Dewasa ini, keadaan manusia terkadang tampak terbalik dimana segala penghinaan, celaan dan fitnah dianggap biasa bahkan dibenarkan dan mendapat dukungan demi tercapainya suatu tujuan tertentu. Namun kebaikan dan kebenaran justru seringkali ditutupi dan dikesampingkan. Pembelaan diri terkadang malah dijatuhkan sampai dijerat pidana. Sedangkan celaan baik di dunia nyata terlebih di dunia maya dan dunia media justru dianggap biasa saja. Lantas bagaimana al-Qur’an dan Hadis memberi jawaban dan petunjuk atas fenomena ini?
Celaan dalam Al-Qur’an
Meskipun pada dasarnya, pembelaan diri atas celaan hukumnya adalah mubah, bahkan termasuk perkara yang disyariatkan. Sebagaimana Allah telah berfirman dalam Surah al-Shura [42]: 39-42.
وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُوْنَ وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۚفَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ مَا عَلَيْهِمْ مِّنْ سَبِيْلٍۗ اِنَّمَا السَّبِيْلُ عَلَى الَّذِيْنَ يَظْلِمُوْنَ النَّاسَ وَيَبْغُوْنَ فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّۗ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
“39. (juga lebih baik dan lebih kekal bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim, mereka membela diri. 40. Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal. Akan tetapi, siapa yang memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim. 41. Akan tetapi, sungguh siapa yang membela diri setelah teraniaya, tidak ada satu alasan pun (untuk menyalahkan) mereka. 42. Sesungguhnya alasan (untuk menyalahkan) itu hanya ada pada orang-orang yang menganiaya manusia dan melampaui batas di bumi tanpa hak (alasan yang benar). Mereka itu mendapat siksa yang sangat pedih.”
Sebagaimana penjelasan dalam tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, secara garis besar ayat tersebut menyebutkan beberapa poin yakni; pertama, tentang pembelaan diri terhadap kezaliman (baik bersifat mental atau fisik) dengan tujuan mencapai keadilan. Kedua, sikap mendiamkan dan memaafkan sebagai usaha rekonsiliasi dan pemutus rantai kezaliman. Ketiga, balasan dan azab Allah kepada orang yang zalim sebagai bentuk kebencian Allah terhadap mereka. Keempat, pembelaan atas kezaliman bukanlah kesalahan selama berada pada batas wajar. Kelima, Kesabaran dengan memaafkan dan tidak membalas kezaliman merupakan yang paling utama. (Tafsir al-Misbah Jilid 12 Hal. 515, https://www.noor-book.com/).
Bahkan al-Sa’di juga menambahkan bahwa yang termasuk dalam kezaliman pada ayat tersebut meliputi pelaku awal kezaliman (dalam konteks ini adalah orang yang mencela) dan orang yang berlebihan membalas kezaliman (celaan) (Taisir al-Karim al-Rahman fi Qur’an al-Karim hal.760)
***
Sehingga sikap menahan diri dan memegang teguh prinsip kesabaran dengan hanya berharap pada Allah meskipun sebenarnya seseorang mampu membela diri, hal tersebut merupakan azimat (keteguhan) yakni berada pada tingkatan maqam yang tinggi dan merupakan bukti keluhuran akhlak yang mampu mengangkat seseorang pada derajat kesempurnaan. Sebagaimana sikap para sahabat Nabi dahulu yang hidup ditengah kezaliman kaum kafir.
Terkisah dari Said b. Musayyab bahwa saat Rasulullah sedang duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba seseorang datang lantas mencela Abu Bakr ra. Namun Abu Bakr mendiamkannya. Kemudian orang itu mencela kembali dan Abu Bakr tetap pada sikapnya, mendiamkannya. Lantas orang tersebut kembali mencela untuk yang ketiga kalinya. Sampai kemudian Abu Bakr berusaha membela diri.
Namun pada saat yang bersamaan, Rasulullah kemudian bangkit dan meninggalkannya. Maka dengan sesegera mungkin Abu Bakr menyusul dan menanyakan apakah terdapat kesalahan atas apa yang telah dirinya perbuat. Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya malaikat telah datang dan mengingkari tuduhan orang tersebut atasmu. Namun saat kau berusaha membela diri, ternyata salah satu setan datang dan menimbrung. Maka aku tidak berkenan duduk dalam majelis bersama kalian.” (HR. Abu Daud, 4896)
***
Setelah sekian jeda, lantas Rasulullah melajutkan sabdanya, “Wahai Abu Bakr, tiga perkara yang keseluruhannya adalah kepastian yakni; Setiap hamba yang dizalimi, lantas mendiamkannya karena Allah. Allah pasti akan memuliakannya dengan pertolongan-Nya. Dan setiap hamba yang membuka pintu pemberian hanya dengan harapan menyambung kekerabatan, pasti Allah akan menambahnya dengan berlipat ganda. Lalu, setiap hamba yang membuka pintu pemberian namun berharap agar hartanya semakin banyak, maka Allah pasti akan semakin menambah kekurangannya.” (HR. Ahmad, XIX/ 82, Al-Fathur Rabbani https://app.turath.io/book/124910).
Uqbah b. Amir juga menyuguhkan sebuah kisah serupa, bahwa saat ia bertemu dengan Rasulullah lantas menggenggam tangan beliau dan meminta penjelasan tentang amal-amal yang utama, beliau bersabda, “Wahai Uqbah, sambunglah orang yang memutuskan hubungan denganmu. Berilah orang yang menahan pemberiannya untukmu. Dan maafkanlah orang yang menzalimimu.” (HR. Ahmad, XIX/ 82). Ternyata posisi seperti inilah yang diharapkan oleh Rasulullah agar dapat ditempati oleh Sahabat Abu Bakr al-Siddiq ra. Menilik bahwa beliaulah sosok kedua setelah Rasulullah yang keimanannya menjadi kadar teladan seluruh umat manusia.
Celaan Akan Berbalik Sendiri Ke yang Mencela
Hakikatnya, sebuah pembelaan diri orang yang beriman tidak pantas dengan membalas sebuah kezaliman dengan kezaliman serupa. Tidak juga layak jika membalas cacian dengan celaan sepadan. Sampai Jabir b. Sulam pernah meminta Rasulullah untuk mengikat sebuah janji. Apakah janji yang Rasulullah sampaikan? “La Tasubbanna Ahadan” (Janganlah sekalipun kamu mencela seseorang).
Maka sejak saat itu pula, Jabir b. Sulam tidak pernah mencela baik terhadap manusia merdeka, seorang budak, bahkan meskipun hanya kepada unta dan seekor kambing. Kemudian Rasulullah juga pernah bersabda,”Jika seseorang mencelamu sebab kekurangan yang tampak atasmu. Maka janganlah balas mencela karena kekurangan yang kamu lihat darinya. Sebab sesungguhnya bencana celaan itu hanya akan menimpa dirinya.” (HR. Ahmad, XVII/ 333. Al-Fathur Rabbani).
Selaras dengan cara kerja pada hukum Newton 3 tentang kekekalan momentum. Bahwa bola karet yang dilempar ke dinding atau lantai, ia akan berbalik ke arah berlawanan dengan energi kinetik yang hampir sama dengan lemparan, bahkan dengan kecepatan yang lebih tinggi. Itu akan berlangsung terus menerus dan saling. Begitupun dengan celaan, saat seseorang menimpalinya maka kemungkinan akan terus menerus berlangsung dan berakibat pada kedua pihak.
Namun jika salah satu mendiamkan dan memasrahkannya hanya karena Allah, maka tidak akan ada kesinambungan akibat dari saling mencela yang akan merugikan kedua pihak dan dalam lingkup yang lebih luas juga akan merantak kepada buruknya interaksi yang terbentuk dan timbulnya permusuhan sehingga dapat berakibat pada perpecahan. Oleh karena itu, ada baiknya juga agar ayat dan riwayat yang telah di paparkan dapat dibaca, direnungkan, dan dipedomani. Semoga senantiasa. Wallahu a’lam.
Editor: An-Najmi
Leave a Reply