Secara garis besar diam itu bisa dimaknai positif juga bisa dimaknai negatif. Ketika itu bermanfaat apabila dia sudah tahu hakikatnya diam dan apabila belum tahu, maka meraka tidak tahu manfaatnya dan akan menjadi sifat negatif. Kemudian dalam al-Qur’an kata diam itu cuma ada satu dalam al-Qur’an yakni sakata, tetapi dalam pemaknaan bahasa Arab makna diam itu ada beberapa, seperti halnya lafaz bukmun, samata yang ada dalam al-Qur’an. Di sini penulis akan mengkaji lafaz sakata dan samata. Karena dalam maknanya sama, tetapi dalam konteksnya berbeda.
Dalam konteks al-Qur’an QS. Al-A’raf ayat 154, lafadz sakata berkaitan dengan kemarahan seseorang yang itu kemudian berdiam diri. Seolah-olah kemarahan itu menekannya untuk tidak mengeluarkan amarahnya. Sedangkan untuk lafaz samata yang berada dalam QS. Al-A’raf ayat 193, berkaitan dengan berbicara sama orang-orang musrik yang itu mereka dinasehati dan berdiam diri itu sama saja dtidak ada respon apapun. Dengan demikian makna keduanya itu sama tetapi dalam konteksnya itu berbeda jauh. Satunya menjelaskan tentang menahan amarah, dan yang satu lagi menjelaskan tentang berdiam diri.
Untuk keperluan ini, penulis menggunakan tafsir as-Sya’rawi. Karena tafsir ini dalam keunikannya terdapat di munasabah yang menjelaskan hubungan surat yang ayat-ayatnya akan ditafsirkan dengan ayat sebelumnya. Keunikannya selanjutnya terdapat di karakteristiknya, yang itu bila kita amati ia menjelaskan makna suatu kata pada ayat yang ditafsirkan. Yakni dengan mengeksplorasi ayat-ayat lain yang menggunakan kata tersebut. Terkadang ia mengemukakan contoh-contoh rasional yang itu untuk lebih memudahkan dalam menangkapkan atau memahami penafsirannya.
Pengertian Diam
Secara yang kita pahami, diam memilki arti yang beragam. Namun pengertian diam dapat dikatakann sebagai kondisi seorang yang tidak mengeluarkan suara atau tidak memberi tanggapan apapun. Bisa jadi orang itu tidak mengetahui atau dia ingin tidak ikut campur urusan orang lain. Kita tidak asing mendengar istilah “diam itu emas” Kata tersebut memiliki makna yang sangat dalam. Kondisi diam artinya membiarkan diri untuk berfikir secara lentur, sehingga lebih fleksibel dalam melihat berbagai pilihan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diam adalah suatu tindakan yang tidak bersuara. Maksudnya adalah suatu tindakan yang tidak berani mengeritik seseorang. Ada pula maknanya yakni tidak bergerak, yang itu ketika seseorang itu mencuri dan hendak ditangkap, mereka tidak lari atau melawan. Kemudian makna diam terakhir yakni tidak berbuat apa-apa, yang itu seseorang tidak melakukan apa-apa atau tidak melakukan baleasan ketika di hina.
Antara diam dan banyak bicara, tidak bisa dibilang salah satu lebih penting. Yang lebih susah terkadang ialah bukan harus diam, melainkan dapat mengetahui kapan harus diam dan kapan perlu berbicara. Terlalu banyak bicara (asal berkoar, tanpa dasar yang benar) sama negatifnya dengan selalu menutup mulut (padahal perlu untuk menyuarakan sesuatu yang benar).
Menelaah Lafaz Sakata dan Samata
Dalam tafsir as-Sya’rawi al-Qur’an QS. Al-A’raf ayat 154, lafaz sakata dijelaskan yang itu berkaitan dengan kemarahan seseorang yang itu kemudian berdiam diri. Seolah-olah kemarahan itu menekannya untuk tidak mengeluarkan amarahnya. Sedangkan untuk lafaz samata dalam tafsir as Sya’rawi yang berada dalam QS. Al-A’raf ayat 193, berkaitan dengan berbicara dengan orang-orang musrik yang itu mereka dinasehati dan berdiam diri itu sama saja tidak ada respon apapun. Dengan demikian makna keduanya itu sama tetapi dalam konteksnya itu berbeda jauh. Satunya menjelaskan tentang menahan amarah, dan yang satu lagi menjelaskan tentang berdiam diri
Dalam uraian di atas bisa kita jelaskan, bahwasanya pada lafaz sakata itu diamnya seseorang itu diartikan sabar. Karena seseorang yang menahan amarah itu sangat susah sekali dilakukan. Apalagi kalau ada kejadian yang itu lawan bicaranya selalu mencari masalah. Ketika kita sabar dan berdiam diri, maka akan lebih baik dari segala hal yang kita akan utarakan. Sedangkan ada juga diamnya seseorang itu karena tidak peduli apapun akan hal yang dibicarakan orang tersebut. Semisal dibenci.
Kesimpulan
Bisa disimpulkan, bahwasanya lafaz diam yang terkandung dalam al-Qur’an itu memiliki makna yang tertuju itu sama tetapi dalam menguraikannya atau melakukannya itu berbeda. Dikarenakan tidak semua seseorang diam itu karena hal satu saja. Tetapi banyak hal-hal yang lain. Dalam tafsirnya as Sya’rawi da beberapa hal yang digunakan beliau dalam menggunakan penafsirannya, yakni: etimologi kata, konstruksi bahasa al-Qur’an, kalimat identik pada lafaz al-Qur’an, dan yang terakhir rekonstruksi ayat dengan ayat.
Dalam kata diam yang terdapat dalam al-Qur’an itu lafaz yang bersangkutan ada 2 yang penulis tahu. Yakni lafaz sakata dan samata yang itu terdapat pada surat yang sama tetapi berbeda tempat ayatnya. Yang lafadz sakata terdapat dalam ayat 154, sedangkan yang samata itu di ayat 193. Dan untuk tafsirnya yakni memakai tafsir as-Sya’rawi.
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply