Quraish Shihab pernah menulis buku tentang relasi antara Sunni dan Syiah yang kemudian diberi judul “Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?”. Buku ini ditulis untuk menepis tuduhan sebagai penganut Syiah yang dialamatkan kepadanya. Selain sebagai klarifkasi, buku ini dibuat juga sebagai pencerahan kepada umat Islam dan –mungkin- wabilkhusus kepada para penuduhnya akan ajaran syiah yang sebenarnya yang tidak seburuk paradigma yang berkembang di masyarakat.
Hampir serupa dengan buku yang ditulis oleh pendiri Pusat Studi Al-Quran tersebut, Haidar Bagir bersama dengan Ulil Absar Abdalla juga berkolaborasi menulis buku tentang dua hal yang –belakangan ini- juga sering dipertentangkan, yaitu agama dan sains. Buku ini kemudian dijuduli dengan SAINS RELIGIUS AGAMA SAINTIFIK, Dua Jalan Mencari Kebenaran.
Penulisan buku yang terbit pada bulan Agustus 2020 ini dilatarbelakangi oleh kegeraman Haidar Bagir atas sikap ekstremis yang ditampakkan oleh kelompok saintis pada sebuah acara diskusi yang dihadirinya bersama dengan Ulil Absar. Ekstremis yang dimaksud di sini adalah, sikap yang menganggap bahwa hanya dirinya, kelompoknya, atau pendapatnyalah yang paling benar dan menutup diri dari sumber kebenaran yang lain.
Ekstremis sains berarti menganggap bahwa kebenaran hanya bisa dicapai dengan metodologi sains yang bersifat rasional-empiris, bukan agama, filsafat, ataupun seni. Sikap ini yang kemudian membuat Haidar “meledak” hingga ketika buku ini dilaunching, pendiri penerbit Mizan itu berkata, “Kita ini sudah dibikin capek oleh ekstremis agama, jangan lagi ditambah dengan adanya ekstremis sains”.
Maka melalui buku yang berjumlah184 halaman ini, keduanya memaparkan argumen bantahan atas tuduhan-tuduhan yang dilancarkan oleh kaum ekstremis sains terhadap agama. Argumen ini kemudian disusun sedemikian rupa hingga runut dalam format esai. Tercatat ada 29 esai; Haidar Bagir 16 judul ditambah pendahuluan dan lampiran, dan Ulil Absar 11 judul.
Berdasarkan judul, yang dimulai oleh kata ‘Sains’ sebelum ‘Agama’, Haidar Bagir selaku ahli dalam filsafat sains mendapat bagian pertama dan Ulil Absar pada bagian kedua. Haidar Bagir membuka rangkaian tulisannya dengan sebuah pendahuluan atau pengantar akan persoalan mendasar atas pertikaian antara sains dan agama, atau mungkin lebih tepat disebut tuduhan sains terhadap agama.
Klaim Metode Ilmiah
Tuduhan yang paling mendasar dari kaum ekstremis sains adalah menganggap bahwa kebenaran hanya bisa didapatkan melalui metode ilmiah (scientific method) yang mana dilandasi oleh dua hal, yaitu deduksi rasional dan induksi empiris. Deduksi rasional adalah upaya menarik kesimpulan dari kumpulan premis, sedangkan induksi empiris adalah upaya menarik kesimpulan berdasarkan realita atau pengalaman indrawi. Metode ilmiah ini sebenarnya baru lahir pada pertengahan abad 15 atau yang disebut sebagai masa Revolusi Ilmiah (Scientific Revolution). Sehingga jika dihitung dari sekarang, maka metode ini baru berumur 5 abad. Pertanyaannya kemudian, metode apakah yang dipakai oleh manusia untuk memperoleh pengetahuan pada abad-abad sebelumnya? Apakah metode pada setiap abad sama atau berbeda-beda? Dan jika berbeda, metode apakah yang paling dominan digunakan?
Menurut Haidar Bagir, manusia, sejak awal periode sejarah menggunakan metode yang berbeda-beda untuk memperoleh pengetahuan. Metode yang paling dominan digunakan adalah metode ‘suprasional’ termasuk di dalamnya imajinatif dan mistis. Metode suprarasional adalah metode memperoleh pengetahuan yang tidak hanya mengandalkan alam realita, tapi juga alam metafisika, seperti wahyu, mimpi, imajinasi ataupun pengalaman mistis.
Karena terdapat metode lain selain metode ilmiah (scientific method) dalam memperoleh pengetahuan, maka wajar saja jika klaim metode ilmiah –yang baru berusia lima abad itu- sebagai satu-satunya metode yang valid dan menafikan metode yang lain –yang telah digunakan manusia pada masa-masa sebelumnya- dalam memperoleh pengetahuan terkesan sebagai sebuah kepongahan.
Feyerabend dan Metode Verivikasi
Paul Karl Feyerabend (1924-1994) menjadi kunci selanjutnya bagi Haidar Bagir untuk membantah klaim metode ilmiah sains sebagai satu-satunya metode yang valid. Feyerabend memiliki sebuah gagasan yang dikenal sebagai anarkisme metode yang menyatakan penolakan terhadap adanya metode universal dalam pengetahuan. Karena tidak ada satupun metode yang pasti, maka sewajarnya sikap yang dipilih adalah menerima segala bentuk metode yang lain. Hal ini diperkuat bahwa keberadaan sains pada mulanya adalah sebagai gerakan yang membebaskan, namun seirin berjalannya waktu, sains berubah menjadi kaku dan dogmatis hingga pada akhirnya menjadi sebuah ideologi.
Dalam sains modern juga dikenal istilah context of discovery dan context of justification. Keduanya merupakan metode verifikasi logis/rasional dalam memperoleh pengetahuan. Context of discovery adalah metode verifkasi terhadap sumber pengetahuan. Metode ini menyoal sumber pengetahuan/teori apakah dapat dibuktikan kebenarannya secara logis atau tidak. Sementara context of justication adalah verifikasi terhadap teori yang dilahirkan, apakah teori itu dapat dibuktikan kebenarannya secara logis atau tidak. Dalam hal ini, Carl Gustav Hempel, salah satu filsuf ilmu terkemuka, mengatakan bahwa verifikasi logis dalam konteks penemuan bukanlah suatu hal yang mutlak. Artinya, pembuktian sumber pengetahuan/teori bukanlah hal yang urgen dan dapat dinafikan. Selama teori yang dihasilkan dapat dibuktikan kebenarannya (context of justification), maka tidak penting lagi dari mana teori itu berasal.
Einstein dengan lantang mengakui bahwa dirinya –juga- adalah seniman yang mengandalkan daya imajinasinya untuk mencipta sesuatu. Bahkan teori relativitasnya lahir dari imajanisinya yang menunggangi gelombang cahaya sambil mengamati gelombang cahaya lain yang pergerakannya sama. Demikian juga penemuan gelombang elektromagnetik oleh Michael Faraday, tabel unsur priodik kimia oleh Dmitri Mandeleev, struktur atom oleh Niels Bohr, dan ratusan gagasan matematis oleh Srinivasa Ramanujan –yang mengaku memperolehnya langsung dari dewi-dewi yang mendatanginya di alam mimpi. Jika saja sumber teori itu harus dibuktikan secara logis maka temuan-temuan di atas tidak akan pernah ada.
Maka wajar saja jika Prof. Abdus Salam mendapat penghargaan Nobel dalam bidang fisika (1976) dengan penemuannya yang menyumbang dalam penyusunan teori penyatuan gaya elektromagnetik dan gaya nuklir lemah yang diakuinya diperoleh dari al-Qur’an. Sekali lagi, jika saja sumber pengetahuan itu harus dapat diverifikasi secara logis (contwxt of discovery) maka Prof. Abdus Salam tidak akan mendapat penghargaan nobel yang bergengsi itu.
Editor: An-Najmi Fikri R
Leave a Reply