Hampir seluruh perubahan sosial dan revolusi di dunia ini menunjukan bahwa cendekiawan adalah sosok konseptor dan arsitekturnya. Di Indonesia kita mengenal nama Amien Rais dan di Iran kita mengenal nama Ali Shariati. Dengan wawasan dan gagasan yang mereka miliki, mereka mampu mencerahkan umat, menyentak kesadaran mereka serta menggerakkan mereka untuk menentang status-quo dan menuntut perubahan.
Amien Rais dengan gagasan suksesi kepemimpinan nasional-nya mampu membakar emosi umat untuk melengserkan kekuasaan Soeharto yang telah bertahta selama 32 tahun lamanya. Ali Shariati dengan gagasan-gagasan perlawanannya dan kemampuan oratornya mampu membuat mahasiswa-mahasiswa Iran tersadar bahwa mereka sudah harus bergerak ke arah revolusi dan menjatuhkan kekuasaan diktator Reza Pahlevi.
Kendati demikian, kita juga tak sedikit melihat cendekiawan yang justru bersikap kontra-revolusi dan membela kemapanan. Mereka adalah golongan yang diajak oleh kekuasaan untuk menjadi tameng pelindung penguasa.
Pada saat Amien Rais bersama kawan-kawannya menentang kekuasaan otoriter Soerhato, tidak sedikit juga cendekiawan-cendekiawan yang justru tampil mendukung dan membela Soeharto. Begitu pun dengan di Iran. Ketika Ayatullah Khomeini bersama Ali Shariati melancarkan kritik bertubi-tubi terhadap kekuasaan Pahlevi, tidak sedikit pula ulama di sekeliling Pahlevi yang malah memasang sikap yang berlawanan dengan Khomeini dan Ali Shariati.
Pada cendekiawan dan ulama yang demikian, gagasan dan pikiran tidak lagi digunakan untuk menuntut perubahan, melainkan untuk menentang perubahan. Semua itu tak lain karena mereka tak lagi memikirkan nasib banyak orang, melainkan hanya nasib sendiri dan sanak famili. Bagi mereka, konsisten pada kebenaran tak akan berguna jika kemudian nasibnya melarat.
Makanya, menyitir perkataan Edward Said, “There hase been no major revolution in modern history without intellectual. Conversaly there has been no counterrevolutionary movements without intellectual.” Artinya tidak ada revolusi besar dalam sejarah modern tanpa intelektual. Sebaliknya, juga tidak ada gerakan kontra-revolusi tanpa intelektual.
Dua Tipologi Cendekiawan
Atas realitas yang demikian lah Amien Rais kemudian membagi tipologi cendekiawan menjadi dua. Dua tipologi cendekiawan itu ia istilahkan dengan sebutan cendekiawan risk taker (pengambil resiko) dan cendekiawan safety player (suka main aman). Kata Amien, sejarah kita selalu dirias dengan dua tipologi cendekiawan tersebut. Di saat ada cendekiawan yang menentang status-quo, di saat yang lain juga ada yang mempertahankan status-quo dan bahkan siap berlawanan dengan mereka yang menentang status-quo. (Selamatkan Indonesia, hal. 131)
Untuk diperhatikan, bahwa di dalam tulisan ini saya sengaja menggunakan kata cendekiawan. Bukan intelektual, akademisi apalagi ilmuan. Saya menganggap cendekiawan berbeda dengan ketiganya. Cendekiawan, meminjam definisi Ali Shariati, adalah mereka yang menemukan dan merumuskan kebenaran. Kemudian turun ke lapangan untuk menerapkan kebenaran tersebut pada masyarakatnya demi terciptanya transformasi sosial.
Bagi Shariati, intelektual, akademisi dan ilmuan adalah mereka yang hanya menemukan kebenaran. Karenanya ia berbeda dengan cendekiawan. Cendekiawan tidak berhenti pada tataran menemukan kebenaran. Namun lebih jauh, ia berusaha agar kebenarannya tersebut memberikan maslahat dan dampak yang signifikan pada umat. (Shariati: 2001)
Dengan kebenaran yang dirumuskannya ia berharap dapat mengubah masyarakatnya menuju dan menjadi sebaik-baik masyarakat. Dengan kebenarannya ia bercita-cita mewujudkan khairah ummah sebagaimana yang diiinginkan oleh Q.S. Ali Imran ayat 110:
Kamu adalah umat yang terbaik. Diilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Singkatnya, cendekiawan bukanlah sosok menara gading. Cendekiawan bukanlah sosok yang sibuk dan tenggelam pada labotorium pengetahuan. Ia adalah sosok yang dekat dengan masyarakat dan terlibat pada kerja-kerja transformasi sosial.
Jangan Jadi Safety Player!
Postur cendekiawan safety player saya kira dekat dan banyak di sekitar kita. Di saat para cendekiawan sejati mengkritik ketidakadilan dan sistem yang sudah tidak demokratis, mereka bukannya mendukung gerakan tersebut melainkan mengecam dan menyerangnya. Mereka telah larut pada goda-rayu materi dan kekuasaan. Suara-suara kritis mereka bungkam. Bahkan mereka tidak segan-segan memerintahkan instrumen kekuasaan untuk menghantam para pengeritik penguasa.
Hati mereka tidak lagi bergeming. Hati mereka tidak lagi terusik ketika melihat ketidakdilan, ketimpangan sosial dan kezaliman. Mereka tidak lagi menghiraukan petitih Nabi Muhammad yang mengigatkan:
Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Mereka diam dan mendiamkan kezaliman terjadi di depan mata mereka. Mereka tidak lagi mengingat itu. Satu-satunya yang mereka ingat dan dengar hanyalah suara perut mereka.
Pola bermain aman itu bahkan sekarang sudah merambah ke kampus-kampus. Universitas tidak lagi menjadi panggung ditampilkannya pikiran-pikiran kritis. Wajah kampus sudah tidak lagi segarang dulu. Wajahnya kini tertunduk malas akibat ‘kekenyangan’.
Di atas semua hal di atas, hanya satu sebenarnya yang ingin disampaikan Amien Rais: jangan pernah sekali-kali menjadi cendekiawan pengabdi kekuasaan. Jadilah cendekiawan yang merdeka. Cendekiawan yang bebas mengemukakan pikiran dan perasaannya. Senantiasa memegang teguh idealisme dan selalu konsisten memperjuangkan kebenaran.
Leave a Reply