Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Biyanto: Karakter Muslim Moderat Itu Progresif

Moderasi

Ada banyak definisi tentang Islam moderat. Di antaranya ialah mengambil jalan tengah di antara dua sifat buruk, dan mengedepankan sikap pertengahan dalam hal sikap, pemikiran serta perilaku keagamaan. Namun di antara semua definisi yang ada, definisi yang agaknya sesuai dengan spirit Muhammadiyah adalah definisi yang dibuat oleh John L. Espasito, terutama dengan jargon Islam Berkemajuan-nya. Ia mengartikan muslim moderat sebagai muslim yang progresif.

Hal ini disampaikan Biyanto dalam Seminar Nasional Munas Tarjih yang digelar pada Sabtu (5/12).

Menurutnya, Islam Berkemajuan atau yang jamak kita sebut sebagai Islam Progresif adalah Islam yang selalu melihat ke depan. Meskipun baginya, melihat ke belakang juga adalah hal yang sama penting.

“Melihat ke belakang itu penting untuk inspirasi. Tapi tentu tidak boleh terlalu banyak kita menengok ke belakang. Karena yang di belakang itu adalah bagian dari masa lalu dan yang sangat kita pentingkan adalah bagaimana kita membangun masa depan.”, ujarnya

Mengutip Espasito, ia juga menyebutkan bahwa karakter muslim moderat yang lain ialah berlawanan dengan konservatisme, tradisionalisme dan fundamentalisme. Karenanya, jika ingin disebut muslim moderat, kita harus progresif dan liberal dalam artian menggunakan nalar dalam memahami agama.

Mengapa Moderasi Itu Penting?

Pertama, moderasi beragama penting untuk menyelamatkan umat Islam dari sikap berlebih-lebihan dalam beragama. Karena Allah melarang kita untuk demikian. Al-Qur’an menyebutnya dengan istilah ghuluw. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Q.S. an-Nisa ayat 171 dan Q.S. al-Maidah ayat 77.

Kedua, ia juga ditekankan oleh Rasulullah dalam beragam kesempatan. Salah satunya melalui dengan hadisnya yang berbunyi, “Iyyakum wal ghuluww. Fainnama ahlaka man kana qoblakum al-ghuluw fi ad-din” (jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan Karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian itu hancur disebabkan oleh sikap mereka yang berlebihan dalam beragama”.

Baca Juga  Hari Guru Nasional 2024: Peran Guru Mewujudkan Indonesia Emas

Ketiga, alasan mengapa moderasi itu menjadi penting, menurut Guru Besar UIN Surabaya tersebut (berdasar pengataman dan bacaannya), karena dalam hampir seluruh sejarah perababan umat selalu diwarnai dengan dialektika pemikiran keagamaan.

“Meminjam istilah Hegel, selalu ada dialektika antara tesis, kemudian anti-tesis, dan lalu kemudian sistesis. Sintesis itulah sesungguhnya moderasi, jalan tengah.”, jelasnya.

Keempat, moderasi menjadi penting karena di zaman ini ada tren dari umat Islam untuk memutlakkan pendapatnya masing-masing dan menganggap pendapatnya lah yang paling benar.

“Banyak yang bisa kita amati, terutama di lingkungan umat Islam kita di Indonesia. Masing-masing orientasi ideologi keagamaan atau faham keagamaan yang muncul dan berkembang itu pada level tertentu terlalu semangat saling memutlakkan pendapatnya dan dianggap pendapat paling benar. Padahal ulama kita itu kalau menulis karya ilmiah dan memberikan fatwa keagamaan, selalu mengakhir dengan ungkapan, “Allahu a’lam bi ash-shawab (Allah yang lebih tahu mana yang benar).”, imbuhnya.

Kelima, moderasi bisa menggantikan program deradikalisasi dalam meng-counter radikalisme dan terorisme.

“Saya mengikuti beberapa pandangan elit Muhammadiyah. Sejak orde Prof. Din Syamsuddin, lalu kemudian orde Prof. Haedar Nashir, sangat konsisten melawan deradikalisasi dan mencoba menawarkan moderasi beragama. Karena moderasi beragama dianggap lebih manusiawi, lebih mengedepankan dialog yang nir-kekerasan dan tidak menjadikan mereka yang menjadi sasaran kegiatan itu menjadi orang yang terstigma radikal.”, tutupnya.

Reporter: M. Bukhari Muslim