci secara mandiri. Syaratnya, penafsiran tersebut harus menggunakan nalar dan niat yang tulus.
Yüksel juga populer dengan pengembangan teori “matematika wahyu” berbasis angka 19, meskipun belakangan ia memoderasi posisinya. Ia lebih fokus pada penafsiran logis dan perbandingan isi wahyu antar kitab.
Kritik dan Catatan Kritis atas Pendekatan Edip Yüksel
Meski menarik, pendekatan Yüksel menuai banyak kritik:
1. Minimnya perangkat linguistik dan ilmu tafsir klasik membuat sebagian tafsirnya dinilai dangkal atau tergesa-gesa.
2. Penolakan total terhadap hadis membuat tafsirnya sulit diterima oleh mayoritas umat Islam.
3. Penggunaan Injil, meskipun terbatas, tetap memancing resistensi karena yang menganggapnya dapat membuka ruang relativisme teologis.
Namun, justru di sinilah ruang dialog terbuka. Apakah kita siap membaca Al-Qur’an dengan pendekatan yang melampaui batas tradisi dan membuka diri terhadap lintas wahyu?
Penutup
Edip Yüksel menghadirkan paradigma tafsir yang menantang: rasional, inklusif, dan berani. Ia mengajak pembacanya untuk tidak sekadar mewarisi teks, tetapi menghayati dan menafsirkan kembali pesan Al-Qur’an dengan kesadaran kontekstual dan etika global.
Meski tidak semua idenya harus diterima mentah-mentah, pemikiran Yüksel memberi cermin bahwa tafsir adalah ruang hidup, bukan ruang beku. Dan di sanalah, dialog tafsir akan selalu relevan.
Daftar Referensi
Muzayyin, Ahmad. “Pemikiran Hermeneutika Edip Yuksel.” UIN Jakarta, 2022.
Sitanggang, Nadya. “Tinjauan Tafsir Edip Yuksel terhadap Q.S. 4:34.” UIN Sunan Kalijaga.
Naufal, Syahrin. “Hermeneutika Intertekstual Edip Yuksel.” Jurnal NUN, 2022.
Editor: Dzaki Kusumaning SM


























Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.