Bagi sebagian umat Islam, cadar dianggap sebagai perintah Allah yang telah tercantum di dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Namun banyak pula umat Islam berpendapat bahwa apapun justifikasi terhadap cadar di masa lalu, hal itu tidak mempunyai relevansi sama sekali dengan zaman modern. Sementara di kalangan umat Islam ortodoks, khususnya ulama, di sisi lain menganggap cadar bagi perempuan sebagai kebutuhan yang absolut dan menjalankannya dengan semua kekakuan yang bisa dilakukan.
Karenanya, interaksi yang dibangun oleh perempuan bercadar, terkadang mendapat berbagai respon dari lingkungan sosial. Perempuan bercadar kerap mengalami kesulitan atau hambatan dalam proses komunikasi untuk membangun hubungan secara personal dengan masyakarat, hal ini yang menjadikan perempuan bercadar terkesan menutup diri dan dipandang negatif oleh masyarakat.
Asal-Usul Cadar Wanita
Dalam penelitian M. Quraish Shihab mengungkapkan bahwa memakai pakaian tertutup termasuk cadar bukanlah monopoli masyarakat Arab, dan bukan pula berasal dari budaya mereka. Bahkan menurut ulama dan filosof besar Iran kontemporer, Murtadha Muthahari, pakaian penutup (seluruh badan wanita termasuk cadar) telah dikenal di kalangan bangsa-bangsa kuno, jauh sebelum datangnya Islam, dan lebih melekat pada orang-orang Persia, khususnya pusaran Iran, dibandingkan dengan di tempat-tempat lain, bahkan lebih keras tuntutannya daripada yang diajarkan Islam.
Sementara pada masa Jahiliyah dan awal masa Islam, wanita-wanita di Jazirah Arab memakai pakaian yang pada dasarnya mengundang kekaguman pria, di samping untuk menampik udara panas yang merupakan iklim umum padang pasir. Memang, mereka juga memakai kerudung, hanya saja kerudung tersebut sekedar di letakkan di kepala dan biasanya terulur ke belakang, sehingga dada dan kalung yang menghiasi leher mereka tampak dengan jelas.
Bahkan boleh jadi sedikit dari daerah buah dada dapat terlihat karena longgar atau terbukanya baju mereka itu. Telinga dan leher mereka juga dihiasi anting dan kalung. Celak sering mereka gunakan untuk menghiasi mata mereka. Kaki dan tangan mereka dihiasi dengan gelang yang bergerincing ketika berjalan. Telapak tangan dan kaki mereka sering kali juga diwarnai dengan pacar. Alis mereka pun dicabut dan pipi mereka dimerahkan, tak ubahnya seperti wanita-wanita masa kini, walau cara mereka masih sangat tradisional.
Mereka juga memberi perhatian terhadap rambut yang sering kali mereka sambung dengan guntingan rambut wanita lain, baru setelah Islam datang, al-Qur’an dan Sunnah berbicara tentang pakaian dan memberi tuntunan menyangkut cara-cara memakainya.
Menurut Persepsi Agama
Wanita Muslimah disyariatkan untuk menutup wajah mereka di depan lelaki ajnabi (non-mahram). Atau dengan kata lain, disyariatkan bagi mereka untuk memakai cadar. Ini adalah hal yang ada dan diajarkan dalam Islam. Para ulama 4 madzhab menyatakan bahwa menutup wajah bagi wanita adalah perkara yang dianjurkan, atau bahkan sebagian ulama berpendapat hal ini diwajibkan. Mereka berdalil dengan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Allah berfirman:
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin : Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).
Imam Ath Thabari menjelaskan “Para ulama tafsir khilaf mengenai sifat menjulurkan jilbab yang diperintahkan Allah dalam ayat ini. Sebagian mereka mengatakan yaitu dengan menutup wajah-wajah mereka dan kepala-kepala mereka, dan tidak ditampakkan apa-apa kecuali hanya satu mata saja.” (Ath-Thabari, 2009, pt. 20/324)
Sebagian ulama mengatakan, jilbab adalah al qina’ (sejenis kerudung untuk menutupi kepala dan wajah). Sebagian ulama juga mengatakan, jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh wanita. Sebagaimana dalam hadits shahih, dari hadits Ummu Athiyyah, bahwa ia mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, diantara kami ada yang tidak memiliki jilbab’. Lalu Rasulullah menjawab: ‘hendaknya ada dari kalian yang menutupi saudarinya dengan jilbabnya‘.
Al Wahidi mengatakan: ‘menurut para ulama tafsir jilbab digunakan untuk menutupi wajah dan kepala mereka kecuali satu matanya saja, sehingga diketahui mereka adalah wanita merdeka sehingga tidak diganggu orang’. Al Hasan mengatakan: ‘jilbab digunakan untuk menutupi setengah wajah wanita’. Qatadah mengatakan: ‘jilbab itu menutupi dengan kencang bagian kening, dan menutupi dengan ringan bagian hidung. Walaupun matanya tetap terlihat, namun jilbab itu menutupi dada dan mayoritas wajah.
Menurut Persepsi Budaya
Ada yang beranggapan bahwa wanita bercadar berasal dari pemeluk agama Zardasyt yang menilai wanita sebagai makhluk tidak suci. Maka, ketika kaum wanita hendak melakukan ritual keagamaan, ia harus menutupi hidung dan mulutnya supaya nafas mereka tidak mengotori api sesembahannya. Intelektual kontemporer asal Pakistan, Abu al-A’la al-Mawdudi menjelaskan, bahwa banyak sekali tuduhan-tuduhan tidak penting terhadap Islam yang datang dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, seperti halnya mereka menuduh hijab dan cadar (niqab) berasal dari budaya perempuan-perempuan Arab jauh sebelum Islam masuk, tepatnya di masa Jahiliyah, kemudian berlanjut warisan jahiliyah ini ke orang-orang Muslim di abad-abad berikutnya, khususnya setelah masa Nabi.
Mereka sangat pandai berusaha menghantam beberapa ajaran Islam, seperti mencari sejarah lahirnya cadar atau beberapa tradisi masyarakat tertentu yang dikaitkan ke masalah syari’ah, agar menggoncang pembahasan yang telah ditetapkan oleh ulama sebagai ahlinya. Cadar wanita bisa jadi berasal dari tradisi masyarakat selain Arab, bisa pula wanita bercadar sudah menjadi tradisi masyarakat Arab Jahiliyah, baik untuk membedakan antara wanita merdeka dengan budak sahaya, atau terdapat maksud lain.
Namun fenomena perbedaan asal-usul wanita bercadar, tidak penting dijadikan perdebatan apalagi sampai mengecam agama dan mencaci masyarakat tertentu. Permasalahan cadar tak terlepas dari mana asal usulnya yang sudah menjadi pembahasan ulama klasik, bahkan dari masa Nabi Muhammad SAW.
Penuturan ini, tentu tidak menafikan asal-usul cadar wanita dari masyarakat non-Arab dan jauh sebelum masuknya agama Islam. Namun asal-usul tersebut tidak menjadi hambatan terhadap pembahasan ulama terkait masalah cadar wanita muslimah sejak dahulu. Pembahasan cadar baik yang mewajibkan atau yang membolehkan ialah untuk maslahat umum, tidak tertuju hanya kepada individu atau kelompok dan keluarga tertentu. Adanya pembahasan cadar wanita sebab mengkaji beberapa ayat al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, pembahasan cadar sebagai penutup wajah, menjadi pembahasan Islam sejak turunnya al-Qur’an.
Cadar adalah kain penutup kepala yang diletakkan oleh para perempuan pada ujung hidungnya dan menutup wajah dengannya. Dasar dari penggunaan cadar adalah untuk menjaga perempuan sehingga tidak menjadi fitnah dan menarik perhatian laki-laki yang bukan mahramnya. Wanita Muslimah disyariatkan untuk menutup wajah mereka di depan lelaki ajnabi (non-mahram).
Penyunting: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply