Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Beragama di Negara Pancasila

Pancasila
Sumber: crcs.ugm.ac.id

Indonesia masih tergolong baru menjadi sebuah bangsa dan masih muda dalam bentuknya sebagai negara. Usianya pun belum sampai satu abad. Oleh sebab itu, bangsa ini mesti kita ruwat dan rawat. Dalam merawatnya pun tak mudah. Sebab, negara ini terdiri dari beribu pulau, polibahasa, bejibun etnis, dan agama yang pusparagam. Setidaknya ada enam agama—tidak termasuk kepercayaan lokal–yang diakui secara resmi. Di antaranya Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu.

Kendati Islam menjadi agama mayoritas negara ini, bukan berarti secara otomatis Indonesia berubah menjadi sebuah negara Islam. Sebab, Indonesia bukanlah negara agama yang hanya mengakui satu agama saja. Indonesia juga bukan negara sekuler yang menyampakkan keyakinan atas suatu entitas yang Maha Agung. Tetapi, Indonesia adalah negara Pancasila yang memperlakukan masing-masing pemeluk agama secara sama sebagai warga dan bangsa Indonesia.

Beragama dalam Bingkai Kebinekaan

Telinga bangsa ini barangkali sudah tidak asing lagi mendengar sasanti yang dicengkeram erat oleh burung garuda yang sekaligus menjadi lambang negara. Adalah Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan formulasi agar masyarakat, khususnya umat beragama di negara ini tidak saling menghakimi, mencaci, hingga yang lebih ekstrim, yaitu saling bunuh.

BTI (Bhinneka Tunggal Ika) ini terdapat dalam karya sastra karangan Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma-nya. Siapa yang mengira bahwa dari kitab tersebut terdapat suatu pesan yang futuristik perihal hidup berdampingan dalam kebinekaan. Mpu Tantular merupakan seorang penganut Buddha yang hidup di lingkungan kerajaan Majapahit yang mayoritas Hindu. Namun, Mpu Tantular tetap merasa aman hidup di lingkungan tersebut. Pesan yang ditulis pada abad ke-14 ini berbunyi:

“Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”. Konon agama Buddha, Hindu, dan Siwa merupakan zat yang berbeda. Namun nilai-nilai kebenaran Jina (Buddha), Hindu, Siwa adalah tunggal. Terpecah belah, tetapi satu jualah itu. Artinya tak ada dharma yang mendua (Fikih Kebinekaan, 2015).

Baca Juga  Peradaban Manusia dalam Al-Qur'an: Panduan Menuju Kemajuan dan Kedamaian

Beragama dalam Keberagaman

Islam merupakan agama wahyu mutakhir yang ditujukan sebagai penyempurna atas apa yang sudah pernah diturunkan sebelumnya. Sebagaimana tujuan diutusnya pembawa risalah terakhir, yakni sebagai rahmat sekalian alam (QS al-Anbiya: 107). Ibarat gadget, Islam merupakan produk yang lebih lengkap dan keluaran teranyar dengan fitur-fiturnya yang canggih.

Barang tentu, Islam juga menganjurkan agar umatnya saling menghargai, mengenal, dan mengambil pelajaran yang baik atas segala perbedaan yang niscaya. Hal ini berlaku bukan hanya untuk sesama muslim, melainkan juga berlaku terhadap mereka yang lintas iman. Anjuran ini pun termaktub dalam al-Quran, yang salah satunya terdapat pada surat al-Hujurat ayat 13, artinya:

“Wahai segenap umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu pada sisi Allah adalah yang paling takwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”

Sekiranya Tuhan berkehendak menciptakan satu golongan saja, tentu itu bukanlah hal yang mustahil. Akan tetapi, Tuhan punya maksud lain dengan menciptakan golongan dari berbagai suku, bangsa hingga agama. Supaya kita saling mengenal. Dan salah satu cara untuk saling mengenal tersebut adalah dialog lintas iman (interfaith dialogue).

Jangan sampai dialog tersebut diselewengkan dengan memojokkan, mencela atau memperolok-olok keyakinan yang lain. Sebagaimana pesan al-Quran pada ayat 11 dalam surat yang sama (QS al-Hujurat: 11), yang artinya:

“Hai orang-orang yang heriman, janganlah suatu golongan melecehkan golongan lain, karena boleh jadi, mereka (yang dilecehkan) lebih baik dari mereka (yang melecehkan”.

Pesan moral tersebut, dengan terang mengatur etika dalam berdialog. Menekankan pada prinsip syura, toleransi, dan tidak memaksakan ego yang berujung pada ketidakrelaan. Sehingga, dialog pun diharapkan berjalan dengan harmoni, bukan sebaliknya, yakni kakofoni.

Baca Juga  Keutamaan Syahadat dalam Al-Qur'an

Tak Ada yang Berhak Menjadi “Polisi Akidah”

Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dalam kaitannya dengan agama bersifat netral. Ia tidak memihak pada yang mayoritas atau minoritas. Melainkan memberikan hak yang sama atas semua umat beragama. Hal demikian tercermin dalam isi sila pertama yang menyatakan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari sila tersebut, tidak ada perlakuan khusus terhadap suatu agama tertentu.

Ditambah lagi dengan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (Pasal 29 UUD 1945). Oleh karena itu, tidak ada yang berhak menjadi “polisi akidah” yang melancarkan tindakan kekerasan kepada yang berbeda golongan.

Hal tersebut tidak berkesesuaian dengan sila kedua dan ketiga Pancasila. Oleh sebab itu, beragama di negara Pancasila haruslah menekankan pada prinsip kemanusiaan. Dan mengacu pada Pancasila yang telah menjadi titik temu dari berbagai perbedaan yang ada di bumi nusantara ini.

Editor: M. Bukhari Muslim