Kini, eksplorasi dan eksploitasi bumi dengan segala kekayaannya terus meningkat. Sementara usaha dan upaya untuk melindungi dan menjaganya terlihat sangat minim. Penebangan hutan merajalela, sehingga tidak heran jika tiap tahunnya kita merasakan bencana asap di beberapa daerah. Tahun 2020, saat ini, kita merasakan suhu di bumi yang naik 4 derajat celsius.
Hal ini berdampak pada naiknya permukaan laut, banyaknya badai, dan munculnya penyakit-penyakit baru. Padahal penyakit yang mematikan seperti HIV AIDS saja belum juga ditemukan penawarnya. Kita sudah harus siap menghadapi pandemi yang belum juga usai. Demi Allah, yang jiwa dan raga kita berada di dalam genggaman Nya, tak ada tempat yang bisa kita pilih sebagai persembunyian, pelarian, dan elakan.
Kerusakan Moral
Perasaan takut dan was-was kerap menghampiri, bahkan sering menyerang kita secara tiba-tiba. Hal yang seharusnya sepele menjadi bertele-tele, sederhana menjadi demikian rumit, dan hal yang seharusnya mudah menjadi susah. Pergunjingan merajalela, keburukan dipertontonkan, kebenaran diperebutkan, dan banyak orang mengklaim sebagai sosok yang paling benar.
Akhirnya, banyak yang merasa direndahkan, dipojokkan, lalu menyatakan jiwanya tidak siap membabi buta dan menyalahkan atas nama ‘kesulitan hidup’. Tidak hanya itu, kita bahkan nyaris tidak bisa menyebutkan banyaknya kerusakan-kerusakan yang terjadi. Mulai dari moral hingga alam ini. Cukuplah! Mari kita sudahi kerusakan ini, terutama kerusakan moral, etika, atau akhlak. Sebab jika moral kita telah rusak, alam ini akan menjadi sasaran atas tindakan tak bermoral itu.
Mari kita sekedar bertanya pada hati kita, sesungguhnya, sedang bagaimanakah kondisi bumi saat ini? Sungguh, kondisinya adalah chaos, alias kacau. Kita menemukan kejahatan yang beruntun, silih berganti, kerusakan beritngkat-tingkat, dan penyakit bertambah-tambah. Bahkan sedihnya, batas antara kebenaran dengan kesalahan mulai kabur, antara halal dan haram menjadi dekat, tipis, hingga akhirnya menghilang.
Kita mudah menemukan perkara yang haram telah dihalalkan, dan sebaliknya, yang halal malah dikerjakan. Na’udzbillah. Setelah semua kejadian, kerusakan, akan tiba masa di mana kekacauan berada pada puncaknya. Kerusakan menjadi kehancuran, kehidupan musnah dan punah.
Masa tersebut adalah masa di mana hidup kita telah berakhir. Tak ada tempat lagi untuk berpijak selain amal. Peristiwa dahsyat tersebut dijelaskan dalam al-Quran:
“Jika matahari digulung, jika bintang-bintang berjatuhan, dan jika gunung-gunung dihancurkan, dan jika unta-unta yang hamil ditinggalkan, dan jika binatang-binatang liar dikumpulkan, dan jika lautan meluap, dan jika ruh-ruh dipertemukan dengan tubuh, dan jika bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena kesalahan apakah ia dibunuh, dan jika catatan-catatan amal perbuatan manusia mulai dibuka, dan jika langit dilenyapkan, dan jika neraka jahim ditanyakan, dan jika surga didekatkan. “(Qs. At-Takwir 1-13)
Ke Mana Kita Pergi?
Sungguh, keberadaan kiamat nyata adanya, dan masanya akan tiba. Tanda-tandanya semakin jelas kita saksikan, semakin banyak, dan semakin nyata. Bencana-bencana yang terjadi, sungguh, hal ini menunjukkan bahwa waktu itu akan tiba. Pertanyaannya, dengan segala kekacauannya, di manakah posisi kita? Apakah di antara barisan orang-orang yang membuat kerusakan? Apakah hati kita juga dipenuhi iri? Apakah kita juga termasuk orang-orang yang senang membicarakan keburukan saudara kita, memakan bangkainya? Apakah menjelang waktu itu tiba kita berdiri di barisan orang-orang yang terus menerus berbuat kerusakan dan maksiat?
Allah bertanya kepada kita pada Q.S. at-Takwir ayat 26, “Fa aina tadzhabun? Maka, kemana engkau akan pergi? Kemana kita akan pergi?”. Allah, melalui kitab suci al-Quran bertanya kepada kita, menegur, hendak ke mana kita melangkah? Apakah terus menerus melangkah di jalan keburukan, atau memulai berlari menuju Nya?
Kita adalah tamu di dunia ini yang menginap dalam waktu tertentu. Laksana seorang penghutang yang akan dimintai bayaran. Waktu akan terus berjalan, yang terjadi tak akan kembali. Suka dengan duka yang kemarin akan menjadi sejarah. Ucapan yang telah terucap telah dicatat, begitu pula dengan sikap kita. Waktu bergulir, catatan tidak akan berubah, semua telah dicatat.
Hendak ke mana kita kini? Apa yang akan kita lakukan? Meski hari itu belum datang, bukankah cepat atau lambat ia tetap akan datang? Menagih waktu yang telah diberi-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Jumuah ayat 8, al-An’am ayat 2, an-Nisa ayat 78, dan al-Ankabut ayat 57. Kita tak memiliki ilmu tentang kematian, namun dia bisa mendatangi kita kapan pun Allah berkehendak.
Maka, jika hari ini kita mulai berlari menuju Tuhan, Tuhan pasti menyambut kita dengan kebahagiaan. Berjalan lah menuju cahaya-Nya, maka jalan itu tak akan pernah padam. Rintangan, godaan pasti menghampiri, namun bukankah memang menuju-Nya memang sangat sukar? Berlarilah menuju Tuhan, maka kedamaian pasti datang.
Editor: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply