Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Dapatkah Manusia Melihat Tuhan?

melihat
Sumber: freepik.com

Berbicara tentang hakikat ketuhanan tentu merupakan hal yang cukup membebani kemampuan akal yang memiliki kapasitas terbatas. Ada salah satu teman perkuliahan yang menanyakan kepada saya tentang apakah tuhan dapat dilihat atau tidak. Pertanyaan tersebut cukup memantik keinginan saya untuk menulis tentang hal itu.

Di sini saya lebih cendrung memaparkan dua pendapat antara pendapat muktazilah yang cendrung lebih menuhankan akal dengan pendapat al-Juwaini yang masih membatasi otoritas akal.

Pandangan Muktazilah

Logisnya, Tuhan merupakan Immateri, tidak mengambil tempat dan tidak terikat ruang maupun waktu. Maka Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Oleh karena itu kaum Muktazilah merupakan golongan yang menggunakan akal sebagai otoritas yang tertinggi bahkan mengalahkan wahyu. Mereka tetap sama sekali tidak berpendapat bahwa tuhan dapat dilihat dengan mata kepala.

Namun ada beberapa argumen yang mereka ajukan yaitu, suatu penglihatan membutuhkan adanya cahaya maupun sinar. Jarak di antara Tuhan dan manusia sebagai penentu dapat atau tidaknya melihat Tuhan. Lanjutnya menurut argumen Muktazilah, Tuhan berada jauh di belakang tabir (tirai) yang begitu tebal, sedangkan manusia berada di depan tirai. Maka manusia logis nya tidak dapat menembus tirai yang jauh dan tebal tersebut.

Sebaliknya, mereka juga berpendapat ada kemungkinan bahwa Tuhan amat dekat dengan manusia, sehingga manusia tidak dapat melihat Tuhan. Seperti melihat pelupuk mata, tak akan dapat terlihat karna tidak mungkin sesuatu yang berada amat dekat bisa tertembus cahaya. Intinya menurut mereka, bagaimanapun alasannya Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala.

Pandangan Al-Juwaini

Al-Juwaini secara tegas menolak argumen dari Muktazilah tersebut. Ia mengatakan bahwa tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, tetapi tidak dalam keadaan sewaktu manusia masih berada di dunia. Lebih lanjut, menurutnya manusia dapat melihat Tuhan ketika di akhirat kelak, sewaktu manusia sudah berada di surga.

Baca Juga  Pro-Kontra Tafsir Falsafi dalam Perdebatan Ulama

Karna menurutnya untuk melihat Tuhan di akhirat, tidak memerlukan adanya cahaya. Meskipun misalnya tidak ada cahaya sama sekali, entah itu tuhan berada sangat jauh dari pandangan mata maupun dekat, semuanya tidak menjadi halangan bagi manusia untuk melihat Tuhannya. 

Kisah Nabi Musa Melihat Tuhan Menurut Juwaini

Sebenarnya banyak dalil yang dipakai oleh al-Juwaini untuk mendukung pendapatnya masing-masing. Namun saya lebih memilih rujukan yang lebih simpel lagi menarik, yaitu tentang kisah nabi Musa AS yang diabadikan dalam QS. Al-A’raf:143

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.” Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.” Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.”

Di sini al-Juwaini berpendapat bahwa ketika Nabi Musa meminta untuk memperlihatkan wujud Allah Swt, dan bukan berupa permintaan kaumnya, maka logika nya tidak mungkin seorang nabi pilihan Tuhan meminta hal-hal yang mustahil. Namun kalaupun itu merupakan permintaan kaumnya Nabi Musa, dan permintaan itu mustahil bagi Nabi Musa.

Maka tentunya beliau pasti mencemooh kaumnya, seperti halnya ketika Nabi Musa dan Kaumnya menyebrangi sungai Nil. Kaumnya meminta untuk dibuatkan sebuah patung agar dijadikan Tuhan bagi mereka, maka di sini Nabi Musa mencemooh mereka dengan berkata:

Baca Juga  Berlarilah Menuju Tuhan

“Kamu sekalian memang kaum yang amat bodoh” (Al-A’raf: 138)

Di sini al-Juwaini memiliki kesimpulan tersendiri, bahwa karena Nabi Musa mengetahui melihat Tuhan bukanlah hal yang mustahil, maka Ia tidak mencemoohkan mereka bahkan meluruskan permintaan kaumnya.

Melihat Tuhan

Dari berbagai argumen tersebut dapat dipahami bahwa bagi al-Juwaini sifat dapatnya Tuhan dapat dilihat dengan mata, dikategorikan dengan sifat Ja’iz. Yakni Tuhan boleh saja dilihat dengan mata dan itu pun bukan merupakan hal yang mustahil. Namun berbeda bagi Muktazilah, Tuhan mustahil dapat dilihat dengan mata, sebab Tuhan pada hakikatnya memiliki sifat Ghaib dan keadaan itu tidak bakalan berubah meskipun didunia ataupun di akhirat kelak.

Editor: An-Najmi Fikri R