Orang-orang yang tak mengenal Dawam Rahardjo secara dekat tentu akan kaget jika dikatakan bahwa Dawam memiliki sebuah kitab tafsir. Sebab umumnya orang mengenal Dawam sebagai seorang ekonom yang juga sarjana sosial.
Dawam, bagi saya, adalah salah satu di antara cendekiawan muslim berlatar jurusan umum yang berani menafsirkan al-Quran dan membuat sebuah kitab tafsir. Selain di sana juga terdapat nama Jalaluddin Rakhmat yang berlatar belakang ahli komunikasi yang juga berani menyusun kitab tafsir. Salah satu karya Jalaluddin Rakhmat di bidang tafsir adalah: Tafsir Sufi Al-Fatihah.
Jamak orang memahami bahwa yang bisa dan berhak menafsirkan al-Quran dan membuat kitab tafsir adalah mereka yang memiliki latar belakang pendidikan agama yang kuat. Baik itu dari jurusan tafsir, syariah dan jurusan agama lainnya.
Dalam tradisi Islam, hanya mereka yang dianggap dapat menafsirkan al-Quran. Sebab hanya pada mereka terdapat sejumlah ilmu-ilmu alat yang menjadi prasyarat utama seseorang dalam menafsirkan al-Quran. Seperti ilmu nahwu, shorof, balaghah, ushul fikih dan sebagainya. Namun syarat-syarat itu ternyata tidak berpengaruh bagi Dawam.
Lantas, apa yang sebenarnya membuat Dawam Rahardjo berani menyusun kitab tafsir? Apakah ia telah menguasai ilmu-ilmu alat yang disebutkan di atas? Modal apa saja yang telah dimiliki Dawam untuk menafsirkan al-Quran? Apa yang menjadi titik landas Dawam sehingga mempunyai tekad yang kuat untuk menafsirkan al-Quran? Hal itulah yang akan coba kita bahas pada penjelasan di bawah.
Biografi Dawam Rahardjo
Dawam lahir di Solo pada 20 April 1942. Cendekiawan muslim ini merupakan anak sulung dari pasangan Muhammad Zuhdi Rahardjo dan Muthmainnah. Ayahnya adalah seorang ahli tafsir (setidaknya menurut klaim Dawam) yang juga alumni madrasah Manba’ul ‘Ulum dan pondok pesantren Jamansare, Solo.
Dawam memulai pendidikannya di Madrasah Bustanul Athfal Muhammadiyah (setara TK) dan kemudian melanjutkan pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Solo. Selepas lulus dari madrasah ini, Dawam meneruskan pendidikannya di SMP 51 Solo dan lulus pada tahun 1957. Seterusnya ia melanjutkan pendidikannya di SMA Manahan dan lulus tahun 1961.
Gelar sarjananya ia peroleh dari Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Madha, Yogyakarta pada tahun 1969. Dawam Rahardjo merupakan Guru Besar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang. Semasa hidupnya, ia pernah menjadi Direktur LP3S (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekomoni Sosial) dan juga pernah menjabat sebagai Rektor Universitas 45 Bekasi. Serta pada tahun 2000 meraih gelar penghargaan Doktor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi Islam dari UIN Jakarta. (Wardani: 2017)
Keberanian Dawam Menafsirkan Al-Quran
Dari paparan biografi tersebut, kita dapat mengetahui bahwa Dawam Rahardjo adalah seorang sarjana ekonomi dan juga sarjana sosial murni. Ia disebut sebagai sarjana sosial berkat penguasaannya yang mantap terhadap teori-teori sosial. Hal itu dapat lihat melalui analisis-analisisnya yang terhambur dalam berbagai karyanya. Dawam tidak pernah mengenyam pendidikan agama kecuali saat menjadi siswa di Madrasah Ibtidaiyah.
Lantas, apa yang membuat Dawam begitu berani menafsirkan al-Quran? Apalagi jika mengingat orang-orang tentu akan mempertanyakan kualitas dan otoritas Dawam untuk berbicara masalah tafsir? Posisi yang demikian, yakni bukan seorang kiai atau seorang sarjana agama, tentu akan membuat Dawam semakin terpojokkan ketika diketahui membuat kitab tafsir.
Hal itu bisa lihat ketika ia menghasilkan sebuah kitab tafsir dengan judul “Ensiklopedi Al-Quran: Tafsir Sosial Berdasar Konsep-Konsep Kunci”. Ada banyak orang yang mencibirnya. Apakah Dawam tidak menghitung itu semua? Atau Dawam punya pertimbangan lain? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat kita jumpai dalam bukunya yang disebut sebelumnya.
Landasan Membuat Kitab Tafsir
Ia mendaku bahwa dirinya memiliki beberapa modal untuk bisa berinteraksi dengan al-Quran. Ia misalnya pernah belajar tentang gramatika Arab seperti nahwu dan shorof ketika di Madrasah Ibtidaiyah. Selain itu ia juga mengatakan bahwa semasa kecil, ia lumayan intens belajar bahasa Arab dari buku-buku yang ia beli. (Ensiklopedi Al-Quran, hal. xx)
Meskipun demikian, ia tetap mengatakan bahwa dengan menyebutkan modal-modal yang ia miliki itu, Dawam tidak bermaksud mengatakan bahwa dirinya sudah memenuhi syarat untuk bisa menafsirkan al-Quran. Hal ini, bagi saya, adalah pengakuan yang jujur dari seorang Dawam. Karena betapa pun ia pernah mempelajarinya, saat itu ia masih kecil. Tidak ada yang menjamin bahwa hal itu akan terus ia ingat sampai besar. Terlebih lagi, ketika SMP dan SMA Dawam tidak pernah lagi bersentuhan dengan pelajaran-pelajaran agama. Sebab ia sekolah di sekolah umum.
Selain itu, ada beberapa yang menjadi alasan dan pijakan Dawam sehingga berani menyusun kitab tafsir. Ia beranggapan bahwa al-Quran adalah kitab yang terbuka bagi seluruh umat Islam. Al-Quran, bagi Dawam, tidak hanya menjadi monopoli kaum ulama. Setiap umat Islam berhak dan punya hak yang sama dalam hal akses berinteraksi dan memahami al-Quran. Karena, sebagaimana jelas Dawam, di antara salah keistimewaan al-Quran ialah ayat-ayatnya bisa dipahami oleh manusia dari berbagai tingkat berpikir. (Hal. xix)
Beberapa Komentar
Ada satu pernyataan Dawam yang sedikit terdengar janggal saat menjelaskan perihal syarat-syarat untuk seseorang menafsirkan al-Quran. Ia mengatakan bahwa yang utama bagi seseorang yang hendak menafsirkan al-Quran adalah memiliki hati yang bersih. Menurut Dawam, paham bahasa Arab saja tidak cukup. Karena orang yang menguasai bahasa Arab dapat saja tergelincir dalam memahami al-Quran jika ia tak memiliki hati dan niat yang bersih.
Hal itu sontak mendapat kritik dari Islah Gusmian, dosen tafsir asal IAIN Surakarta. Islah mengganggap bahwa pendapat Dawam itu adalah sesuatu yang aneh dalam konteks kajian ilmiah. Karena hati secara epistimologi adalah wilayah yang tak dapat diukur dan tidak memiliki standar yang jelas. Adapun jika Dawam mengklaim bahwa hati adalah bahan yang paling dasar untuk menemukan kebenaran, maka Islah mengatakan, standar epistimologi apa yang hendak diterapkan Dawam dalam mengukur bahwa sebuah kebenaran itu benar-benar berasal dari hati?. (Islah: 2013)
Begitulah nasib karya tafsir Dawam, mendapat kritik dari beberapa pakar. Salah satunya juga adalah dari M. Quraish Shihab. Quraish keberatan dengan Dawam yang menyebut karyanya sebagai sebuah kitab tafsir. Pakar tafsir Indonesia tersebut menyebut bahwa karya Dawam yang berjudul “Ensiklopedi Al-Quran” bukanlah kitab tafsir. Melainkan hanya sebuah pemahaman seorang sarjana sosial terhadap al-Quran. Karena, bagi Quraish, penafsiran itu berbeda dengan pemahaman. (Hal. xx).
Terlepas dari semua kritik terhadap karya tafsir Dawam. Saya menganggap bahwa buku “Ensklopedi Al-Quran” adalah sebuah karya yang unik. Ia memberikan warna baru terhadap gaya penafsiran al-Quran di Indonesia. Karya Dawam tersebut, meminjam bahasa Nasaruddin Umar, adalah karya yang kental akan nuansa keindonesiaan.
Dengan tafsirnya Dawam telah mempersempit jarak antara realitas dan penafsiran al-Quran. Hal yang sejak lama menjadi kegelisahannya. Dawam telah melakukan terobosan yang luar biasa. Karenanya penting bagi mufassir selanjutnya untuk meneruskan dan mengembangkannya. Agar karya-karya tafsir yang lahir ke depan tidak lagi berkutat pada penafsiran yang mengawang-ngawang, tidak sesuai kebutuhan umat dan benar-benar mampu menjawab tantangan zaman.
Leave a Reply