Istilah ateisme, menjadi sebabpemutarankembali memoar sejarah dakwah Nabi Musa‘Alaihi as-Salam. Dimensi sejarah beliau, tak lepas dari adanya campur tangan sosok penguasa lalim yg berkiprah dinegeri Mesir kala itu. Sosok yang paling ditakuti oleh para rakyat. Terpredikat sebagai seorang penguasa diktator nan arogan. Siapa lagi bila bukan sang Fir’aun yang hidup di zaman Nabi Musa. Ateisme legendaris yang tidak mengakui adanya Tuhan, tapi justru mendeklarasikan diri sebagai tuhan. Maka, pasca berhadapan dengan firman Allah terkait ikrar sakral yang terlontar dari lisan sang legendaris kejam tersebut, tepat pada QS. Yunus ayat 90, tetiba menerbitkan sebuah pertanyaan besar yang selama ini menghantui alam fantasi.
“Benarkah ada ateisme di muka bumi ini?” Sedangkan manusia yang mengaku tuhan saja masih membutuhkan Tuhan sang penjamin nyawanya. Dibuktikan dengan nafas keimanan yang terhembus di detik-detik terakhir tatkala maut hendak menjemput. Demikianlah rasa penasaran yang mengilhami adanya tulisan ini.
Semesta Raya, Isyarat Logis Adanya Sang Pencipta
Wajar saja, bilamana Fi’aun pada akhirnya mengakui adanya Tuhan yang disembah Bani Israil, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab, menjadi sebuah fitrah bahwa sejatinya manusia adalah mahluk yang butuh jaminan keselamatan. Tinggal kepada siapa ia meminta jaminan tersebut, kepada manusia yang suatu saat binasa, ataukah kepada Dzat yang tiada binasa. Amat disayangkan, terkadang karena faktor egoisme, manusia tiba-tiba tuli terhadap suara hati nurani, dan lebih memihak pada musuh kebenaran. Imbasnya, rasa dan rasio yang jernih pun menjadi keruh.
Kitab Minhaj Al-Muslim, dalam bab akidah telah sedikit menyinggung terkait logika adanya sang khaliq dengan makhluq. Mengajak kita untuk berfikir kembali bahwa eksistensi jagat raya ini tidaklah maujud secara cuma-cuma. Bahwa, segala konsep kehidupan mulai dari serasinya struktur galaksi, terbit dan terbenamnya mentari, hingga hikmah ilmiah dari fenomena erupsi gunung merapi, itu semua tak lepas dari adanya peran ‘Sang Maha Menghendaki’. Pastilah ada yang mengatur dan mengendalikan alam raya ini. Di luar kemampuan manusia manapun, dari kalangan apapun. Karena manusia tak ubahnya mahluk penuh keterbatasan, bahkan setingkat logikanya sekalipun, kawan.
Syaithanpun bertuhan, lho!
Hegemoni Fir’aun menghadirkan catatan kelam sejarah peradaban, dengan segala karakter antagonis yang berbuah keingkaran terhadap Tuhan. Tapi kawan, bukankah seingkar-ingkarnya seorang Fir’aun, masih kalah ingkarnya dengan syaithan?. Akan tetapi naasnya, mahluk paling ingkar tersebut ternyata tidak amnesia terhadap Tuhannya, Allah. Dan justru akan amat innocent terhadap para pengikutnya jika menganut ateisme ataupun menolak adanya Tuhan yang menciptakan syaithan. Hal tersebut dapat ditelisik pada salah satu ayat al-Qur’an, yakni QS. Al-Hasyr ayat 16:
كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلإنْسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِنْكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ
“(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) syaithan ketika dia berkata kepada manusia: “Kafirlah kamu”, maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam“.
Lantas, usaha apa lagi yang bisa dilakukan manusia setelah terperangkap bujuk rayu syaithan hingga di detik itu? Nothing.
Al-Qur’an mukjizat logis
Di era kini, sebagian besar mereka yang menolak adanya Tuhan berpandangan bahwa doktrin-doktrin keagamaan itu bertolak belakang dengan nilai humanisme, menyalahi kodrat, mengekang kehendak bebas manusia, tidak empiris, tidak logis dan sebagainya. Hingga muncullah beragam komunitas “free thinker” yang rupanya tengah eksis secara masif ditengah hiruk pikuk masyarakat. Mengkritisi segala aspek kehidupan berdasar kebebasan berfikir yang tak mengenal kendali. Bebas sebebas bebasnya. Ibarat ‘rem blong’ yang akan dengan mudah menabrak apapun didepannya tanpa pandang konsekuensi. Lebih-lebih lagi, didukung dengan gaung “Tuhan telah mati”, yang terlontar darilisan salah satu filsuf yang menolak adanya realitas ketuhanan atau ateisme, Friedrich Nietzsche.
Apabila berbicara terkait doktrin-doktrin agama, eratlah kaitannya dengan eksistensi kitab suci. Entah dari agama apapun itu. Sementara, realita telah membuktikan bahwa kitab suci yang mampu menjawab segala tantangan zaman dan akan selalu terjamin keabsahannya adalah al-Qur’an,yang sekaligus menjadi penyempurna bagi kitab-kitab samawi terdahulu. Sebuah kitab yang murni, tidak pula menyandang label ‘revisi’ apalagi terkontaminasi oleh egoisme politik konspirasi.
Seringkali, mukjizat agung yang diberikan kepada Rasulullah Muhammad itu menjadi sebuah hal yang absurd bagi mereka yang tidak beriman. Barangkali,yang dikehendaki adalah mukjizat indrawi seperti mukjizat Nabi Isa yang bisa menghidupkan orang mati. Atau serupa dengan tongkat Nabi Musa yang mampu berubah menjadi ular. Meski demikian, Fir’aun tetaplah teguh dengan sifat sombong dan keras hatinya. Entahlah..
Menjadi sebuah hal yang mengherankan pasca hadirnya al-Qur’an, namun belum kunjung menumbuhkan benih keimanan. Atau bahkan sudah beriman, lantas banting setir menuju kemurtadan. Na’udzu billah…
***
Tidakkah mereka sudi menelisik walau sedikit saja terkait sisi-sisi mengagumkan dari al-Qur’an, yang teramat komprehensif lagi selaras dengan logika manusia. Berisi tuntunan hidup yang mengarahkan pada revolusi progresifbagi peradaban umat manusia. Memanglah, hidayah itu tidak serta merta dikaruniakan Allah kepada manusia yang masih dikuasai api kesombongan.
Sayyid Sabiq, dalam kitab beliau yang berjudul “al-Aqaid al-Islamiyyah”, mengajak kita menjernihkan fikiran kembali melalui untaian kalimat beliau yang terkutip sebagai berikut:
“Bayangkanlah baik-baik!, manakala mengubah tongkat menjadi ular itu merupakan mukjizat yang dikagumi, maka bukankah lebih dikagumi lagi mengubah akal dan hati yang asalnya tersesat lalu dapat menerima petunjuk yang baik?
Manakala, menghidupkan orang yang mati merupakan keluar biasaan yang dengannya Allah memperkuat status nubuwah serta risalah. Maka apakah tidak lebih hebat lagi menghidupkan suatu umat yang sudah mati akal fikirannya, buta huruf dan amat bodoh serta hina, kemudian diubahnya menjadi suatu umat yang dari mereka itulah keluarnya sumber cahaya penerangan dan petunjuk yang hak?”
Semoga Allah senantiasa menjaga rasa dan rasio kita diatas panji-panji keimanan dan keislaman yang selalu lestari. Hasbunallah…
Editor: An-Najmi

























Leave a Reply