Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Benarkah Dakwah Da’i Era Kekinian Sesuai Al-Qur’an?

dakwah
Sumber: https://www.freepik.com/

Sejarah telah mencatat bahwa akhir-akhir ini memang banyak para da’i yang dakwahnya keras. Bahkan ada yang secara terang-terangan materinya menampar pihak-pihak tertentu di depan publik atau jamaahnya. Mengingat para da’i atau tokoh agama yang seharusnya menjadi suri tauladan dalam kebaikan; kenapa malah menjadi bahan perbincangan jelek di khalayak atau masyarakat umum.

Tentu, hal ini merupakan“PR” besar buat kita semua untuk menelisik jejak intelektual mereka. Karena boleh jadi, da’i-da’i yang muncul dadakan di era kekinian mempunyai misi-misi tertentu untuk meruntuhkan Islam, alih-alih mengadu domba terhadap sesama muslim dengan menggelorakan sikap kekarasan, provokasi dan semacamnya.

Deskripsi yang disorot di atas sekilas benar, tapi di satu sisi terbantahkan. Karena masih banyak para da’i yang membumikan nilai-nilai Islam di Nusantara ini. Adapun terkait identifikasi masalah di atas, sebenarnya bukan Islam yang salah, melainkan manusianya yang salah dan gagal faham dalam memahami Islam itu sendiri. Alih-alih, hanya melihat dan memahami  sebagian kecilnya saja.

Subjek Dakwah

Menyoal tentang subjek dakwah atau yang lebih dikenal dengan sebutan da’i tidak lain ialah orang yang menyampaikan pesan atau menyebarluaskan ajaran agama kepada masyarakat umum (publik). Sedangkan secara praktis, subjek dakwah (da’i) dapat dipahami dalam dua pengertian :

Pertama, da’i adalah setiap muslim/muslimat yang melakukan aktifitas dakwah sebagai kewajiban yang melekat dan tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam sesuai dengan perintah “balligu ‘anni walau ayat”.

Menurut pengertian ini, semua muslim termasuk dalam kategori da’i, sebab ia mempunyai kewajiban menyampaikan pesan-pesan agama setidak-tidaknya kepada anak, keluarga atau pada dirinnya sendiri. Walhasil, pengertian dakwah semacam ini lebih bersifat universal, karena semua orang Islam termasuk dalam kategori da’i.

Kedua,  da’i dialamatkan atau disematkan kepada mereka yang memiliki keahlian tertentu dalam bidang dakwah Islam dan mempraktekan keahlian tersebut dalam menyampaikan pesan-pesan agama dengan segenap kemampuannya baik dari segi penguasaan konsep, teori, maupun metode tertentu dalam berdakwah. Pengertian da’i ini lebih spesifik dibandingkan pengertian yang pertama, sebab yang termasuk dalam kategori da’i  di sini hanyalah mereka yang secara khusus menekuni bidang dakwah yang dilengkapi dengan ilmu-ilmu pendukungnya

Baca Juga  Sekilas Memahami Keutamaan Zakat dalam Islam

Metode Dakwah Menurut Al-Qur’an

Pernahkah kita berfikir, kenapa umat Islam di sebut dalam al-Qur’an (lihat: Qs. ali-Imran [3]:110) sebagai sebaik-baik umat (terbaik ketimbang umat terdahulu). Hal ini tidak lain karena Islam memiliki ciri khas amar ma’ruf nahi munkar atau sering disebut dengan istilah; selalu mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Adapun terkait metode dakwah dalam al-Qur’an landasan umum yang dijadikan  para ulama merujuk pada surah an-Nahl ayat 125 yang berbunyi berbunyi :

ادْعُإِلَىسَبِيلِرَبِّكَبِالْحِكْمَةِوَالْمَوْعِظَةِالْحَسَنَةِوَجَادِلْهُمْبِالَّتِيهِيَأَحْسَنُإِنَّرَبَّكَهُوَأَعْلَمُبِمَنْضَلَّعَنْسَبِيلِهِوَهُوَأَعْلَمُبِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk“.(QS. al-Nahl [16]:125).

Menurut Sayyid Qutub, ayat di atas merupakan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dasar dakwah, menentukan langkah-langkah (yang harus ditempuh), serta cara-cara (penyampaianya). Sebab itu, idealnya para juru dakwah dalam menyampaikan dakwahnya hendaklah memperhatikan peraturan-peraturan dakwah yang telah disyari’atkan Allah di dalam kitab suci al-Qur’an. (Sayyid Qutub, tafsir fi zhilal al-Qur’an, h. 2201)

Di satu sisi, ayat di atas jika ditelaah secara konseptual maka akan melahirkan tiga konsep metode dalam berdakwah, di antaranya meliputi metode dakwah bil-hikmah, metode bil-mauidhah al-hasanah dan metode mujadalah.

Pertama, metode bil-hikmah adalah dakwah yang dilaksanakan para da’i dengan jitu lagi bijaksana karena ilmu pengetahuannya yang mendalam, sehingga ia tuntas dan tepat dalam menghadapi lika-liku dakwah. Karena makna bi al-hikmah (dengan kebijaksanaan) itu meliputi cara atau taktik dakwah yang diperlukan dalam menghadapi golongan manapun. Dengan kata lain, hikmah diperlukan dalam menghadapi orang cerdik, pandai, golongan awam dan golongan di antara kedua itu.

Baca Juga  Membaca Al-Qur'an Layaknya Taman Bunga

Kedua, metode mau’izhah al-hasanah,secara umum metode al-mau’izhah al-hasanah adalah perkataan yang melunakkan jiwa seseorang yang diajak bicara (al-mukhatab) agar siap melakukan kebaikan dan menerima ajakan. Karena itu, al-mau’izhah mencakup motivasi, ancaman, peringatan dengan berita gembira. Artinya, tidak hanya memperhatikan persoalan materi, tetapi perlu juga memperhatikan kesusaian materi tersebut dengn kriteria atau golongan masyarakat  obyek dakwah. Oleh karena itu dakwah bi al-mau’izah al-hasanah harus dipahami oleh para da’i atau juru dakwah dengan cara memilih materi dakwah yang indah dan menyejukan bagi umat penerima dakwah.

Ketiga, metode mujadalah, metode mujadalah adalah suatu metode dakwah yang mengajak para audiensi untunk berdiskusi yang tetap memperhatikan nilai-nilai Islam (baca:akhlak berdiskusi), metode ini diterapkan apabila kedua metode di atas tidak mampu diterapkan dikarenakan  objek dakwah mempunyai tingkat kekritisan yang sangat tinggi seperti, ahli kitab, orientalis, filosof dan seterusnya.

Objek Dakwah

Tokoh pembaharu Islam Muhammad Abduh dengan berlandaskan al-Qur’an surah al-Nahl ayat 125 yang diisorot di atas, telah menyatakan bahwa secara garis besar umat yang dihadapi juru dakwah terbagi menjadi tiga golongan yang mana ketiga tersebut  harus dihadapi dengan cara yang berbeda. Berikut penjelasanya:

  1. Golongan para cendikiawan yang cinta kebenaran dan dapat berfikir secara kritis, cepat dan menagkap arti persoalan. Mereka ini harus dipanggil dengan hikmah yakni dengan alasan-alasan, dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh akal mereka.
  2. Golongan awam yakni orang-orang yang kebanyakan belum dapat berfikir kritis dan mendalam,serta belum mampu menangkap pengertian yang tinggi-tinggi. Mereka ini dipanggil dengan mau’izah hasanah, yakni dengan anjuran dan didikan yang baik dengan ajaran yang mudah dipahami.
  3. Golongan yang kecerdasannya di antara dua golongan tersebut, mereka suka membahas sesuatu tetapi hanya dalam batas tertentu dan tidak sanggup mendalami secara benar.
Baca Juga  Keutamaan Anak Perempuan dalam Al-Qur'an dan Hadis!

Sebagaimana uraian singkat di atas, setidaknya kita bisa menilai tentang metode dakwah yang digunakan para da’i di era kekinian, apakah sesuai dengan al-Qur’an atau justru sebaliknya. Dan penting kita ketahui, jika para da’i dalam dakwahnya sesuai dengan al-Qur’an, niscaya damailah Nusantara ini. Karena  dulu pada masa Nabi Muhammad, Rasulullah Saw dalam dakwahnya berpegang teguh pada prinsip-prinsip dakwah dalam al’Qur’an:

Berikut potret etika dakwah Rasulullah yang ia lakukan ketika berdakwah, yakni; tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan ( Qs. al-Baqarah [2]:44, al-shaff  [37]: 2-3), tidak mencerca sesembahan non-muslim ( Qs al-An’am [6]: 108), tidak melakukan kompromi dalam beragama ( Qs. al-Kafirun [109]:1-6), tidak memungut imbalan atau tamak terhadap harta (Qs. al-Saba [34]: 47, Qs. al-Syura[42]:109,127,145,164 dan 180, Qs. Hud [11]: 29 dan 51, tidak diskriminasi sosial (Qs. al-Saba [34]:1-2, Qs. al-An’am [6]:52, Qs. al-Kahfi [18]:28, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahuinya (Qs. al-Isra’[17]:360),  tidak berkawan dengan pelaku maksiat (Qs. al-Maidah [6]:78-79).

Sebagaimana penjelasan di atas, setidaknya dalam benak kita sudah mempunyai gambaran apakah metode dakwah para da’i di era kekinian benar-benar sesuai keterangan yang ada dalam al-Qur’an atau  justru sebaliknya kontradiktif dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Karena  dalam hal ini, penulis tidak berhak untuk mengklaim atau menghukumi pihak-pihak tertentu.

Editor: An-Najmi Fikri R