Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Dawkins dan IMM yang Gagal Dewasa

Dewasa
Sumber: ibtimes.id

Tulisan ini berangkat dari tesis Richard Dawkins seorang ahli biologi evolusi asal Inggris. Dalam buku terakhirnya berjudul Outgrowing God, Dawkins mengemukakan bahwasannya agama adalah sisa-sisa dari masa kanak-kanak manusia sebelum peradaban mereka maju. Istilah “outgrowing” artinya adalah tumbuh dewasa melampaui tahap ketidak-dewasaan.

Argumentasi tersebut merupakan kritik Dawkins terhadap orang beragama. Maka tak heran bila pemikirannya banyak diadopsi oleh para new ateist. Bagi mereka, orang yang beragama adalah orang-orang yang masih berada dalam fase anak-anak dan gagal untuk beranjak dewasa.

 Tentu penulis tidak sepenuhnya setuju dengan tesis ini. Hanya saja ada sedikit modifikasi yang membuat teori ini menjadi menarik untuk kemudian diambil sebagai bahan studi kasus di IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Bagi penulis, sebenarnya yang menjadikan orang gagal dewasa, bukan pada persoalan beragama atau tidaknya seseorang, namun pada cara ia beragama.

Dewasa dalam Beragama

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pada awalnya kita menerima ajaran agama pada doktrin semata. Namun seiring dengan berkembangnya akal dan pengetahuan seseorang mestinya cara beragamanya pun sudah di-upgrade ke tingkat yang lebih tinggi. Agama itu tidak sekaku yang dibayangkan oleh Dawkins, di mana doktrin-doktrin dari para pemuka agama menjadi semacam kalam suci mewakili Tuhan.

Pemuka agama hanyalah sarana untuk memahami agama, namun otoritas tertinggi tidak berada di tangan mereka. Sebagai contoh, Ketua Pimpinan Pusat Majelis Pendidikan Kader Muhammadiyah, Ustaz Hatib Rahmawan sering mengilustrasikan praktik keberagamaan yang kerap kali ditemukan di lapangan bahwa wanita merasa canggung bahkan terkesan enggan melaksanakan shalat ketika tidak mengenakan mukena.

Padahal tidak ada dalil yang mewajibkan wanita untuk mengenakan mukena saat melaksanakan shalat. Mestinya tuntutan syariat dalam hal berpakaian oleh seorang wanita yang telah menutup aurat bisa dikenakan juga saat ia melaksanakan shalat. Inilah model beragama yang menurut penulis mencirikan tingkat kedewasaan seseorang, jadi sekali-lagi bukan pada persoalan agamanya.

Baca Juga  Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 8-9: Sifat Orang Munafik

Demikian halnya ketika kita berbicara problematika di IMM. Kita sama-sama menyadari bahwa IMM sebagai organisasi yang bergerak di ranah mahasiswa dan kemasyarakatan mengemban misi agung nan mulia, yakni mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia serta mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Problematika IMM

Dalam pergerakannya, IMM dituntun dengan landasan 6 penegasan IMM yang kemudian diturunkan dalam trilogi. Mirip dengan kasus sebelumnya, yang menjadi bahan kritik adalah bukan pada IMM-nya tapi pada persoalan cara ber-IMM seseorang. Jika seseorang ber-IMM hanya sebatas mengandalkan doktrin ideologis dengan tafsir klasik yang cenderung normatif, bagi penulis ini menandakan kegagalan untuk beranjak dewasa (outgrowing).

Pada fase awal seorang kader akan mengikuti serangkaian kegiatan perkaderan di IMM berdasarkan doktrin dari para pimpinan. Sayangnya doktrin secara masif dengan dosis yang berlebihan ini akan memberikan pengaruh negatif terhadap keberlangsungan organisasi jika tidak diimbangi dengan kemandirian dalam berpikir.

Pendidikan ideologi mestinya dibarengi juga dengan pendidikan hadap masalah (meminjam istilah Paulo Freire). Karena jika melihat situasi lapangan IMM jarang mengambil posisi sebagai striker. Kita masih berkutat pada hal-hal dapur dan kurang peka dengan isu-isu skala regional dan Nasional. Misalnya di Yogyakarta, ada masyarakat Taman sari, Wadas, Jomboran dan beberapa daerah lainnya yang terlibat konflik dengan penguasa sebab daerah tempat tinggalnya yang diusik. Atau yang terbaru di Jakarta Selatan misalnya, masyarakat Pancoran yang direpresi oleh ormas dan preman luput dari pembahasan di internal IMM.

Keluar dari Zona Nyaman

Sebenarnya ada beberapa kader yang sudah mencoba keluar dari zona tersebut (out of the box). Namun tetap saja logika berpikir normatif mendominasi tubuh IMM. Ironisnya, kader tersebut dianggap menyalahi nilai luhur ikatan, dituduh radikal dan tidak beradab. Kita tidak berani objektif untuk mengkritik hal-hal fundamental, Karena terjebak dengan bahasa “keluarga”, “anak kandung Muhammadiyah”, “menjaga solidaritas” dan lain sebagainya.

Baca Juga  Surat Hud Ayat 7: Fenomena Proses Penciptaan Alam Semesta

Padahal bahasa kritik akan bermuara pada keutuhan organisasi. Yang menjadi bahan evaluasi juga adalah ketika bahasa “kekeluargaan”, “solidaritas”, “anak kandung Muhammadiyah”, hanya dipakai untuk tujuan politis demi meredam konflik. Senada dengan hal tersebut, teori mitos politik Prof. Kuntowijoyo dalam buku Identitas Politik Umat Islam mengatakan bahwa Pancasila hanya hadir untuk membungkam gerakan Aceh Merdeka, Papua merdeka dll.

Namun di saat mereka kesusahan dan meminta pertolongan, Pancasila tiba-tiba menghilang entah kemana. Sama halnya di IMM ketika para pimpinan mengeluarkan suatu kebijakan, jarang mendengarkan aspirasi dari kader. Namun di saat-saat musim menjelang pemilihan ketua umum dan formatur misalnya, bahasa “persatuan” dan “solidaritas” dikumandangkan.

Contoh lain ketika kader mengkritisi kebijakan SPP di perguruan tinggi Muhammadiyah, bahasa “anak kandung Muhammadiyah” digaungkan untuk meninabobokan massa. Padahal berbicara masalah SPP, kader IMM sebagai anak kandung tidak ada bedanya dengan mahasiswa yang lain.

Oleh sebab itu, di akhir tulisan ini penulis ingin mengatakan bahwa IMM di usianya yang sudah menginjak angka 57 mestinya diiringi dengan gerakan-gerakan pembaharuan oleh para kader yang juga bergerak tumbuh dewasa (outgrowing) melampaui batas-batas pemikiran klasik sebagaimana tercermin dalam tema milad kali ini: membumikan gagasan membangun peradaban. Bukan sebatas bertarung wacana, namun gagasan dan gerakan praksislah yang dikedepankan.

Penyunting: M. Bukhari Muslim