Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Bagaimana Sikap Muslim di Tengah-Tengah Pluralitas Beragama?

Pluralitas
Sumber: https://ummetro.ac.id

Melihat realitas kita saat ini, bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dengan berbagai agama, suku, dan budaya. Dengan kata lain, pluralitas ataupun perbedaan-perbedaan yang ada adalah sebuah realitas yang tak terbantahkan. Hal ini juga sudah menjadi suatu ketetapan yang Allah ciptakan untuk manusia agar bisa saling mengenal, bersosial, dan berinteraksi. 

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat al-hujurat ayat 13 “Wahai manusia Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”

Karena itulah, agama, etnik dan kelompok sosial lainnya sebagai instrumen dari pluralitas masyarakat indonesia bisa menjadi persoalan krusial bagi proses integrasi sosial. Sebab, akhir-akhir ini kata perbedaan sudah mengalami sebuah distorsi pemaknaan. Yang tadinya perbedaan adalah sebuah hal yang indah kini perbedaan diartikan sebagai sebuah masalah. Yang mana sikap merasa paling benar selalu menjadi tantangan yang sangat berat bagi bangsa kita yang majemuk. 

Muslim dan Tantangan Pluralisme

Akhir-akhir ini, bangsa indonesia dihadapkan pada problematika yang mendasar tentang toleransi beragama. Hal ini yang terus muncul dan mengatasnamakan agama bahkan golongan. Sepertinya agama telah menjadi pemicu dasar terjadinya konflik antar agama atau antar golongan. Meskipun faktor yang sesungguhnya bukanlah persoalan agama. Seperti halnya penolakan pembangunan masjid atau gereja diwilayah tertentu. Hal ini sering terjadi, yang melibatkan agama sebagai sebab.

Padahal di dalam Al-Qur’an, surat al-anbiya ayat 48. Allah menegaskan bahwa ia bisa saja membuat seluruh dunia ini menjadi satu umat saja atau satu golongan saja. Tetapi, ia tidak menjadikannya, agar manusia bisa memahami tanda-tanda kekuasaannya.

Baca Juga  Berbakti Kepada Orang Tua di Tanah Rantau

Artinya: “untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja). Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu”.

Memahami Pluralitas

Kita sebagai Muslim harus bisa menyaksikan peristiwa yang sama di sejumlah negara. Karena memang konflik antar agama atau golongan menjadi persoalan serius bagi negara-negara yang cenderung pluralitas. Paradigma beragama yang eksklusif tampaknya masih menjadi kesadaran umat manusia. Ini disebabkan oleh cara pandang yang mengganggap agama lain sebagai ancaman atau bahkan musuh abadinya.

Fenomena konflik antar agama atau golongan adalah buah dari paradigma beragama yang eksklusif, superior, dan merasa paling benar. Sikap ini jelas-jelas menjadi faktor pendorong munculnya konflik yang tidak saja menodai agama itu sendiri. Tapi juga telah menodai persaudaraan umat manusia. Betapun juga, paradigma eksklusif jelas-jelas membawa sikap memusuhi golongan lain.

Kecenderungan atas sikap beragama seperti ini memang harus dihindari oleh Muslim. Sebab dapat memberikan afirmasi terhadap kebenaran agama yang dianutnya  dan menyalahkan agama orang lain. Padahal Allah sudah memberikan kita petunjuknya melalui Al-Qur’an yang mana itu adalah sebuah pedoman kehidupan yang harus dijalani oleh seorang muslim sejati.

Sikap Muslim Di Tengah-Tengah Pluralitas Beragama

Allah swt berfirman dalam surat Ali-Imran ayat 110. “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik”.

Muslim harus optimis bahwa kerukunan antar umat beragama bukanlah utopia yang tak mungkin diwujudkan. Dengan penuh keyakinan dan kerja keras, kerukunan antar umat beragama dan golongan pasti akan terwujud. Karena itu, paradigma beragamanya harus diubah ke arah yang lebih toleran dan pasrtisipatif. Sebab paradigma eksklusif dianggap telah menjadi faktor pendorong konflik. Sehingga dibutuhkan paradigma baru, yakni paradigma yang inklusif, toleran, emansipatoris dan empati.

Baca Juga  Potensi Baik & Buruk Manusia

Dengan begitu, persaudaraan antar agama atau golongan akan tercipta. Lalu pergaulan agama-agama benar-benar bisa diwujudkan. Sebuah era baru akan terbit bagi kemanusiaan. Kinilah saatnya diera yang semakin maju ini, para pemeluk agama dapat menyadari substansi ajaran agamanya. Intinya adalah persaudaraan kemanusiaan.

Kini sudah saatnya para pemeluk agama mengubah paradigmanya dari yang eksklusif dengan menuju inklusif. Dengan paradigma ini, kita akan menyongsong jalinan kerukunan agama yang sesungguhnya. Inilah timbal-balik yang signifikan bagi dialog antar umat beragama tanpa adanya perasaan ego untuk mengambil manfaat dari agama lain.

Muslim Sebagai Penebar Rahmat Bukan Laknat

Oleh sebab itu, penulis sepakat dengan pemikiran dari seorang teolog Harvard Seminary yang mencetuskan teologi transformatif yaitu John Cobb. Teologi tranformatif jelas akan memberikan sumbangan berharga untuk menyelesaikan persoalan kemanusian yang diambil dari berbagai tradisi dan agama lain secara bersama-sama. Bukankah kebenaran itu datangnya dari mana-mana? Karena itu, hidup berdampingan antar agama atau golongan akan menciptakan kehidupan bersama yang damai dan penuh cinta.

Agama islam sebagai agama rahmatan lil alamin yang mana keberadaannya harus berimplikasi pada sikap hidup yang menebar cinta kasih, humanis, toleran, dan damai. Hal ini harus dirasakan bukan hanya pada mahluk manusia saja, akan tetapi seluruh mahluk. Sebagaimana firman Allah SWT didalam Al-Qur’an surat al-anbiya ayat 107 “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”.

Keberadaan Muslim sudah seharusnya bisa menjadi contoh untuk orang lain dalam hal menyikapi perbedaan. Sebab bagaimanapun juga, Al-Qur’an dan hadist sudah banyak mengatakan bahwa segala sesuatu itu dilakukan harus berdasarkan cinta. Sehingga output yang akan kita dapat adalah Islam dikenal sebagai agama rahmat bukan agama laknat. Yaitu agama yang ramah bukan yang marah-marah, dan agama yang menggembirakan bukan menakutkan.

Baca Juga  Mengenal Para Nabi dan Rasul Allah

Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho