Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Berguru Pada Farid Esack: Pluralisme dan Hermeneutika

Sumber: https://taz.de/Muslimischer-Theologe-an-Hamburger-Uni/!5378116/

Salah satu kemampuan manusia yang membedakannya dengan makhluk hidup lainnya adalah kemampuan berpikir. Karena keniscayaan manusia untuk berpikir dan mentransformasikan pemikiran-pemikirannya, maka tak pelak lagi, laju perkembangan dan peradaban manusia kian masa kian canggih.

Seperti dua sisi mata uang, pemikiran manusia akan bermanfaat jika digunakan untuk hal-hal yang positif. Tapi, manakala pemikiran manusia digunakan untuk hal-hal yang negatif, maka tunggulah, pasti akan terjadi kerusakan. Seperti kesenjangan, ketidakadilan, ketimpangan, dehumanisasi dan ragam persoalan manusia lainnya. Belum lagi permasalahan yang muncul ketika memasuki era kontemporer, begitu kompleks.

Permasalahan-permasalahan manusia di era kontemporer, ditandai dengan merebaknya beragam jenis kejahatan. Misalnya, fenomena pejabat korup, begundal-begundal neo-colonialism, kemiskinan merajalela, ketimpangan sistem negara dan berbagai penindasan yang terjadi di mana-mana.

Parahnya, manusia yang tertindas, dididik agar diam tak melawan kepada sistem yang mendominasi. Penindasan ini dipoles dengan indah agar tak nampak. Ketika tampak, seolah-olah penindasan tersebut karena kesalahan manusia yang ditindas. Sungguh menyedihkan. Ironi manusia, yang katanya makhluk sempurna.

Hanya ada dua pilihan: melawan atau dibinasakan. Itulah dua pilihan yang diperhadapkan kepada orang-orang tertindas. Mereka serba salah. Mayoritas memilih bungkam, enggan melawan. Sebagian yang lain mencoba melawan, salah satu dari tokoh yang melakukan perlawanan itu adalah Farid Escak.

Maulana Farid Ishaq atau yang populer dengan nama Farid Esack merupakan sarjana muslim berkulit hitam asal Afrika Selatan. Ia hidup di tengah rezim yang menerapkan sistem apartheid. Sistem pemisahan ras kulit hitam, kulit berwarna dan kulit putih yang diterapkan oleh pemerintah kala itu di Afrika Selatan. Bermula sejak sekitar awal abad ke-20 sampai tahun 1990.

Selain hidup dalam kondisi ekonomi di bawah rata-rata alias miskin, Farid Esack tumbuh di lingkungan yang majemuk. Teman-temannya lintas Iman. Mulai dari Yahudi, Kristen, Baha’i dan kepercayaan-kepercayaan lainnya. Ia juga pernah mengalami kenyataan pahit. Ibunya pernah menjadi korban pemerkosaan. Dan di usia remaja, ia dipenjara karena mencoba melawan rezim. Hal ini sangat memilukan.

Baca Juga  Mengenal Muhammad Syahrur dan Teori Hermeneutikanya

Pluralitas dan Perjuangan

Dalam kondisi seperti ini, tak menyurutkan minat Farid Esack untuk tetap bersekolah. Meski tanpa buku-buku yang memadai dan bertelanjang kaki. Hingga akhirnya, ia mendapatkan gelar Ph.D-nya di sebuah kampus ternama di Inggris. Dengan konsentrasi Tafsir al-Qur’an. Setelah itu, ia lalu melanjutkan Postdoctoral di Georgen Graduate School of Philosophy and Theology di Frankurt-Jerman. Dengan konsentrasi Biblical Hermeneutics.

Setelah menyelesaikan studi, Farid Esack kemudian pulang kampung. Pada waktu inilah, ia berusaha mewujudkan cita-cita mulianya. Yaitu ingin mengubah Afrika Selatan. Antara tahun 1984-1989 ia ditunjuk sebagai kordinator Nasional The Call of Islam. Dan turut andil dalam organisasi-organisasi kemanusiaan lainnya. Karena kepiawaiannya dalam menulis, pemikiran-pemikirannya tersebar di koran dan majalah di Afrika Selatan.

Hasilnya, ia menjadi sosok sentral yang memperjuangkan kebebasan untuk bangsanya. Konflik suku, rasdan agama coba ia selesaikan menuju Afrika Selatan yang baru. Kaum minoritas di Afrika Selatan seperti Muslim, Hindu dan Yahudi mendapatkan hak yang sama dengan golongan kulit putih dan hitam pasca-Apartheid.

Yang terpenting bagi Farid Esack adalah kontribusi dan komitmen kolektif dalam memperjuangkan gerakan anti-Apartheid. Bersama-sama berusaha menghilangkan fanatisme ras, kelompok dan agama. Kemudian, menyerukan agar malawan kejahatan kemanusiaan, kesewenang-wenangan, penindasan dan semua bentuk kezaliman.

Khususnya tiga penindasan: rasialisme, patriarkhi dan kapitalisme. Farid Esack menuntut keadilan sosial atas nama kemanusiaan dan Agama. Seruan ini ditujukan kepada semua umat muslim tanpa terkecuali. Hal ini sebagai kecaman atas segala bentuk tirani dan penindasan.

Perlawanan yang dirintis oleh Farid Esack ini nantinya, dikenal dengan istilah Teologi Pembebasan. Sebuah konsep yang lahir dari sintesis dua model pemikiran. Yaitu antara teologi Islam klasik (ilmu kalam) dan model pembacaan (baca: konstruksi epistemik-interpretatif) terhadap al-Qur’an.

Baca Juga  Jujur Hanya Karena Allah

Dengan semangat qur’ani, bagi Farid Esack, berteologi bukan hanya mengurusi masalah surga dan neraka. Akan tetapi, berteologi yang sesungguhnya ialah bagaimana sebagai umat  beragama mengejawantahkan nilai-nilai ketuhanan yang universal. Yaitu mengasihi sesama makhluk Tuhan tanpa terkecuali.

Hermeneutika Farid Esack

Dalam kajian keislaman, ada sebuah adagium yang sangat mempengaruhi kalangan pemikir muslim. Sehingga, mereka begitu gigih menyelami makna dan pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an. Adagium itu ialah “Al-Qur’an Solih likulli Zaman wa Makan”. Al-Qur’an diyakini sebagai kitab suci yang relevan untuk setiap waktu dan tempat.

Hermeneutika Farid Esack merupakan ramuan dari tiga model pemikiran. Pertama, terilhami dari konsep teologi pembebasan yang dipopulerkan Gueterriez dan Segundo. Kedua, dari konsep teologi Islam klasik. Dan ketiga dari pemikiran Arkoun dan Fazlur Rahman.

Farid Esack tidak lagi menyoal bagaimana memproduksi makna dari teks, melainkan berusaha agar makna al-Qur’an secara aplikatif bisa terealisasi. Hal ini dapat berimplikasi pada perubahan dalam kehidupan beragama. Betapapun, indahnya sebuah makna yang ditangkap, jika tak bisa diaplikasikan secara nyata, maka tak ada gunanya.

Berguru pada Farid Esack

Ada beberapa hal yang bisa dijadikan hikmah atau falsafah hidup, dari pemikiran dan riwayat hidup Farid Esack yang telah di uraikan secara singkat di atas.

Pertama, Farid Esack dan lingkungan kecilnya. Di sini kita dapat mengambil hikmah bahwa penindasan akan terus dirasakan oleh kalangan bawah dan minoritas. Tugas kita, jika tidak berada di posisi mereka adalah dengan menjadi pengayom, bukan malah menjadi penindas. Di sisi lain, bahwa pluralitas merupakan suatu keniscayaan dan tak dapat dihindarkan. Maka, sebagai makhluk yang plural baik dari segi suku, agama dan ras, kita harus terbuka dalam berpikir dan bergaul.

Baca Juga  Tafsir Q.S. Al-Mu’minun Ayat 27: Hikmah Peristiwa Banjir Nabi Nuh

Kedua, Farid Esack dan perjalanan intelektualnya. Ia begitu antusias dalam belajar, walaupun dalam keadaan bertelanjang kaki dan buku-buku seadanya. Sampai ia bisa meraih gelar tertinggi dalam dunia pendidikan. Semangat inilah yang wajib kita miliki.

Ketiga, Farid Eack dan perlawanannya. Pada fase ini kita diajarkan bahwa membentuk sebuah perlawanan harus dengan menggunakan kepiawaian. Ini terlihat kala ia dipenjara. Ketika berusaha melakukan perlawanan terhadap rezim. Ia dipenjara karena belum mempunyai “senjata” yang cukup untuk melawan. Namun, ketika dia merasa bahwa “persenjataannya” telah cukup untuk melawan, maka dimulailah perlawanannya.

Tidak berlebihan jika Farid Esack dikategorikan sebagai salah satu tokoh muslim progresif era kontemporer yang cukup berpengaruh. Predikat itu layak dimilikinya. Dari seorang yang begitu merasakan kesulitan hidup menjadi seorang tokoh pembebasan. Melalui Afrika Selatan untuk seluruh umat manusia. Dari paham teosentris yang kaku, menuju nilai-nilai ketuhanan yang universal. Dan dari al-Qur’an untuk dunia. Wallahu a’lam.

Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho

Asrul Syam
Mahasiswa Pascasarjana (S2) Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mari berteman IG @asrul_syaam.