Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Ciri Khas Penafsiran Gus Baha’

Gus Baha'

Profil Gus Baha’

KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang lebih sering dikenal dengan Gus Baha’ adalah putra Kiai Nur Salim. Beliau adalah pengasuh pesantren al-Qur’an di Kragan, Narukan, Rembang. Ayahnya, Kian Nur Salim adalah murid dari Kiai Arwani Kudus dan Kiai Abdullah Salam, Kajen, Pati. Melihat jejak langkahnya, Gus Baha’ memulai pengembaraan ilmiahnya di Yogyakarta pada tahun 2003. 

Selain pemahaman ilmu yang sangat dalam, Gus Baha’ juga dikenal sebagai sosok yang dekat dengan kiainya. Dalam berbagai hal beliau sering mendampingi gurunya KH. Maimoen Zubair untuk berbagai urusan. Mulai dari mengobrol santai hingga menerima tamu-tamu yang berkunjung ke Al-Anwar. Gus Baha’ juga sering dijadikan contoh oleh KH Maimoen Zubair kepada santri-santri yang lainnya. 

Cara Mengajarkan Tafsir

Ketika mengajarkan tafsir, Gus Baha’ banyak menyinggung kepada aspek tasawuf dan kebahasan. Beliau tidak menafsirkan ayat, melainkan menjelaskan dari penafsiran ulama dan mengembangkannya dengan berbagai kisah yang berkaitan dengan ayat yang dibahas. Dalam pengajarannya Gus Baha’ banyak menyambungkan dengan kisah yang meningkatkan hubungan dengan Allah dari segi tasawwuf. Corak penafsiran sufi ini memiliki argumen bahwa setiap ayat al-Qur’an secara potensial memiliki empat tingkatan makna: zhahir, bathin, had, dan matla’. Keempat makna ini diyakini telah diberikan kepada Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, penafsiranya juga memiliki doktrin yang sangat kuat bahwa wali adalah pewaris kenabian. Mereka mengaku memiliki tugas yang serupa walaupun berbeda secara substansial. Jika Rasul memiliki tugas untuk menyampaikan pesanpesan agama kepada manusia, maka para sufi memikul tugas untuk menyebarkan risalah akhlaqiyah yang mengacu pada keluhuran budi pekerti. Seperti dalam menjelaskan tafsir jalalain surat al-Baqarah [2]: 152

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ ١٥٣

Beliau menceritakan petuah Syaikh Abdul Qodir al-Jailani bahwa nikmat akan selalu datang sesuai dengan bagian kita. Jangan sampai ketika sudah bisa berdoa, kita malah menjadi syirik dengan menyombongkan amal kita. Gus Baha’ juga memasukan nasehat dari Imam Ghazali dalam kajiannya, beliau berkata “Kalau hidayah itu karena doanya sampean, maka tidak ada orang ngabangan dapet hidaya, padahal ada orang ngabangan yang tidak berdoa tapi mendapat hidayah”. Dalam penjelasannya, Gus Baha’ mengatakan bahwa semua itu adalah karena Allah, bukan karena amalam manusia.

Baca Juga  Kontroversi Kodifikasi Al-Quran: Dari Usman Hingga Kairo 1924

Karakteristik Penafsiran Gus Baha’

Karakter penafsiran yang banyak mengandung unsur tasawuf beliau sampaikan untuk meningkatkan ketaqwaan dari jamaah. Penafsiran sufi tidak secara langsung menjelaskan dari segi harfiahnya saja, tetapi lebih pada menyeruakan signifikansi moral yang tersirat melalui penafsiran secara simbolik, atau dikenal dengan penafsiran isy’ari. Tidak hanya mengungkapkan makna-makna lahiriyah, tetapi juga mengungkapkan isyarat-isyarat yang tersembunyi guna mencapai makna batin yang dapat dipahami. 

Berbicara mengenai metode pengajaran, para ulama memiliki carai penyampaian yang berbeda beda. Ada ciri khas dalam setiap penyampaiannya. Secara bahasa, Gus Baha’ memakai bahasa yang tidak resmi dengan menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia, hal ini untuk menyesuaikan para jama’ah yang mayoritas orang-orang tua. Gaya bahasa ini adalah kata-kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari. Dalam metodenya, beliau menyampaikan dengan bahasa sederhana namun memiliki banyak makna. Dengan cara ini, isi kitab yang berbahasa Arab, bisa dengan mudah dipahami oleh para jama’ah karena penyampaiannya yang ringan.

Ciri Khas Gus Baha’

Secara metode, Gus Baha’ membaca potongan ayat demi ayat kemudian membacakan artinya dan kemudian dijelaskan penafsirannya berdasarkan kitab rujukan. Penggunaan gaya bahasa yang santai serta candaan-candaan membuat isi yang disampaikan terasa ringan.

Dalam penyampaiannya, beliau menggunakan metode dialog individu dengan menjelaskan seluruh isi kitab tanpa dialog dengan jama’ah dan tidak ada sesi tanya jawab. Gus Baha’ merupakan ulama yang sangat ahli di bidangnya. Beliau hafal al-Qur’an dan juga memahami isi kandungannya. Karena kedalaman ilmu yang dimiliki beliau, penjelaskan yang disampaikan dapat diterima dengan baik tanpa ada keraguan.

Di sela-sela penyampaiannya, Gus Baha’ sering menggunakan gaya bahasa  sederhana seperti, “ini perlu saya sampaikan”, “pada kalimat ini tolong diperhatikan”. Kalimat ini bertujuan untuk membangkitkan semangat dari para jama’ah supaya benar-benar memperhatikan apa yang beliau sampaikan. Selain itu, beliau juga menggunakan gaya bahasa yang diarahkan untuk menimbulkan suasana tenang dan damai. Dengan demikian ada bebarapa gaya bahasa yang digunakan beliau dalam mengajarkan tafsir jalalain, ada yang tegas dan ada yang lembut. Beliau memposisikan sesuai dengan keadaan pada waktu pengajaran. 

Baca Juga  Mengenal Muhammad Syahrur dan Teori Hermeneutikanya

Setiap ulama dan tokoh memiliki ciri masing-masing dalam penyampaian tafsirnya, begitupun dengan Gus Baha’. Dengan penyampaian sederhana namun mengandung banyak makna, beliau menjelaskan penafsiran dengan diiringi nilai-nilai tasawuf di dalamnya. Banyak kisah-kisah dari para sufi beliau ceritakan untuk meningkatkan taqwa dari jama’ah dan untuk memperindah penyampaian. Bisa disimpulkan bahwa karakteristik penafsiran Gus Baha’ adalah tafsir sufi. Memang beliau hanya menjelaskan dari penafsiran Imam al-Mahalli dan al-Suyuthi, namun di lain sisi ada penyampaian terkait tasawuf untuk lebih memperjelas ayat al-Qur’an yang disampaikan.

Dalam pengajarannya beliau menggunakan cara yang sesuai dengan jamaah agar mudah diterima. Dari cara pengajarannya, Gus Baha’ membacakan ayat per ayat. Kemudian membacakan artinya dan menjelaskan kandungan maknanya yang juga disertai berbagai kisah menarik. Candaan yang dimasukkan dalam penyampian membuat apa yang disampaikan terasa ringan dan mudah diterima.

Penyunting: M. Bukhari Muslim