Cinta termasuk salah satu topik yang sering dibicarakan. Bahkan dalam keseharian kita dikelilingi oleh berbagai representasi cinta. Bermacam-macam karya seni dan sastra juga musik, film, sinetron dan iklan menjadikan cinta sebagai tema utama. Cinta sebagaimana kerap dinarasikan dalam kisah-kisah romantis dianggap pada dasarnya tidak dapat didefinisikan, misterius dan berada di luar wacana rasional.
Makna cinta hanya dapat diraih secara intuitif. Ia berada pada tataran perasaan dan tidak dapat dikomunikasikan dengan tepat. Karena itu cinta seringkali dipandang sebagai kebutuhan dan hasrat personal yang unik yang kemudian menempatkan cinta dalam wilayah privat.
Gagasan tentang cinta semacam ini banyak diyakini oleh masyarakat sehingga hal-hal yang merupakan bagian dari konstruksi sosial dan budaya atas cinta cenderung diterima begitu saja. Sementara sesungguhnya konstruksi sosial dan budaya ikut memengaruhi dan menentukan makna dan definisi cinta.
Dapat dikatakan terdapat dua pembacaan dominan atas cinta. Di satu sisi cinta dipandang memiliki hubungan erat dengan patriarki dan heteroseksualitas. Hal ini mengingat narasi tentang cinta kebanyakan dikaitkan dengan prokreasi, keluarga, pernikahan dan rumah tangga, juga dengan hubungan monogami dan/atau poligami dan kesetiaan.
Dengan demikian bagi perempuan cinta dengan mudah diterjemahkan sebagai menjadi seorang istri atau ibu. Di sisi lain cinta dilihat tidak terikat dengan keharusan dan batasan sosial. Sebaliknya ia terkait dengan gagasan tentang kebebasan, persamaan dan agensi. Dengan kata lain cinta dipandang sebagai kekuatan yang mampu mengatasi hambatan sosial yang ada. Oleh karenanya bagi perempuan cinta dianggap dapat membebaskan dan memberdayakan.
Sementara itu dalam pemikiran feminis, cinta merupakan salah satu isu yang telah dikaji bahkan oleh para pemikir awal mulai dari Simone de Beauvoir dan kemudian diikuti oleh gagasan para feminis yang mengkritik peran cinta dalam melanggengkan hubungan patriarkal diantaranya Shulamith Firestone dan Ti-Grace Atkinson.
Dilanjutkan pada era 80-an oleh para feminis yang memandang cinta dengan cara yang lebih produktif diantaranya Luce Irigaray, Julia Kristeva, Audre Lodre dan bell hooks. Mengacu pada Jackson, kritik feminis terhadap cinta terkait dengan gagasan bahwa cinta dipandang sebagai ideologi yang melegitimasi penindasan perempuan dan yang membuat mereka terjebak dalam hubungan heteroseksual yang eksploitatif.
Selain itu, cinta juga dipandang membuat perempuan rentan. Bukan hanya terhadap eksploitasi tetapi juga tersakiti oleh laki-laki. Para feminis juga melihat cinta romantis (romantic love) secara kritis. Hal ini mengingat cinta romantis merupakan pusat heteroseksualitas dan menjadi penyokong bagi ketidaksetaraan gender dan kekerasan terhadap perempuan.
Di sisi lain terdapat juga sejumlah feminis yang memandang cinta sebagai situs perlawanan, transformasi dan agensi. Lynne Pearce dan Jackie Stacey yang melakukan kajian terhadap narasi percintaan berpendapat bahwa cinta mempertahankan kemampuannya untuk membebaskan perempuan dari cengkeraman patriarki karena kekuatan “naratifnya”. Menurut mereka penyatuan dengan narasi percintaan memungkinkan perempuan untuk memfasilitasi “penulisan kembali bidang kehidupan lainnya”.
Selain itu gagasan para pemikir queer yang mencoba bergerak melampaui pemahaman konvensional mengenai cinta juga menjadi penting dalam diskursus tentang cinta. Gagasan ini misalnya terkait dengan pembongkaran definisi cinta yang sering dikaitkan dengan hubungan seks heteroseksual atau dihubungkan dengan kodrat. Begitu juga dengan pembongkaran hubungan antara cinta dengan pernikahan, keluarga dan prokreasi.
Hal lain yang juga penting dicermati, cinta kadang dihubungkan dengan konsep-konsep lain yang terkait seperti misalnya kerja, perawatan, hasrat, dan roman. Meskipun sering dikaitkan dengan asmara romantis, namun makna cinta sesungguhnya sangat luas.
Di tengah kecenderungan masyarakat kontemporer yang menempatkan cinta sebagai komoditas yang bisa mendatangkan keuntungan atau sarana untuk mendapatkan kenikmatan bahkan melakukan penundukan dan dominasi, maka kajian feminisme tentang cinta menjadi penting untuk dieksplorasi terlebih melihatnya sebagai kekuatan etis, sosial dan/atau politik yang penting dengan pendekatan interdisipliner.
Untuk itu membahas cinta dalam relasi homoseksual, pengalaman feminis dalam relasi romantis, keberadaan budaya populer dalam mengenalkan nilai-nilai cinta yang patriarkis, kekerasan dalam relasi pacaran, upaya pemaknaan cinta secara filosofis, dan penghayatan perempuan terhadap makna cinta. Dokumentasi ini diharapkan dapat mendorong upaya pembongkaran terhadap kerja ideologis yang menyubordinasi perempuan dalam cinta dan mempertajam kerangka teori feminis tentang cinta serta menemukan mekanisme perubahan.
Penyunting: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply