Salah satu masalah terbesar umat manusia abad ini adalah masalah lingkungan. Manusia dengan pencapaiannya yang tinggi di bidang teknologi dan ambisinya pada pembangunan telah merongrong dan mengabaikan alam. Padahal alam itulah yang menjadi tempat manusia hidup dan mencari hidup. Karena itu melalui tulisan ini, penulis akan membahas satu ayat dalam Al-Qur’an yang sekiranya dapat mengingatkan manusia agar sedikit menahan ambisinya dan memerhatikan nasib alamnya. Ayat itu ialah:
“Makan dan minumlah rezeki yang diberikan Allah dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 60)
Ayat ini secara sederhana berbicara tentang nikmat atau rezeki yang diberikan oleh Allah dan perintah kepada umat manusia untuk tidak berbuat kerusakan di muka bumi.
Dua pembahasan ini hakikatnya saling berkaitan. Sebab apa yang dimakan dan diminum oleh manusia, hampir seluruhnya berasal dari tanah. Maka lewat ayat ini umat manusia diminta untuk menjaga bumi. Sebab, jika bumi rusak, maka sudah pasti sumber makanan dan minuman mereka juga ikut terganggu.
***
HAMKA dalam Tafsir al-Azhar-nya mengingatkan manusia dengan kalimat yang cukup pedas. Ia menulis, “Janganlah sampai setelah nikmat bertimpah-timpah datang, lalu lupa kepada yang memberi nikmat, lalu berbuat kekacauan dan kerusakan.”
Apa yang disampaikan HAMKA ini sebenarnya mengacu pada sifat dasar manusia, yakni lupa ketika senang dan menggerutu ketika ditimpa musibah. Hal ini dapat dilihat pada firman Allah dalam QS. al-Maarij ayat 20-21:
“Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Apabila mendapat kebaikan, ia amat kikir.”
Makanya jika hari ini terlihat banyak pembangunan dilakukan secara serampangan dan tanpa memperhatikan dampaknya pada lingkungan, itulah watak sejati manusia. Ia mungkin masih berbangga jika pada bumi yang dihuninya pohon-pohon masih rindang dan kondisi tanahnya masih baik.
Akan tetapi ketika nanti tiba saatnya pohon-pohon telah habis ditebangnya karena pembangunan yang agresif, maka disitulah ia akan menyesal dengan apa yang telah diperbuatnya. Karena itu HAMKA menulis: “Jangan hanya mengomel, menggerutu ketika kekeringan nikmat, lalu mengacau dan menyombong setelah nikmat ada.” (HAMKA, 1989: 200)
Sementara penulis Tafsir al-Misbah, M. Quraish Shihab, mengartikan secara terang dan jelas bahwa ayat ini merupakan perintah menjaga dan merawat lingkungan. Pada ayat ini terkandung pesan untuk tidak melakukan sesuatu secara berlebihan, khususnya dalam pemakaian air. Quraish Shihab menulis:
“Maksud pesan terakhir ini adalah jaga kelestarian alam, pelihara kebersihan, jangan gunakan air berlebihan atau bukan pada tempatnya.”
***
Menurutnya, peringatan seperti yang tertuang dalam ayat ini sangat perlu untuk diangkat. Sebab, jelas Quraish, sifat manusia adalah cenderung lupa ketika lagi berlimpah nikmat dan berkat. “Karena tidak jarang orang yang mendapat nikmat lupa diri dan lupa Allah sehingga terjerumus dalam kedurhakaan.”
Hal ini bisa dilihat pada umat Nabi Musa. Dengan segala nikmat yang diberi, mereka masih belum juga puas dan bahkan masih berbuat durhaka. Padahal, terang Quraish, “al-mann dan al-salwa telah melimpah ruah, air pun telah tersedia tersedia dengan cukup untuk seluruh anggota masyakat mereka, ternyata mereka masih mengeluh.” (Shihab, 2002: 252)
Adapun pada Tafsir al-Manar, di sana dijelaskan bahwa penayangan kisah di masa lalu dalam Al-Qur’an bertujuan agar para pembacanya lebih mudah membayangkan kisah itu seolah-olah terjadi di zaman sekarang dan mereka bisa belajar darinya (Abduh dan Ridha, 1947: 327). Dalam hal ini umat manusia dapat belajar pada umar Nabi Musa tentang bagaimana seharusnya bersyukur pada nikmat yang Allah beri.
Sementara perintah Allah untuk tidak berbuat kerusakan, dimaknai sebagai perintah untuk tidak menyebarkan sikap merusak di bumi dan menjadi contoh yang buruk bagi manusia. Sebab berbuat kerusakan dan meninggalkan jejak keburukan merupakan kejahatan yang sangat besar. Jadi, umat manusia diminta untuk selalu contoh yang baik, khususnya dalam menjaga bumi (Abduh dan Ridha, 1947: 327).
***
Dalam Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, Sayyid Qutb menjelaskan cukup rinci mengenai kondisi dan sifat umat Nabi Musa. Qutb menceritakan bahwa kondisi mereka ketika itu ialah hidup di tengah gurun pasir yang gersang dan penuh bebatuan. Panas mataharinya juga cukup terik. Karenanya air di tempat itu cukup sedikit dan bahkan hampir habis. Karena itu didorong niat untuk membantu kaumnya, Nabi Musa berdoa kepada Allah dan meminta kepada-Nya untuk memberikan mereka air. Allah mengabulkan permintaan Musa dan memintanya untuk memukul satu batu keras di tempat itu. Qutb menulis:
“Setelahnya memancarlah dari batu tersebut dua belas mata air sesuai dengan jumlah induk suku yang menurunkan Bani Israil yang berjumlah dua belas orang, yaitu anak-anak Nabi Ya’qub” (Qutb, 2000: 88). Dari sinilah kemudian lahir perintah untuk makan dan minum dari apa yang telah Allah berikan padamu dan jangan sampai melampaui batas.
Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Qutb, kaum Nabi Musa ini memiliki sifat yang buruk. Yakni punya mentalitas yang rendah, maruk, dan suka berebut. Mereka tidak merasa cukup dengan apa yang telah diberikan Allah kepadanya. Bahkan mereka justru mencari makanan yang umumnya tidak ada di gurun pasir, seperti kacang adas, mentimun, bawang merah dan sebagainya.
***
Melalui kisah umat Nabi Musa ini, Allah ingin manusia belajar dan mengambil pelajaran. Bahwa jangan sekali-kali bersikap berlebihan, terutama dalam hal bersikap terhadap alam dan bumi. Jangan menuntut alam lebih dari apa yang ia punya. Sebab itu hanya akan menghantarkan kita pada sikap yang tak lazim pada alam.
Begitu pun dengan konteks hari ini. Banyak dari manusia yang berpikir bahwa alam akan senantiasa aman di saat pembangunan terus menggila. Padahal seperti disampaikan oleh Mahatma Gandhi, “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan manusia”.
Gandhi benar. Bahwa manusia sering kali bertindak dan melalakukan sesuatu hanya menurut ambisi mereka. Mereka berbuat dan menginginkan sesuatu melebihi kebutuhan mereka. Surah al-Baqarah ayat 60 di atas sebenarnya berfungsi untuk memangkas sifat ini. Semoga manusia benar-benar memahami dan mengambil pelajaran darinya. Sebab bumi tidak hanya dihuni oleh manusia hari ini, melainkan oleh generasi mendatang. []
Leave a Reply