Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Catatan Kritis atas Konsep Hakimiyah Sayyid Qutb

Hakimiyah

Hakimiyah merupakan pemikiran utama yang menjadi landasan konsep kelompok-kelompok Islam radikal. Dari konsep hakimiyah ini, lahir konsep syirik hakimiyah dan tauhid hakimiyah dari Sayyid Quthb dan saudaranya, Muhammad Quthb. Dan dari sana lah, muncul istilah al-ushbah al-mu’minah (golongan yang beriman). Serta keyakinan atas janji Allah bagi siapa saja yang bergabung kepada kelompoknya.

Dari konsep inilah, muncul perasaan bahwa umat Islam selain mereka merupakan orang-orang jahiliah. Pemikiran ini menimbulkan adanya jurang pemisah antara kelompoknya dengan umat Islam yang lain. Kemudian melahirkan pemikiran bahwa kelompoknya lebih baik daripada umat Islam yang lainnya. Semua itu merupakan sejumlah pemikiran yang menyerang akal seorang muslim yang taat. Sehingga ia berubah menjadi seorang yang radikal dan suka mengkafirkan (takfiri) orang lain serta mengangkat senjata dan menumpahkan darah.

Muara Dari Pemahaman Hakimiyah

Ketika ditelusuri sumber dan muara dari pemahaman hakimiyah, menurut Yusuf Qardhawi, maka akan bermuara pada kitab Fi Dzilal Al-Qur’an (Di Bawah Lindungan Al-Qur’an) karya Sayyid Quthb. Serta kitab-kitab karya Sayyid Qutb lainnya. Seperti Ma’allim Fi Thariq (Petunjuk Jalan yang Menggetarkan Iman) serta Al-Adalah Al-Ijtima’iyah (Keadilan Sosial Dalam Islam).

Semua kitab yang disebutkan di atas sudah ada dalam bentuk terjemahan bahasa Indonesia. Yang menjadi sumber utama untuk pegangan bagi golongan takfiri adalah kitab Fi Dzilal Al-Qur’an. Sehingga sangat perlu jika kitab tersebut dibedah dan dikritik secara ilmiah oleh para ulama. Keterangan di atas juga diperkuat oleh pengakuan Saleh Sariyah dalam kitabnya, Risalah Al-Iman. Kitab itu berisi ajakan untuk mengkafirkan pemerintah, menganggap masyarakat saat ini jahiliah dan menyatakan bahwa negara umat Islam saat ini adalah dar al-harb (wilayah perang).

Baca Juga  Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 105: Tidak Suka Kebaikan

Saleh Sariyah menulis kitab tersebut karena terinspirasi dari kitab Fi Dzilal Al-Qur’an karya Sayyid Qutb. Saleh Sariyah dalam Risalah Al-Iman mengatakan “Pemerintahan yang ada saat ini di seluruh dunia Islam adalah pemerintahan kafir, tidak diragukan lagi. Masyarakat yang hidup di negara-negara ini semuanya adalah masyarakat jahiliah”. Pada penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa gelombang pengaruh takfiri masuk dalam rangkaian gelombang pemikiran Sayyid Qutb dengan kitabnya Fi Dzilal Al-Qur’an.

Pemikiran Hakimiyah Sayyid Quthb

Pemikiran Sayyid Quthb mengenai hakimiyah sebenarnya diambil dari pemikiran Abu ‘Ala al-Maududi. Quthb mengambil teori terkait pemikiran hakimiyah lalu dikembangkan dan ditulis di dalam karyanya sehingga muncul teori baru untuk menganjurkan melakukan takfiri. Sehingga Yusuf Qardhawi pun mengatakan bahwa hal yang paling berbahaya dari orientasi baru Sayyid Qutb adalah kecenderungannya pada pemikiran takfiri dan memperluas cakupannya.

Pada akhirnya pemikiran tersebut meracuni akal dan pemahaman seorang muslim yang masih awam. Sayyid Qutb membangun pemikiran hakimiyah berlandaskan beberapa hal. Pertama adalah pemahaman yang salah terhadap QS. Al-Maidah ayat 44. Dalam memahami ayat ini, Qutb mengikuti pandangan al-Maududi yang cenderung tekstual dengan mengafirkan seseorang yang tidak menerapkan hukum Allah, meskipun orang tersebut meyakini bahwa ayat itu benar dan merupakan wahyu Allah.

Sedangkan para ulama masyhur dari generasi ke generasi memiliki pendapat yang bertentangan dengan Qutb. Imam Fakhruddin al-Razi misalnya, dalam kitab Tafsir Al-Kabir, Ikrimah berkata bahwa QS. Al-Maidah ayat 44 hanya berkenaan kepada orang-orang yang mengingkari dengan hati dan menolaknya dengan lisan. Ulama-ulama seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Hasan al-Bashri, Imam al-Ghazali, Imam al-Thabari dan masih banyak lagi memahami Al-Maidah ayat 44 dengan memaknai kata “kufur” sebagai dosa besar yang tidak sampai pada derajat kekufuran yang mengeluarkannya dai iman dan Islam. Tidak ada seorang pun dari mereka yang memiliki pemahamn hakimiyah seperti Quthb.

Baca Juga  Wahyu; Eksternal atau Internal?

Kedua adalah Qutb sering mengulang ungkapan yang ia buat sendiri dan menjadikannya sebuah kaidah serta ditulis berulang kali pada kitab Fi Dzilal Al-Qur’an. Kaidah itu berbunyi “Hakimiyah adalah bagian paling fundamental dari sifat-sifat ketuhanan”. Padahal ungkapan ini tidak pernah diucapkan oleh satupun ahli ilmu kalam dan akidah. Jika diteliti lebih lanjut, hal yang paling fundamental dalam ketuhanan adalah sifat ke-Esa-an Allah yang sempurna dan mutlak, bukan hakimiyah.

Beberapa Kekeliruan Sayyid Qutb

Ketiga adalah Qutb mempunyai pandangan bahwa perundang-undangan yang selama ini ada di peradilan merupakan tindakan yang berhukum selain hukum Allah. Sehingga dapat dikategorikan sebagai menentang Allah. Pernyataan ini masih berhubungan dengan Al-Maidah ayat 44. Al-Qurthubi berkata bahwa ayat tersebut seringkali digunakan untuk menghakimi orang yang berbuat dosa besar dengan setempel kafir, padahal ayat ini turun berkaitan mengenai orang-orang Yahudi yang merubah-rubah kalam Allah.

Keempat adalah Qutb keliru dalam memahami QS. Yusuf ayat 40. Ia berpandangan bahwa masyarakat yang tidak sempurna menerapkan hukum-hukum fikih dianggap telah mencederai hak prerogatif Allah. Padahal para ulama ahli ushul fikih dan ahli tafsir memahami ayat tersebut bahwa hanya Allah lah yang berhak menentukan vonis halal, haram, makruh, mubah, sunnah, sah, rusak serta terlaksana atau tidak.

Kelima adalah Qutb sama sekali tidak mengetahui dan memahami bab ilmu ushul fikih yakni awaridl al-ahliyah yang menyebabkan seseorang tidak dikenakan konsekuensi hukum syariat karena beberapa hal. Keenam adalah Qutb mempunyai kesimpulan bahwa risalah agama ini mengalami keterputusan. Pendapat ini sangat melukai umat Islam.

Dalam kitabnya Ma’allim Fi Thariq, ia berkata bahwa eksistensi umat Islam telah terputus sejak beberapa abad lalu. Penyebab utama Qutb berkata seperti itu dikarenakan ia berpaling dari ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ilmuwan muslim dan para ulama sepanjang sejarah umat Islam dalam memahami al-Qur’an. Maka dari itu, sangat perlu jika kitab-kitab karya Sayyid Qutb dibedah dan ditelaah secara kritis. Apalagi kitab-kitab karyanya sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Tidak ada salahnya jika membaca karya dari Qutb, tapi perlu diingat, saat membaca dan memahaminya harus menggunakan akal dan pikiran yang jernih.

Baca Juga  Imamah dalam Pandangan Muhsin al-Kasyani dan al-Syaukani

Penyunting: M. Bukhari Muslim