Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Dinamika Studi Tafsir Nusantara Era Digital

dinamika
Sumber: https://www.cnnindonesia.com/

Berbicara tentang sebuah studi maka akan mengarah pada suatu aktivitas akademis yang logis, terstruktur, sesuai dengan metode dan teori yang ada. Sedangkan tafsir di Indonesia bisa dideskripsikan dinamika kajian yang mendalam terhadap produk tafsir dari awal hingga era saat ini. Baik berupa buku terjemahan dari Al-Qur’an, beberapa surat atau bahkan 30 juz yang berada di Indonesia asli. Namun, meskipun mufasir tersebut berdiam di negara-negara luar namun ia berkewarganegaraan Indonesia hal itu dikategorikan sebagai mufasir Indonesia. Dan tak berlaku sebaliknya yakni orang yang berkewarnegaraan non-Indonesia, namun ia tinggal di Indonesia dalam jangka waktu yang lama tak bisa dikategorikan mufasir Indonesia.

Kajian Tafsir Nusantara

Melalui catatan sejarah yang cukup panjang, kajian tafsir Nusantara terus mengalami dinamika dan transformasi dari masa ke masa. Perkembangannya mengikuti zaman dan kebutuhan khalayak, tak sedikit saya juga melakukan pencarian baik secara online maupun offline. Terdapat banyak literatur tafsir Nusantara berbasis digital disesuaikan dengan bahasa millenial yang terkesan lebih modern dan gaul. Kontekstualisasi Al-Qur’an melalui penafsiran yang tengah dilakukan oleh para cendekiawan muslim mendapatkan sambutan yang cukup hangat. Pasalnya, Al-Qur’an sejatinya ialah kalam yang tak pernah lekang oleh waktu dan tempat.

Dalam kajian tafsir di Indonesia mempunyai banyak pendekatan dalam menganalisa produk-produknya. Salah satu di antaranya adalah pendekatan Sejarah (History Approach). Pendekatan ini tak asing di telinga para pengkaji dan penggiat Studi Al-Qur’an di Indonesia. Di setiap pendekatan layaknya mempunyai ciri-ciri yang harus dibangun. Sehingga tidak ada kebingungan dalam mengkategorikan pendekatan apa yang harus dilakukan oleh seorang peneliti.

Pendekatan Sejarah

Adapun ciri-ciri dari pendekatan sejarah (History Approach) terdiri dari 3 diantaranya :

  1. Menjelaskan tentang the origin (الجزور التاريخية)
  2. Memaparkan penggalan-penggalan waktu (التطور الوقت)
  3. Menguraikan faktor penyebab (Triggering factor)

Ketiga ciri yang disebutkan di atas pada intinya akan dibahas dalam periodesasi dari satu era ke era lainnya. Pada abad-16 era formatif pada surat al-kahfi lalu disusul dengan Abdurauf As-Sinkili dengan tafsirnya yang sangat populer Tarjuman al-mustafid menafsirkan 30 juz aksara Jawa. Tapi menggunakan bahasa melayu sedangkan pada abad ke-18, tidak ada produk-produk tafsir yang dihasilkan diduga karena Indonesia lagi gencar-gencarnya kolonialisme.

Baca Juga  Membumikan Nilai Demokrasi Religius dan Khoiru Ummah dalam “Menjaga Indonesia”

Sebut saja dalam suatu kajian harus menggunakan teori tertentu salah satunya adalah epistemologi yang memvalidasi suatu kajian dan sumber ilmu yang ada. Seperti yang dibahas oleh Islah Gusmian yang menggunakan corak basis sosial. Seperti basis pesantren tafsir al-iklil, al-ibriz adapula basis keraton ada Tarjuman al-mustafid dan akademisi ada Mahmud Yunus dan Quraish Shihab. Usaha yang dikonstruk oleh Islah Gusmian setidaknya dapat mempetakan peta sosial basis para penafsir lintas masa.

Tafsir Di Media Sosial

Namun arahan dan tujuan kajian tafsir di Indonesia dewasa ini lebih ke corak tafsir ashsyafawi (lisan) karena di masa pandemi ini sangat banyak channel youtube, zoom, google meet. Karena banyak terlaksana webinar sehingga munculnya tanggapan-tanggapan dari para pakar tafsir bagaimana pola yang ada. Tapi tafsir di Indonesia terbagi antara formal dan tafsir non formal, untuk formal adalah buku tafsir ada niat untuk mengkaji dan menafsirkan Al-Qur’an. Sedangkan non formal adalah tidak untuk kepentingan akademisi. Tapi menggunakan ayat-ayat yang didasarkan dengan argumen-argumen dari berbagai sumber yang ada.

Teori-teori kelisanan yang mendukung kajian Al-Qur’an juga banyak bermunculan pada kalangan akademisi. Sebut saja teori kelisanan Walther J. Ong dan juga Garry R. Bunt tentang cyber media. Dinamika kajian-kajian tersebut memberikan warna tersendiri sehingga menjadikan kajian tafsir tidak hanya terpaku pada kitab yang dicetak secara hardfile. Tapi justru berkembang pada penafsiran yang bertebaran di media sosial. Siapapun bisa mengaksesnya dengan mudah bahkan bisa dilakukan sembari makan, rebahan dan aktivitas lainnya.

Penyebaran kajian tafsir di era digital memang memberikan dinamika yang begitu positif, tetapi ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan guna memberikan isykal terhadap penyebaran tafsir digital. Pertama, Tidak semua orang memiliki otoritas dalam menafsirkan Al-Qur’an. Karena menurut yang hemat saya ada tahrif dan tafsir. Bedanya adalah pada kajian yang tak menggunakan kaidah tafsir. Sedangkan tafsir itu menggunakan kaidah-kaidah tafsir seperti yang ditulis oleh M.Sabt dab dan Quraish Syihab. Kedua, kevalid-an penyebaran informasi dalam penafsiran kurang berbobot dan kerap kali mengandung unsur-unsur yang memecah bela pandangan Muslim di tanah air. Ketiga, filter masyarakat terhadap miss informasi membuat suasana gaduh.

Baca Juga  Kritik Semantik Toshihiko Izutsu dalam Kajian Al-Qur'an

Penyunting: Ahmed Zaranggi

M. Riyan Hidayat
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Bisa dihubungi melalui: Twitter: @ayasriyan, Instagram: @ayasriyan