Pagi ini, Bayt Al-Qur’an mengadakan Halaqah Tafsir yang diasuh oleh Ibu Lilik Ummi Kaltsum. Kajian tafsir ini rutin diadakan. Namun, selama pandemi diadakan melalui Zoom Meeting. Tema kajian kali ini adalah dua syarat bertemu Allah-tafsir surat Al-Kahfi ayat 110. Acara ini juga dihadiri oleh puluhan peserta.
Kajian ini dimulai dengan membaca ayat yang akan dikaji bersama. “Membaca ayat sebelum ditelaah harus dijadikan kebiasaan baik”, begitu kira-kira ujar dosen UIN Jakarta ini. Selain itu, hal ini juga dapat menambah keberkahan sebuah kajian keilmuan.
Berikut redaksi ayat 110 dari surat Al-Kahfi dan sekaligus menjadi ayat terakhir dari surat ini:
Artinya: Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
Nabi Dari Jenis Manusia
Pada uraian pertama, dijelaskan bahwa perintah katakanlah ditujukan kepada Nabi Muhammad. Setiap perintah “katakanlah!” pasti ditujukan kepada Rasulullah. Perintah ini serupa jawaban atas mereka yang mempertanyakan berbagai persoalan kepada Nabi.
Di ayat ini, mereka mempertanyakan perihal Nabi yang dari golongan manusia. Pertanyaan semacam ini direkam oleh Al-Qur’an. Seperti, mengapa Nabi bukan dari golongan malaikat saja? Jika Nabi dari jenis manusia, lalu apa bedanya dengan kami? Yang juga makan, minum dan berjalan di pasar?
Nah, ayat ini menjawab. Memang benar Nabi dari golongan manusia, akan tetapi yang membedakannya adalah ia diberi wahyu. Bu Lilik menjelaskan, bahwa wahyu secara bahasa adalah isyarat yang cepat. Namun, dalam istilah, wahyu bermakna pesan Allah yang disampaikan kepada seorang Nabi.
Betapapun Nabi dari jenis manusia akan tetapi ia mendapat kabar dari Allah. Artinya, Nabi adalah manusia istimewa yang menjadi “tangan kanan” Allah di bumi. Mendapatkan wahyu Allah adalah yang membedakan seorang Nabi dengan manusia lainnya.
Ajaran Monoteis
Kemudian, ayat selanjutnya memuat isi dari wahyu; bahwa Allah itu esa. Yang lebih utama ialah isi wahyu tersebut yang mengajarkan monoteis atau Tauhid. Yaitu ajaran yang hanya mengesakan Allah, tidak selain-Nya. Tentu hal ini tidak mudah bagi Nabi, mengingat dahulu masyarakat Arab yang bebal dan keras kepala. Begitu penjelasan pengasuh Padepokan Tahfidzul Qur’an Ayatirrahman ini.
Ia menjelaskan lebih jauh, bahwa semua misi Nabi adalah mengajarkan Tauhid. Dan Nabi Ibrahim adalah Bapak Tauhid yang kemudian dilanjutkan oleh keturunannya hingga Nabi Muhammad. Ajaran Tauhid ini merupakan hal yang paling fundamental dalam ajaran Islam.
Selain itu, yang menarik adalah bahwa ajaran Tauhid menjadi tema di ayat terakhir dari surat Al-Kahfi. Setelah membahas berbagai tema dan kisah, ujungnya adalah monoteisme. Hal ini patut menjadi renungan, bahwa Tauhid harus menjadi pegangan dari awal hingga akhir.
Sebagai renungan, Bu Lilik mempertanyakan lagi soal kualitas Tauhid kita. Agar kita selalu mengokohkan Tauhid dan tidak boleh meremehkan orang lain. Boleh jadi, mereka yang dijalanan, yang tidak tampak religius lebih memiliki Tauhid yang baik ketimbang kualitas kita. Dengan kata lain, Tauhid adalah urusan hati yang tidak bisa dinilai dari sisi lahiriah, sehingga kita perlu menghargai orang lain siapapun mereka.
Dua Syarat Bertemu Allah
Selanjutnya, ayat ini menjelaskan dua syarat bagi mereka yang ingin bertemu dengan Allah. Pertemuan dengan Allah adalah keinginan setiap Mukmin. Hal ini serupa dengan kerinduan para pejalan terhadap rumah asalnya. Bagi seorang Mukmin bertemu dengan Allah adalah kerinduan kepada rumah asal dan rumah keabadian.
Dua syarat itu adalah beramal solih dan tidak mempersekutukan Allah. Dijelaskan bahwa, amal solih adalah perbuatan baik yang disertai keimanan. Sebagaimana dalam Al-Qur’an, amal solih selalu disandingkan dengan keimanan. Artinya, iman dan amal sholih adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Kemudian, syarat yang terakhir adalah tidak musyrik. Setelah beriman dan beramal solih, seorang Mukmin tidak boleh menjadikan selain Allah sebagai “Tuhan”. Yaitu menjadikan selain-Nya sebagai segalanya. sebagai contoh menjadikan uang sebagai segalanya, seolah tanpa uang kita tidak bisa hidup di dunia. Hal ini yang diingatkan oleh Bu lilik, agar menjadi renungan bersama.
Karena boleh jadi kita semua masih “menuhankan” selain-Nya. Seperti, menuhankan uang, jabatan, kekuasaan dan sebagainya. Semua ini termasuk dari bentuk kemusyrikan. Dan kita semua perlu mewaspadainya dan menjaga Tauhid kita agat tidak rusak dengan kecintaan berlebihan terhadap selain-Nya.
Akhirnya, kajian ini ditutup dengan tanya jawab oleh peserta. Pelajaran penting dari halaqah tafsir saat ini adalah perihal misi kenabian yaitu Tauhid. Serta keseimbangan antara iman dan amal sholih agar menjadi modal untuk bersua dengan Allah. Semoga kita semuda dapat mengambil banyak hikmah dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Reporter: Ahmed Zaranggi Ar Ridho
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.