Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Berbaik Sangka Kepada Allah

berbaik sangka
sumber: unsplash.com

Sudah tabiat manusia, bila ia tertimpa kesenangan, ia merasa bahagia. Sedang saat ia ditimpa musibah, bencana, rasa sakit maupun kelaparan, ia dengan segera kembali pada Tuhan-Nya. Di saat manusia tertimpa musibah, atau bencana, tidak sedikit pula yang meninggalkan bahkan melupakan Tuhan-Nya. Pada waktu tidak tertimpa musibah, orang bisa sedemikian dekat dengan Tuhan-Nya. Namun, di saat ada musibah, ada pula orang yang berubah meninggalkan Tuhan-Nya. Itulah sifat makhluk, sifat hamba yang bergantung pada Tuhan.

Gambaran manusia yang begitu kontras tadi sering kita jumpai dalam kehidupan kita juga. Seorang karyawan bisa sangat baik dengan pimpinan saat kondisi normal. Tetapi jarang kita jumpai karyawan yang loyal saat perusahaan sedang tertimpa krisis atau hampir jatuh. Karyawan ini pun bisa dengan cepat melupakan jasa-jasa perusahaan terhadapnya.

Tabiat makhluk memang berbeda dengan pencipta-Nya. Allah tidak pernah membeda-bedakan terhadap hamba-Nya. Tuhan juga tidak pernah meninggalkan hamba-Nya saat musibah terjadi. Tuhan menyelamatkan orang dari bencana menurut yang Dia kehendaki.

Ketika bencana terjadi, kita tidak bisa serta merta menyalahkan Tuhan. Orang yang begitu saja menyalahkan Tuhan, memiliki kecenderungan bahwa apa yang telah terjadi yang tidak baik baginya selalu ditolak. Sementara yang baik baginya, akan diterima dari Tuhan. Ini adalah contoh bahwasannya kita (manusia) sering tidak berkenan dengan takdir yang buruk dari Tuhan.

Ibnu Athailah As-Sakandari dalam kitabnya Al-Hikam menulis: “Jangan mengadukan musibah kepada selain Allah, karena Allah semata yang menurunkannya. Bagaimana mungkin selain Allah dapat mengangkat musibah yang telah ditetapkan-Nya?” 

Kebanyakan manusia memang tidak selalu bisa sabar dalam menghadapi musibah. Orang sering berpaling bahkan menyalahkan Rabbnya saat ia ditimpa musibah. Padahal kebanyakan musibah atau bencana datang dari kelasahan manusia. Tidak sedikit saat bencana hadir di tengah mereka, mereka tidak ingat Tuhan, mereka justru meninggalkan perintah Tuhan.

Baca Juga  Feedback Perbuatan Baik Manusia

Sebagai orang beriman, mestinya ketika musibah atau bencana datang, kita menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Allah yang menguasai langit dan bumi, yang mendatangkan musibah, yang mengatur bumi ini. Kita harus memiliki keyakinan bahwa setiap musibah yang datang kepada kita adalah agar manusia bersandar kepada Rabb-nya.

Tuhan telah memberikan peringatan yang cukup keras berkaitan dengan musibah. Dalam sebuah hadist riwayat At-Thabrani dan Ibnu Asakir, Allah berfirman “Siapa saja yang tidak rela menerima ketetapan-Ku (takdir-Ku) dan tidak sabar menghadapi ujian-ujian-Ku kepada dirinya, silahkan dia mencari Tuhan selain Aku.”

Dalam situasi sulit saat bencana orang beriman hendaknya menyandarkan sepenuhnya pada ketetapan Allah. Kita mesti meyakini bahwa ujian, cobaan dan juga bencana adalah untuk menguji hambanya, untuk meningkatkan ketaatan kita kepada Tuhan. Pada saat bencana menimpa itulah, kita akan mengenali bahwa siapa hamba yang taat hanya saat senang, dan hamba yang taat di setiap kondisi (baik dan buruk).

Tidaklah mungkin Tuhan mendatangkan bencana atau ujian untuk menyiksa manusia tanpa sebab. Bencana diciptkan Tuhan agar manusia semakin dekat dengan Tuhannya. Walau yang terjadi sebaliknya. Di saat bencana hadir, justru kecenderungan untuk tidak taat, atau meninggalkan Tuhan sering terjadi dalam kehidupan kita.

Adanya wabah Covid-19 yang membuat semua orang di seluruh dunia kelimpungan adalah gambaran mengenai betapa lemahnya manusia. Betapa kecil dan tidak kuasanya kita melawan makhluk yang teramat kecil namun bisa mematikan. Tuhan tidak malu untuk membuat perumpamaan seekor nyamuk agar manusia memahami, mengerti bahwa dirinya, kekuasaannya, serta karakternya adalah lemah, tidak berdaya, dan senantiasa membutuhkan perlindungan dari Tuhannya.

Ketika belum sampai ke Indonesia, banyak orang, bahkan pejabat meremehkan wabah ini. Menganggap corona bisa hilang sendiri di indonesia. Menganggap bahwa korona seperti flu biasa. Namun, saat wabah ini sampai ke Indonesia, banyak orang terbelalak, kaget dan tentu saja tidak siap saat menghadapi wabah ini. Pemerintah pun tidak bisa membendung saat wabah sudah menyebar ke seluruh negeri ini. Inilah potret bahwa kita belum sepenuhnya yakin kepada Allah. Kita sering mempermudah dan abai terhadap perkara besar seperti wabah ini.

Baca Juga  Tafsir Tematik (3): Mencintai Allah dengan Mengikuti Nabi

Ketika kita tidak memiliki pengalaman sama sekali dalam penanganan wabah pandemi, dan kita cenderung meremehkan, mestinya kita bersikap waspada dan berhati-hati. Ketidakhati-hatian kita dan sikap kita yang sembrono dengan meremehkan wabah korona ini, yang pada akhirnya membawa kerugian kepada diri kita sendiri.

Ibnu Athailah membagi manusia menjadi dua golongan yakni golongan khusus dan golongan awam. Golongan khusus adalah orang yang berbaik sangkat kepada Allah atas sifat-sifat baik-Nya. Sementara golongan yang umum adalah manusia yang berbaik sangka kepada Allah atas perlakuan-Nya yang baik terhadap diri mereka, berupa karunia dan nikmat yang telah diberikan-Nya kepada mereka.

Kebanyakan manusia termasuk kepada golongan yang umum yakni yang berbaik sangka saat perkara baik menimpanya. Sementara saat mereka menerima perkara buruk, mereka cenderung berburuk sangka kepada Tuhannya.

Ada baiknya kita merenungi apa yang dituturkan oleh Ibnu Athaillah : “Sungguh mengherankan orang yang ingin menghindari Allah dengan tidak melakukan apa yang ditetapkan-Nya untuknya dan lebih suka mencari dunia dan perkara-perkara selain-Nya karena mengikuti hawa nafsu.”

Sikap kita menghadapi musibah mencerminkan kejernihan akal dan juga hati kita. Bila kita sabar dan tawakal kepada-Nya, tentu Tuhan akan membimbing dan menyelamatkan kita. Sebaliknya bila kita berpaling, mengabaikan dan meninggalkannya, maka kita telah buta mata hatinya. Sikap berbaik sangka kepadanya di setiap peristiwa akan menjadikan kita semakin dekat dan taat pada segala ketentuan dan ketetapan-Nya. Begitu pula sebaliknya, sikap berburuk sangka kepada-Nya justru akan semakin membuat kita semakin terpuruk dan menutup mata hati kita.

Editor: Ananul

Arif Saifudin Yudistira. Lahir di Cilacap, 30 Juni 1988. Esais dan Peresensi Buku. Alumnus Universitas Muhammadiyah Surakarta, Pengasuh MIM PK Kartasura, Pegiat Bilik Literasi SOLO. Ketua Sarekat Taman Pustaka Muhammadiyah Rumpun Komunitas. Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo